Penjurusan SMA seringkali ditentukan oleh nilai raport. Tapi bagaimana jika nilai itu tak mewakili suara hati anak?
Banyak siswa bingung memilih jurusan SMA. Di satu sisi, mereka dikejar angka. Di sisi lain, mereka punya mimpi yang berbeda.
Ketika Nilai Raport Menjadi Kompas Masa Depan
Penjurusan di SMA seringkali dianggap keputusan penting yang bisa menentukan masa depan siswa.
Sayangnya, proses ini masih sangat bergantung pada nilai raport, bukan pada minat dan bakat anak.Â
Anak yang unggul di IPA---secara angka---langsung diarahkan masuk jurusan IPA, meski sebenarnya lebih suka seni atau literasi.
Sistem penjurusan di SMA di Indonesia masih kaku. Penilaian akademik dijadikan satu-satunya ukuran kemampuan.Â
Padahal kecerdasan anak itu majemuk---ada yang logis, ada yang verbal, ada pula yang visual. Tapi sayangnya, angka tetap lebih dipercaya daripada suara hati anak sendiri.
Suara Hati yang Sering Tak Didengar
Tak sedikit siswa yang merasa "tersesat" di jurusan yang tidak mereka pilih sendiri.Â
Banyak kasus anak yang dipaksa masuk IPA demi gengsi keluarga, atau karena sekolah ingin meningkatkan reputasi akademik.Â
Padahal anak tersebut sebenarnya ingin masuk IPS karena punya minat di bidang sosial atau ekonomi kreatif.
Minat dan passion seharusnya menjadi bagian dari pertimbangan utama.Â
Namun, masih banyak orang tua yang menganggap jurusan tertentu lebih menjamin masa depan.Â
Akibatnya, banyak anak belajar tanpa semangat, hanya menjalani sekolah seperti rutinitas tanpa makna.Â
Ini bukan sekadar soal akademik---tapi soal kesehatan mental dan tumbuhnya kepercayaan diri.
Siapa yang Paling Berhak Memilih?
Pertanyaan ini penting: siapa yang paling berhak menentukan jurusan SMA seorang anak? Guru? Orang tua? Atau anak itu sendiri?Â
Jawaban paling bijak adalah: semua harus terlibat, tapi keputusan akhir ada pada anak. Tugas orang tua dan guru adalah membimbing, bukan memaksa.
Penjurusan idealnya tidak hanya berdasar nilai raport, tapi juga lewat asesmen minat dan bakat, konseling pendidikan, dan diskusi terbuka.Â
Ketika anak diberi ruang memilih, mereka akan belajar bertanggung jawab atas pilihannya.Â
Di sinilah pendidikan yang memanusiakan benar-benar bisa terjadi---bukan sekadar mencetak angka, tapi merawat jiwa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI