Kategori mahasiwa ideal itu aku belum tau ciri-cirinya untuk bisa dikenali. Apakah harus kritis, baik dalam menyikapi situasi lokal maupun nasional. Atau mungkin harus pintar (smart) yang menguasai berbagai materi yang setiap kali dosen menjabarkan teori-teori matkul. Atau mungkin gini ciri-cirinya, mahasiswa yang selalu mengumpulkan pekerjaan rumah setiap ada tugas-tugas matkul yang biasa diberikan dosen saat menjelang akhir pertemuan.
Tapi, apa memang analisa ciri-ciri seperti di atas bisa dijadikan salah satu dari sebuah acuan... pertanyaan ku sekarang justru sebaliknya... Andaikan dia nggak kritis, smart, dan yang nggak tepat tugas, apakah dia akan dilabeli sebagai mahasiswa yang nggak ideal sama sekali. Lebih baik tinggalkan bangku kuliah kemudian banting setir lalu kerja. Ya, menurut ku nggak gitu-gitu amat ekstrimnya.
Aku malah cenderung dengan sebaliknya. Mereka yang nggak cenderung kritis, smart dan nggak tepat tugas, bisa saja sedang mengatur sebuah strategi, mengumpulkan masa menjalin hubungan relasi koneksi, karena menyadari bahwasannya ia tak bisa sesuai dengan kategori ideal. Setidaknya dia bisa mencuri-curi waktu demi untuk sebuah peruntungan.
Bila menganut paham orang-orang pujangga, yang dibutuhkan dari sebuah perjalanan bukan karena dia kritis, smart, dan lihai. Akan tetapi yang dibutuhkan dari sebuah perjalanan adalah momentum. Dari itu mereka mahasiswa yang katanya masuk dalam kategori non ideal, kebanyakan menggunakan teori momentum untuk memuluskan perjalanannya.
Hal ini persis sekali seperti sahabat karib ku si Paijo, "sedengan tapi uripe lempeng, di arani bagus ki ra maju, di arani elek ki ra mundur."
"Rajin ne cak, isuk-isuk wis ngetik,"
"Macak rajin aku jo, ben di arani pinter."
"Walah, isih pengen ae dadi wong pinter... ngunui nasib cak, la takdire pinter ki masio ra sinau panggah pinter. Tapi la takdire bodo ki masio sinau jungkir jempalik panggah bodo"
Kali ini aku berontak,
"Gundulmu Jo... teori ngawur iku, la aku ra ngunu teori ku, "wong pinter iku kalah karo wong bejo"
"Sa'pinter-pinter'o sundul langit, tapi la ra bejo, yo percuma, ketangis-tangis"
"Tapi, Senajan bodo'o sundul langit, tapi la bejo, yo njur ngguyu ngakak karo mesam-mesem"
"Hualah... iku yo aku cak, jan persis aku... iki..."
Paijo tertawa terpingkal-pingkal, katanya persis perumpaan itu dengan dirinya,