Mohon tunggu...
Herry Gunawan
Herry Gunawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang pemuda yang peduli

Saya seorang yang gemar fotografi dan travelling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Informasi Digital, Milenial, dan Upaya Membendung Radikalisme

4 Juli 2020   18:02 Diperbarui: 4 Juli 2020   17:59 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Radikalisme Dunia Maya - jalandamai.org

Perkembangan informasi saat ini begitu pesat sekali. Informasi dari mana saja bisa didapatkan dengan mudah. Dengan menggunakan smartphone, kita bisa dengan mudah mendapatkan informasi apa saja dari mana saja dan kapan saja. Hanya dengan klik, informasi yang diinginkan langsung tersedia. Inilah salah satu gaya hidup di era digital. Karena itulah, perkembangan teknologi harus bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kebaikan semua umat.

Dengan perkembangan teknologi ini, telah mempengaruhi cara generasi sekarang dalam bersosialisasi. Proses interaksi secara fisik mulai berkurang, dan berganti dengan interaksi secara virtual. 

Interaksi ini cukup dengan video call, ataupun dengan perangkat media sosial yang lain. Ya, beginilai era milenial. Untuk beli barang yang kita inginkan tak perlu datang langsung ke toko. Hanya dengan klik di smartphone, barang yang kita inginkan diantar kurir sampai ke rumah.

Begitu juga dalam hal untuk mengupgrade informasi, pengetahuan ataupun pemahaman agama. Banyak sekali pengajian secara virtual, ceramah online dan pola pendidikan secara online. Dan ceramah-ceramah tersebut ada yang dilakukan oleh orang yang benar-benar paham tetang agama, tapi tidak sedikit pula yang pemahaman agamanya kurang, tapi sudah melakukan ceramah virtual. Akibatnya, pemahaman agama yang didapatkan masyarakat pun berpotensi bisa bergeser jika bertemu dengan pengajar yang kurang memahami agama.

Hal semacam inilah yang dirasakan oleh masyarakat yang menjadi korban propaganda radikalisme. Dengan mempelajari agama dari dunia maya, tanpa melakukan cek ricek lagi dan langsung percaya, mereka mendapatkan pemahaman agama yang kurang. Akibatnya, mereka masuk dalam lingkaran radikalisme dan intoleransi. Ujung-ujungnya mereka menjadi pelaku tindak pidana terorisme, karena telah salah memahami ajaran agama dan salah mendapatkan guru yang tepat.

Penyebaran paham radikalisme memang banyak dilakukan melalui media sosial. Jika dulu banyak dilakukan dalam pertemuan fisik, kini cukup dilakukan secara online saja. Mereka akan menggelar acara dalam grup-grup private. Namun ada juga mereka yang menggelar acara secara terbuka. Pemahaman yang salah itu kemudian disebarluaskan melalui berbagai media sosial. 

Umumnya, kelompok radikal ini juga menggunakan ayat-ayat kitab suci, untuk meyakinkan publik. Bahkan, seseorang yang dianggap sebagai guru, juga berpenampilan meyakinkan, layaknya seseorang yang paham ilmu agama.

Pemahaman agama yang damai, yang toleran, yang saling menghargai dan tolong menolong, harus terus disuarakan, agar pemahaman agama yang salah di masyarakat bisa diminilisir. Di Indonesia terdapat agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu. Semua agama-agama tersebut tidak ada satupun yang mengajarkan kebencian ataupun perilaku intoleran. 

Jika ada seseorang atau kelompok yang mengatasnamakan agama tertentu, tapi berperilaku intoleran, maka tinggalkanlah. Jelas apa yang mereka lakukan tersebut salah dan tidak benar. Mari bekali diri dengan informasi yang tepat, pemahaman agama yang benar, dan guru yang tepat. Agar kita bisa mencerna, memilah dan memahami segala sesuatunya secara utuh dan benar. Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun