Mohon tunggu...
Henri Koreyanto
Henri Koreyanto Mohon Tunggu... Buruh - Kuli

Kadet Ngopa-ngopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tongkat Setigi

29 Juni 2022   08:32 Diperbarui: 29 Juni 2022   21:09 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Empu Akatara tampak begitu gelisah. Kedua tangannya meremas-remas, bola matanya meloncat-loncat memandang setiap orang yang melintas di depannya. Hingga tak satu pun dari mereka yang terlewat.

Kadang kala dia melirik ke samping kanan, dilihatnya lama tongkat berwarna abu-abu kecokelatan. Kemudian menyentuhnya dengan hangat, hati kecil seperti mengatakan semoga segera sampai pada yang empunya.

"Apa benar tongkat itu yang akan kubawa berlayar?" Kata sesosok lelaki berbadan tegap lagi ramah.

Sesaat telinga Empu Akatara secepat kilat mengirim pesan masuk ke sel-sel otaknya. Dia mengenal betul suara siapa gerangan. Kepalanya menoleh bola matanya mendadak menatap penuh yakin. "Ki Arnawa." Sapanya.

Dia pun bangkit, meraih kedua lengan teman lamanya itu. Lalu menepuk-nepuknya. "Kapan kau tiba lagi di sini?" tanyanya penasaran.

"Besok lusa. Secepatnya." Jawabnya mantap.
"Aku banyak mendengar cerita dari para warga di dermaga ini jika anak itu pasti akan pulang." Ujar Ki Arnawa pelan seperti berbisik.


"Kami merencanakannya." Seraya mendekatkan kepala.
"Oh." Gumam Ki Arnawa, melanjutkan. "Jadi, bukan dengan mantra Gedruk Bantala?"

"Hmmm. Itu hanya bualan yang kusebar melalui orang kepercayaanku." Bisiknya sembari mata bergerak ke kanan dan ke kiri. Takut jika ada yang menguping percakapan mereka. "Kau satu-satunya murid Padepokan Inggil Giri yang tak pernah dikenal oleh Putera Nara dan Ki Purwa. Jadi ... ?" kata Empu Akatara menarik napas dalam.

Belum sempat dia menambahkan, Ki Arnawa menyahuti. "Apa sudah dipikir sesampainya di dermaga. Tentu tak sedikit orang mengenalnya. Tanda biru di tangannya itu tentu warga sekitar banyak tahu jika dia Dewandaru."

"Itulah harapannya." Gumamnya singkat. Tetapi Ki Arnawa masih tampak belum mengerti maksudnya. Empu Akatara yang tahu ekspresi itu melanjutkan.
"Kabar kedatangannya sekaligus memberi sinyal, apakah mereka tetap bertahan atau ...damai."

"Ah. Sepertinya jauh harapan jika mereka berdua kemudian tahu lalu berniat damai." Gumam Ki Arnawa meragukan.

Sesosok laki-laki berambut gondrong diikat melingkar ke atas mirip seperti begawan, terlihat melangkah cepat mendekat. Napasnya sedikit tersengal, sorot matanya tiba-tiba melirik singkat tongkat berwarna abu-abu kecokelatan itu.

"Lama sekali tak bertemu, bagaimana kabar Anda, Empu?" tanya Bimasena mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Empu Akatara.

Dengan semangat Empu Akatara menyambutnya sangat erat. "Baik. Baik sekali." Jawabnya. "Kau begitu lebih gagah dengan rambut gondrong diikat."

"Aku belum sempat memotongnya jadi, kubiarkan saja panjang." Ujarnya melanjutkan. "O ya Empu. Tongkat itu ... "

Empu Akatara tiba-tiba menunjukan. "Bagaimana menurutmu?"

Bimasena menyambut tongkat itu membolak-balik pelan. Dilihatnya setiap detail bentuk.

"Tongkat ini begitu lunak dan ringan. Kelok-kelok batangnya memberi kesan sederhana namun sakral. Dilihat dari bentuknya tentu anda memotongnya dari akar pohon setigi terbaik dan memilihnya sangat hati-hati." Ujarnya penuh perhatian.

Ki Arnawa memang tak salah memilih pengawal, itu memang sudah keahlian Bimasena menganalisis setiap kayu yang tertangkap oleh pandangannya seraya kepalanya mengangguk-angguk kecil. Sedang Empu Akatara tersenyum dan belum sempat dia berkata lagi, Ki Arnawa bertanya.

"Itu artinya. Empu, betul-betul tahu, tongkat yang dibutuhkan Ki Kebomas saat ini?"

Disertai Bimasena melirik Empu Akatara seperti menagih hutang rahasia yang ingin diketahui dengan penuh rasa penasaran.

"Berhari-hari aku memikirkan itu, tongkat apa yang harus kubuatkan untuk Ki Kebomas. Agar dia bisa menjenguk cucunya dengan mantra Gedruk Bantala. Tentu kau tahu lah, sesakti apapun mantra Gedruk Bantala tetap saja sulit untuk melintas antar pulau dengan bentuk tongkat yang hanya lurus saja.

Dari itu aku menyiasati dengan memilihkannya batang berkelok-kelok dan ringan. Supaya sebelum ujung tongkat menghentak ke tanah, kekuatan mantra itu terkumpul di kelok-keloknya dulu. Dengan begitu mantra Gedruk Bantala mampu memberikan daya dorong yang lebih besar untuk menghantarkan Ki Kebomas ke pulau ini." Kata Empu Akatara sembari memberikan tongkat itu kepada Ki Arnawa yang mulai bangkit dari tempat duduk.

"Sudah saatnya kami segera berlayar, Empu." Ujarnya menggengam tongkat setigi itu dengan mantap.

"Tunggu-tunggu!" ujar Bimasena dengan telapak tangan mengangkat ke arah Ki Arnawa. Sejenak dia terheran menatap aneh wajah Bimasena. Kemudian perlahan kembali duduk.

"Tak mungkin jika hanya itu, Empu?" kata Bimasena dingin, serasa belum puas dengan penjelasan itu. Empu Akatara pun melanjutkan disertai tarikan napas dalam. Suaranya lirih kali ini.

"Saat itu benar-benar tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari pohon-pohon setigi tersisa di bebatuan tepi pantai. Sedang sore hampir berganti malam. Dengan menanggung rasa lelah begitu hebat kusandarkan badan pada pohon setigi yang sudah tua dan hampir mati. Tanpa sadar mataku terpejam.

Sesaat seberkas cahaya putih menyilaukan datang. Aku tahu ini bukan raga sukma tapi aku bisa melihat diriku sendiri bersandar pada pohon itu. Semakin lama aku memandang semakin kulihat keanehan terjadi. Lalu tiba-tiba saja batang pohon setigi membentuk semacam bibir, berucap dan berpesan. Jika dia sudah sangat berumur, tak ada lagi yang bisa diharapkan dari pohon yang sudah tua. Banyak pohon setigi muda yang siap menggantikannya." Ki Arnawa mendengar hampir tak mengedipkan mata sedang Bimasena semakin tampak serius mendengar. Empu Akatar melanjutkan.

"Jika memang takdirku ini berada di genggaman Ki Kebomas untuk membantu Dewandaru mengembalikan lagi hutan di Karimunjawa, sudah sepantasnya aku ikut membantunya. Ayolah Empu, ambil saja bagian apa yang kau inginkan dari diriku ini.

Sesaat aku terbangun dari tidur. Mataku masih terus membelalak dengan tatapan kosong. Kucoba mengingat lagi, tapi sulit. Tak lama kualihkan pandangan ke belakang, memandangi batang pohon setigi lalu kuraba-raba setiap batangnya tak kutemukan bentuk bibir seperti dalam mimpi tadi. Kutenangkan diriku sejenak. Hingga tanpa terasa aku kehilangan pijakan dan terperosok, dengan cepat tanganku meraih apa saja yang bisa membuatku bertahan. Saat kulihat ke bawah dengan posisi masih menggantung kira-kira setinggi satu setengah meter dari dasar pasir. Kuberanikan saja untuk terjun.

Di sinilah baru kusadari. Mungkin ini maksud pesan itu, akar pohon yang baru saja kujadikan pegangan, akhirnya menjadi tongkat yang saat ini ada di tanganmu itu Ki." Kata Empu Akatara tenang. Sedang Ki Arnawa tertegun dengan penjelasan Empu Akatara.

"Aku rasa, pilihan tongkat Anda tak pernah ada masalah." Timpal Bimasena dengan suara memuji.

Empu Akatara tersenyum. "Sampaikan salamku untuk Ki Kebomas." Ujarnya kepada mereka berdua.

Tak lama, Ki Arnawa dan Bimasena bergegas menaiki kapal. Tali tambat menggulung cepat, menyisakan sauh menggantung di haluan kapal. Di bawah payung langit biru, lambaian tangan keduanya berbalas senyum Empu Akatara yang penuh dengan harapan.

Cerpen Dewandaru
12. Tongkat Setigi
Rabu, 29 Juni 2022
Henri Koreyanto

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun