Mohon tunggu...
Herlambang Saleh
Herlambang Saleh Mohon Tunggu... Guru

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah (Pram)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Petasan: Dari Ritual Kuno Hingga Simbol Status Sosial

28 Januari 2025   15:41 Diperbarui: 29 Januari 2025   18:16 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Manusia petasan" (Sumber:merdeka.com/Arie Basuki) 

Setelah mendengar suara petasan dengan rentengan panjang, maka mereka tak perlu lagi mengundang warga lain karena penduduk secara bertahap datang setelah mendengar suara petasan.

Namun, seiring berjalannya waktu, beberapa komunitas Betawi menganggap meledakkan petasan atau mercon sebagai bentuk pemborosan, dan banyak orang sekarang mulai meninggalkan tradisi ini.

Petasan Kampung vs Impor

Dulu, saat tradisi meledakkan petasan masih semarak, masyarakat punya pilihan: petasan lokal atau impor. Petasan lokal, umumnya diproduksi oleh industri rumahan di daerah Parung, Bogor. Sudah turun-temurun, mereka meracik bahan-bahan hingga menghasilkan ledakan yang khas.

Namun, petasan impor dari Jepang pada saat itu memiliki pesona tersendiri. Saat masa penjajahan Belanda, petasan Jepang mudah ditemukan di pasar-pasar besar seperti Glodok, Senen, dan Tanah Abang. Ledakannya lebih keras dan suara dentumannya lebih nyaring, membuat banyak orang lebih memilih petasan Jepang.

Perbandingan kualitas ini melahirkan sebutan "petasan kampung" untuk petasan lokal. Meski demikian, petasan lokal tetap punya penggemarnya tersendiri. Bagi mereka, petasan lokal adalah bagian dari warisan budaya dan kearifan lokal yang patut dilestarikan.

Kesimpulan

Petasan, lebih dari sekadar benda yang meledak, ternyata menyimpan sejarah panjang dan makna mendalam bagi masyarakat Indonesia. Dari asal-usulnya di China kuno sebagai pengusir roh jahat, petasan kemudian merambah ke Nusantara dibawa oleh pedagang Tionghoa dan semakin populer di era kolonial Belanda. Di tanah air, petasan tidak hanya menjadi simbol perayaan, tetapi juga merefleksikan status sosial dan menjadi alat komunikasi sederhana di masa lalu. Sayangnya, seiring berjalannya waktu, tradisi meledakkan petasan mulai ditinggalkan karena berbagai alasan, termasuk pertimbangan ekonomi dan keamanan. Meski demikian, warisan budaya ini tetap memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat, terutama bagi mereka yang menghargai nilai-nilai lokal dan sejarah.(hes50)

"Manusia petasan" (Sumber:merdeka.com/Arie Basuki) 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun