Mohon tunggu...
Herlambang Saleh
Herlambang Saleh Mohon Tunggu... Guru

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah (Pram)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Petasan: Dari Ritual Kuno Hingga Simbol Status Sosial

28 Januari 2025   15:41 Diperbarui: 29 Januari 2025   18:16 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Manusia petasan" (Sumber:merdeka.com/Arie Basuki) 

Petasan menjadi simbol aneka perayaan mulai dari pergantian tahun, pernikahan, keagamaan serta perayaan lainnya. Petasan menambah perayaan tersebut menjadi lebih meriah. Petasan sendiri berasal dari  China pada abad kedua Sebelum Masehi. Saat itu masyarakat di daerah Liyuan, China, membuat petasan alami dengan melemparkan batang bambu ke dalam api. 

Batang bambu yang memiliki rongga dimasukan bahan campuran dari garam peter atau kalium nitrat, belerang (sulfur), dan arang dari kayu (charcoal). Ketiga bahan tersebut menjadi tonggak awal penemuan bubuk mesiu. 

Orang-orang pada masa Dinasti Han membunyikan petasan konon melakukannya untuk mengusir roh jahat. Batang bambu dipanggang hingga menghitam dan mendesis. Udara di dalam bambu yang berlubang kemudian meledak. Dalam bahasa Mandarin bambu meledak ini disebut "Bao Zhu" yang berarti petasan.

Petasan Masuk Nusantara

Buku Alwi Shahab "Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe" (2001) mengatakan bahwa orang-orang dari China mungkin menjadi sumber api. Sekitar 30% orang China tinggal di Batavia pada abad ke-18. Identitas dan budaya nenek moyangnya, seperti main judi, minum arak, dan memasang petasan, dijaga oleh para pendatang ini.

Selama kolonialisme Belanda, keberadaan kembang api semakin meningkat. Saat itu, Glodok, Senen, Tanah Abang, dan Meester Cornelis (Jatinegara) adalah tempat yang populer untuk menjual petasan. Jumlah petasan meningkat setiap mendekati tanggal 31 Agustus karena pada hari itu diselenggarakan pesta kembang api untuk memperingati ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina.

Pernikahan Gubernur Belanda Baron von Hohendorff di Surakarta pada tahun 1748 dan pameran dagang di Pasar Gambir, Jakarta pada tahun 1922 juga menunjukkan bahwa kembang api ada di tanah air. Catatan sejarah ini memberikan gambaran masuknya kembang api di Indonesia merupakan percampuran budaya antara Timur (China) dan Barat (Belanda).

Petasan dalam Kultur Betawi

Rupanya keberadaan petasan tak hanya berguna untuk memeriahkan sebuah acara. Petasan bagi masyarakat Betawi memiliki makna yang lebih mendalam. Banyaknya petasan yang dinyalakan dalam satu hajatan bisa menunjukkan status sosial. Semakin banyak petasan yang digunakan dalam sebuah acara, semakin banyak pula pemilik hajat menerima pujian.

Pemukiman penduduk Batavia kala itu tidak banyak. Satu kampung biasanya memiliki enam hingga tujuh rumah. Jarak satu kampung dengan kampung lainnya berkisar antara satu hingga dua kilometer, dan begitu seterusnya. Di sekitar kampung juga masih dikelilingi hutan lebat dan sungai yang bersih dan jernih.

Apabila ada warga yang hendak menggelar hajatan pastinya akan mengundang tetangga yang rumahnya cukup jauh. Untuk itulah masyarakat mengakalinya dengan membunyikan petasan sebagai tanda mengundang tetangga di sekitar kampungnya. Cara ini mampu untuk mengurangi waktu dan biaya. 

Setelah mendengar suara petasan dengan rentengan panjang, maka mereka tak perlu lagi mengundang warga lain karena penduduk secara bertahap datang setelah mendengar suara petasan.

Namun, seiring berjalannya waktu, beberapa komunitas Betawi menganggap meledakkan petasan atau mercon sebagai bentuk pemborosan, dan banyak orang sekarang mulai meninggalkan tradisi ini.

Petasan Kampung vs Impor

Dulu, saat tradisi meledakkan petasan masih semarak, masyarakat punya pilihan: petasan lokal atau impor. Petasan lokal, umumnya diproduksi oleh industri rumahan di daerah Parung, Bogor. Sudah turun-temurun, mereka meracik bahan-bahan hingga menghasilkan ledakan yang khas.

Namun, petasan impor dari Jepang pada saat itu memiliki pesona tersendiri. Saat masa penjajahan Belanda, petasan Jepang mudah ditemukan di pasar-pasar besar seperti Glodok, Senen, dan Tanah Abang. Ledakannya lebih keras dan suara dentumannya lebih nyaring, membuat banyak orang lebih memilih petasan Jepang.

Perbandingan kualitas ini melahirkan sebutan "petasan kampung" untuk petasan lokal. Meski demikian, petasan lokal tetap punya penggemarnya tersendiri. Bagi mereka, petasan lokal adalah bagian dari warisan budaya dan kearifan lokal yang patut dilestarikan.

Kesimpulan

Petasan, lebih dari sekadar benda yang meledak, ternyata menyimpan sejarah panjang dan makna mendalam bagi masyarakat Indonesia. Dari asal-usulnya di China kuno sebagai pengusir roh jahat, petasan kemudian merambah ke Nusantara dibawa oleh pedagang Tionghoa dan semakin populer di era kolonial Belanda. Di tanah air, petasan tidak hanya menjadi simbol perayaan, tetapi juga merefleksikan status sosial dan menjadi alat komunikasi sederhana di masa lalu. Sayangnya, seiring berjalannya waktu, tradisi meledakkan petasan mulai ditinggalkan karena berbagai alasan, termasuk pertimbangan ekonomi dan keamanan. Meski demikian, warisan budaya ini tetap memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat, terutama bagi mereka yang menghargai nilai-nilai lokal dan sejarah.(hes50)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun