Mohon tunggu...
Herdias Hayyal Falahi
Herdias Hayyal Falahi Mohon Tunggu... Mahasiswa Program Studi Magister Sains Psikologi Universitas Brawijaya

Mahasiswa magister Psikologi di Universitas Brawijaya sekaligus peneliti di Psychophysiology and Placebo Research Group Universitas Brawijaya. Meneliti kognisi, afek, dan perilaku manusia melalui pendekatan psikofisiologi eksperimental.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kasus Yai Mim-Sahara: Cermin Heuristic Warganet di Era Serba Viral

14 Oktober 2025   09:00 Diperbarui: 14 Oktober 2025   09:10 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di era viralitas, kecepatan bereaksi sering kali mengalahkan kedalaman berpikir. (Sumber: Freepik)

Namun, ketika bukti hukum dan klarifikasi mulai muncul, publik secara bertahap beralih ke systematic processing—penilaian sosial yang menuntut usaha mental lebih tinggi, melibatkan penelaahan sumber informasi, menimbang bukti-bukti yang bertentangan, dan menunda penghakiman sampai tingkat keyakinan (sufficiency threshold) tercapai (Chaiken & Leggerhood, 2012). Munculnya bukti hukum dan klarifikasi meningkatkan ketersediaan informasi yang kredibel, membuat kepercayaan atau heuristic cue sebelumnya menjadi tidak lagi konsisten. Akibatnya, keyakinan publik terguncang; actual confidence level menurun. Dalam kerangka HSM, ketika keyakinan seseorang terhadap penilaiannya tidak lagi memenuhi ambang kecukupan, individu terdorong untuk menambah usaha kognitif dengan mulai berpikir lebih kritis dan sistematik. Mereka pun mulai memeriksa kronologi, membaca dokumen, dan meninjau ulang klaim yang sebelumnya diyakini hingga akhirnya mengubah pendapat mereka untuk membela individu yang mereka klaim “lebih benar dari sebelumnya”.

Dari Heuristik ke Sistematik: Apa yang Harus Dilakukan?

Perubahan dukungan publik dari Sahara ke Yai Mim dengan demikian mencerminkan pergeseran dari heuristic ke systematic processing sebagaimana dijelaskan oleh Chaiken. Awalnya, opini terbentuk karena kesan emosional dan bias sosial; namun seiring meningkatnya motivasi dan tersedianya informasi yang kredibel, publik mulai berpikir lebih kritis, mendalam, dan reflektif. Namun, di luar kasus ini, apa yang seharusnya kita lakukan?

  1. Sadari dorongan emosional

Begitu melihat kasus viral, kita otomatis ingin tahu “siapa yang salah dan siapa yang benar”. Langkah pertama adalah menunda reaksi emosional, misalnya dengan tidak langsung berkomentar dan tidak ikut menyebarkan potongan video.

  1. Ganti pertanyaan moral dengan pertanyaan faktual

Alih-alih “siapa yang jahat?”, ubah menjadi “fakta apa yang sudah terverifikasi?” Dengan begitu, kita berpindah dari heuristic processing ke systematic processing.

  1. Ikuti sumber beragam

Heuristic processing menguat ketika kita hanya mengonsumsi satu versi narasi. Cari sumber yang berbeda dan mencoba  “melihat sisi lain”.

Pada akhirnya, kasus Yai Mim–Sahara menyoroti bahwa ruang digital bukan hanya arena pertukaran informasi, tetapi juga arena psikologis tempat heuristik moral dan sosial bekerja dengan intens. Heuristic–Systematic Model memberi kita kerangka untuk memahami bahwa di balik setiap “viral moral outrage” atau kemarahan kolektif akibat pelanggaran norma sosial, tersembunyi ketegangan antara kebutuhan efisiensi kognitif dan keinginan akan akurasi moral. Dalam konteks ini, tragedi media sosial sering kali bukan sekadar soal siapa yang benar atau salah, melainkan soal bagaimana cara kita berpikir—secara cepat, sederhana, dan kadang terlalu percaya diri bahwa kita sudah benar.

Daftar Pustaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun