Mohon tunggu...
Herman Efriyanto Tanouf
Herman Efriyanto Tanouf Mohon Tunggu... Penulis - Menulis puisi, esai, artikel lepas

Founder dan Koordinator Komunitas LEKO Kupang

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Menelanjangi Tubuh "Perempuan Jakarta"

10 Januari 2019   18:03 Diperbarui: 12 Januari 2019   18:32 1164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Istimewa/ Blitar TIMES

Penyair dalam beberapa baris puisi memposisikan diri sebagai massa. Mengapa? Karena hanya penyair yang mampu mengerti, memahami dan merasakan penderitaan perempuan itu. 

Massa yang menghakimi hanya melihat perempuan sebagai tubuh (mesin biologis), tetapi tidak memahami bahwa di dalam tubuh itu ada jiwa yang terluka dan tersakiti. Aku telah lihat luka yang dalam dan kekal/ di sentral tubuhnya. 

Di sini subyektifitas penyair tidak bermakna egois. Tetapi penyair berusaha keluar dari lingkaran massa yang egois. Sehingga Jokpin ketika menutup puisinya menggambarkan kegelisahan massa apabila perempuan itu tidak ada. Perhatikan bait terakhir berikut:

Memang tambah cantik ia
dengan anggur darah di tangannya.
Kota akan kehilangan dia bila ia tak lagi di sana.

Kecantikan bisa mendatangkan luka/ penderitaan. Perempuan yang makin cantik dengan anggur darah di tangannya, tidak serta-merta menggambarkan tubuh dan penderitaan perempuan itu sendiri. 

Tetapi ada situasi lain yang dapat dimaknai. Bahwa penderitaan yang ada seolah diinginkan massa. Tubuh perempuan senantiasa dijadikan ornamen kota, sumber hiburan dan sasaran luapan [hasrat] manusia-manusia itu. Tanpanya, kota akan kehilangan. Ialah kemeriahan di atas penderitaan. Demikian intensi manusia-manusia bertopeng yang senantiasa menelanjangi tubuh dan melukai jiwa (batin) perempuan.

Puisi "Perempuan Jakarta" dan Prostitusi

Puisi sebagai ekspresi kejiwaan/ batin penyair adalah cermin realitas. Jokpin menulis puisi Perempuan Jakarta untuk membahasakan realitas di tahun 2000. Artinya sebelum dan sesudah tahun tersebut, prostitusi telah menjadi salah satu problem utama di bangsa ini. Bahkan jauh sebelum datangnya bangsa penjajah ke Indonesia, prostitusi sudah marak terjadi. 

Ditandai dengan adanya tempat di dalam istana [masa kerajaan] yang meghimpun para janda untuk dilacurkan. Hingga pada masa pendudukan Hindia-Belanda (1800-an), praktik prostitusi makin meluas (baca: sejarah).

Beberapa tahun sebelumnya di tahun 2000-an, prostitusi sempat menjadi topik utama yang diperbincangkan. Kini di awal tahun 2019, praktik prostitusi kembali muncul sebagai topik perhatian publik. Berawal dari kasus dugaan prostitusi online yang dilakukan seorang public figure (selebriti) berinisial VA yang kemudian merambat ke kasus beberapa pihak lainnya.

Media dalam berbagai wujud marak memberitakan kasus tersebut. Pemberitaan itulah yang kemudian melahirkan opini masyarakat dari berbagai kalangan. Semakin tidak terkendali arah diskusi dengan segala tetek-bengeknya. Sejauh ditilik, tanggapan-tanggapan tersebut didominasi oleh hujatan, hinaan, kutukan, bahkan hukaman. Memang, praktik prostitusi sebagai bentuk kejahatan moral pantas mendapat ganjaran bagi para pelaku, sebab melawan hukum. Tetapi agak berlebihan ketika sanksi sosial tampak "mematikan".

Tidak ada bedanya dengan situasi yang digambarkan Jokpin dalam puisi "Perempuan Jakarta". Secara kebetulan, artis tersebut berjenis kelamin perempuan dan media-media sama perannya seperti billboard. Sedangkan masyarakat termasuk pihak penegak hukum tiada bedanya dengan aksi massa dalam Perempuan Jakarta. Menghakimi secara tidak etis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun