Meta Deskripsi:
Cerita bersambung ini adalah refleksi sosial tentang Abdilah, 50 tahun, ayah lima anak dari Tangerang yang kehilangan pekerjaan.Â
Dalam sunyi dan doa, ia mencari harapan, cinta, dan makna hidup. Temukan perjuangannya yang menggetarkan hati di tengah badai kehidupan.
Cerita - 1
"Di Bawah Atap Seng dan Doa"
"Ya Allah, aku bukan hamba yang sempurna,
tapi Engkau tahu aku mencintai mereka lebih dari diriku sendiri."
Hujan malam ini bukan sekadar air dari langit---ia adalah doa yang jatuh satu-satu, membasahi atap seng rumah kami. Aku duduk memeluk lutut di pojok kamar, menatap panci kosong dan lima pasang mata kecil yang menunggu keajaiban. Usia 50 bukan angka, tapi beban; tanggung jawab yang tak lagi punya tempat berlabuh di pabrik yang kini hanya kenangan.
"Andai ada pekerjaan lain, Tuhan, meski hanya tukang sapu atau pemikul batu."
Setiap subuh aku terbangun oleh bisik-bisik tangis dalam hati, bukan oleh adzan. Aku bangun, bukan karena semangat, tapi karena takut mereka bangun dalam kelaparan. Shalatku kini lebih sunyi, lebih lama, seolah Allah-lah satu-satunya tempat kuajukan surat lamaran terakhirku.
"Anakku, jangan takut... Ayah akan terus berjalan, meski lutut ini gemetar."
Aku belajar menyayangi diriku lewat sabar yang kutanam tiap hari. Dalam diam, ada suara: "Sabar, Abdilah.Â
Waktu akan bicara." Kadang aku berbincang dengan angin, kadang dengan Allah, tapi lebih sering dengan rasa kehilangan yang kupeluk sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI