Tahun 2016. Di sebuah kampus sederhana, langkah seorang mahasiswa bernama Herman Dunggio menemukan arah baru dalam hidupnya. Ia tidak pernah menyangka bahwa keputusannya masuk ke Dojo IAIN, menjadi bagian dari angkatan kedua, akan menjadi titik balik yang mengubah jalan hidupnya.
Hari-hari pertamanya penuh dengan rasa canggung. Seragam kempo yang pertama kali ia kenakan terasa asing, gerakan dasar tampak sulit, dan rasa lelah sering membuatnya bertanya dalam hati: "Bisakah aku bertahan di sini?"
Bersama sekitar 30 rekan lainnya, ia memulai perjalanan. Semangat awal begitu besar. Namun, waktu membuktikan siapa yang benar-benar bertekad. Satu per satu rekan mulai meninggalkan dojo. Ada yang menyerah karena kerasnya latihan, ada yang tidak kuat menahan rasa sakit, ada pula yang memilih jalan lain. Hingga akhirnya, hanya Herman yang masih berdiri, masih datang ke dojo, masih mengikat sabuknya, dan masih percaya bahwa setiap tetes keringat memiliki arti.
"Kenapa aku tidak berhenti saja, seperti mereka?" pertanyaan itu sering muncul di benaknya. Namun, setiap kali ia hendak menyerah, Herman selalu mengingat kembali alasannya masuk ke dojo: untuk belajar, untuk menempa diri, dan untuk menjadi seseorang yang lebih kuat, baik jasmani maupun rohani.
Tahun demi tahun bergulir. Herman jatuh, bangun, lalu jatuh lagi. Ia pernah mengalami latihan yang begitu berat hingga tubuhnya nyaris menyerah, tetapi semangatnya selalu bangkit kembali. Setiap rasa sakit ia jadikan guru, setiap keringat ia jadikan doa, setiap luka ia jadikan tanda perjuangan.
Herman mulai memahami, bahwa kempo bukan sekadar bela diri. Ia adalah jalan hidup. Ia mengajarkan arti disiplin, keberanian, tanggung jawab, dan cinta pada proses panjang yang tidak instan.
Waktu membawa Herman ke titik baru: dari seorang kenshi biasa, ia dipercaya untuk mulai membimbing. Peran baru ini membuatnya sadar bahwa menjadi pelatih bukan sekadar mengajarkan teknik pukulan dan tendangan. Lebih dari itu, ia harus mampu menanamkan nilai, karakter, dan mental kepada setiap muridnya.
Di sinilah Herman menemukan panggilannya. Ia tidak ingin hanya menjadi seorang petarung, ia ingin menjadi seorang pendidik. Ia ingin agar murid-muridnya merasakan apa yang ia rasakan: jatuh, bangun, lalu bangkit lebih kuat.
Dengan keberanian, Herman akhirnya mendirikan dojo di kampung halamannya. Dojo itu bukan sekadar tempat latihan, melainkan wujud cintanya pada tanah kelahiran. Ia ingin anak-anak muda di desanya memiliki wadah untuk belajar disiplin, persaudaraan, dan semangat pantang menyerah.
Kini, setiap kali ia berdiri di depan murid-muridnya, Herman sering teringat pada dirinya di tahun 2016: seorang mahasiswa yang canggung, penuh ragu, tetapi tidak pernah menyerah. Dari situlah ia percaya, bahwa perjalanan panjang ini adalah bukti bahwa ketekunan mampu mengubah seorang pemula menjadi pelatih, dan keyakinan mampu mewujudkan mimpi menjadi nyata.