Mohon tunggu...
Herini Ridianah
Herini Ridianah Mohon Tunggu... Guru - write with flavour

pemerhati sosial dan pendidikan, guru les MIPA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pembakaran Al-Qur'an Meluas, Sistem Sekuler Tak Punya Solusi Tuntas

15 Agustus 2023   23:42 Diperbarui: 16 Agustus 2023   00:02 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.cnnindonesia.com/

Aksi pembakaran Alquran kian meluas dan memicu kemarahan umat muslim sedunia. Hal ini membuat Perdana Menteri Swedia Ulf Kristen merasa was-was. Perdana Menteri Swedia diketahui mengaku sangat khawatir dengan konsekuensi yang mungkin terjadi jika lebih banyak aksi protes melibatkan penistaan Alquran digelar di negaranya. Kekhawatiran itu diungkapkan saat meningkatnya kemarahan umat muslim akibat rentetan aksi membakar Alquran. Dilansir routers pada Jumat 28 Juli 2023.

Serangan terhadap Alquran yang terjadi di wilayah Swedia dan Denmark beberapa waktu terakhir telah menyinggung banyak negara mayoritas muslim termasuk Turki yang dukungannya diperlukan oleh stockholm  untuk bisa bergabung dengan fakta pertahanan Atlantik Utara atau NATO. 

Swedia diketahui tengah berupaya untuk bergabung aliansi NATO menyusul invasi Rusia ke Ukraina sejak Februari 2022. Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) atau Organisation of Islamic Cooperation menggelar pertemuan luar biasa untuk Menteri Luar Negeri (CFM) dari negara-negara anggota hari Senin, 31 Juli 2023. Rapat ini dilakukan atas permintaan Arab Saudi dan Irak dalam merespons aksi berulang pembakaran salinan Al-Qur'an yang terjadi di Swedia dan Denmark. (https://apps.detik.com/)

Semakin menjadi, Pembakaran Al-Quran pun terjadi di depan KBRI di Kopenhagen, Denmark pada Jumat (11/8). Aksi itu dilakukan Kelompok ultranasionalis Danske Patriote. Tidak hanya di depan KBRI, anggota kelompok tersebut juga melakukan aksi provokatif mereka di depan kedutaan besar negara mayoritas muslim lainnya yaitu Pakistan, Aljazair, Maroko, serta di depan masjid Kopenhagen. Para pelaku juga meneriakkan yel-yel provokatif. (https://kumparan.com/kumparannews)

Tak berhenti disana, aksi pembakaran Al Quran kembali terjadi di ibu kota Swedia pada Senin (14/8). Pembakaran salinan kitab suci umat Islam itu dilakukan dua orang di dekat Istana Kerajaan Stockholm. Dilansir Al Jazeera, pembakaran dilakukan dua pelaku yakni Salwan Momika dan Salwan Najem. Sebelumnya mereka melakukan aksi yang sama di depan Masjid Stockholm. Polisi Swedia memberikan izin pembakaran Al Quran, dengan durasi aksi selama satu jam. Setelah itu polisi membubarkan mereka dan mengizinkan orang-orang di lokasi untuk mengumpulkan sisa pembakaran.(https://www.cnnindonesia.com/)

Pemerintah Swedia dan Denmark selalu berdalih bahwa aktivitas tersebut di bawah pengawasan polisi, sehingga bukan tanggung jawab pemerintah. Alih-alih memberi sanksi pada pelaku, yang terjadi justru dilindungi atas nama kebebasan berekspresi. Di sisi lain, umat muslimin dunia menangis, terluka karena kitab sucinya dilecehkan. Mirisnya, tak ada satu pihak manapun yang mampu menghentikan aksi jahat tersebut. Sekalipun itu OKI, PBB, atau negeri-negeri muslim.

Sistem Sekuler tak punya Solusi Tuntas

Peristiwa pembakaran Al-Qur'an yang terus berulang dan sulit dihentikan seharusnya cukup menampar kesadaran kaum muslimin tentang busuknya standar ganda demokrasi. Kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi yang dijamin oleh sistem demokrasi hanya berlaku untuk menista semua yang berkaitan dengan Islam dan kaum muslimin, bukan untuk agama dan umat lain. Inilah standar ganda sistem demokrasi yang hipokrit. Maka, berharap penyelesaian tuntas dalam sistem demokrasi yang diterapkan hari ini adalah sesuatu yang mustahil.

Kasus penistaan agama Islam beserta simbolnya tidak akan pernah tuntas hanya dengan kecaman dan hardikan penguasa-penguasa negeri-negeri muslim atau demonstrasi kaum muslimin di Kedubes maupun aksi pemboikotan. Kecaman dan hardikan penguasa negeri-negeri Muslim seakan formalitas. Karena pada faktanya dibalik kecaman dan hardikan tersebut, mereka tetap menjalin hubungan diplomasi dengan negara atau pihak yang melakukan pelecehan kepada simbolis Islam. Seperti halnya Turki yang tetap bermesraan dengan Israel sekalipun Israel telah menjajah dan menjarah tanah kaum muslimin Palestina.

Adapun demonstrasi kaum muslimin di Kedubes maupun aksi pemboikotan memang saat ini diperlukan untuk menunjukkan sikap kemarahan kaum muslimin atas pelecehan agamanya. Hanya saja tindakan ini tidak akan memberi pengaruh signifikan dan bersifat temporer sebab berbagai tindakan ini tidak menimbulkan rasa jera kepada pelaku ataupun negara yang begitu membenci Islam. Inilah gambaran ketika kaum muslimin masih berada di bawah hegemoni kapitalisme. Kaum muslimin kehilangan muruah (wibawa) dan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan negara-negara barat dan Eropa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun