Mohon tunggu...
Hennie Triana Oberst
Hennie Triana Oberst Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penyuka traveling dan budaya

Kompasianer Jerman || Best in Citizen Journalism Kompasiana Awards 2023

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Panggil Aku Amira

14 November 2020   05:46 Diperbarui: 14 November 2020   05:59 528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dua orang sahabat - foto: NickyPe/Pixabay.com

"Ma, aku pergi ke rumah Emma ya," aku pamit sambil meletakkan ceret penyiram tanaman di gubuk kecil tempat peralatan kebun.

"Iya, hati-hati. Besok pulang jam berapa?"

"Mungkin sore sebelum waktu makan malam," jawabku sambil mencium pipi mama.

Sekitar 30 menit mengendarai sepeda jarak rumahku dengan Emma. Malam ini aku akan menginap di rumah sahabat baruku ini.

Emma menjadi sahabatku sejak dua tahun lalu, dia teman pertama di sekolah baruku. Keluarga kami baru pindah di kota kecil ini. Akhirnya kami bisa menempati rumah yang kami idam-idamkan, dengan sedikit halaman kecil untuk tanaman.

Papaku beruntung bisa mendapat pekerjaan di pabrik mobil yang jaraknya sekitar 45 menit naik kendaraan umum dari rumah kami.

Mama bilang, sementara ini kami hanya bisa menyewa rumah kecil di pinggiran kota. Tapi untukku, rumah ini seperti istana, kami tidak perlu lagi berbagi dengan keluarga lain dalam satu rumah. Tetangga sebelah rumah kami, keluarga Becker, sangat baik hati dan suka membantu. 

***

Namaku Amira, anak bungsu dan satu-satunya perempuan dari empat bersaudara. Kami melarikan diri dari negeri yang hancur akibat perang. Hingga akhirnya tiba di Jerman, negeri aman ini membuatku betah.

Teman-teman baruku di negeri ini sangat baik, walaupun awalnya mereka sering tidak mengerti apa yang kuucapkan.

Aku tidak tahu perang apa yang terjadi di negeri kami. Yang pasti, setiap hari kami semua ketakutan karena suara rentetan senjata dan orang-orang yang berteriak dan menangis.

Aku ingat, saat usiaku 10 tahun, kami sekeluarga naik kapal yang berisi banyak penumpang. Sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan. Untungnya papaku ikut bersama kami, jadi kami tidak terpisah. 

Kata mama, berhari-hari kami di laut, anak-anak menangis karena lapar dan kedinginan. Beruntung kami diselamatkan oleh satu kapal besar yang melintas.

Mereka membawa kami ke satu gedung yang besar dengan banyak sekali penghuni dari negeri kami yang hancur. Tempat penampungan, begitu mama menjawab, ketika aku bertanya kami ada di mana.

Enam tahun sudah berlalu. Kami tidak bisa kembali ke negeri kami, rumah dan seluruh kota sudah hancur, rata dengan tanah. Tidak apa-apa, aku juga tidak ingin kembali lagi ke sana. Aku bahagia berada di negeri yang baru ini, tidak ada perang di sini.

***

"Hai Amira!" 

Emma menyambut dengan girang dan memelukku. 

Kami menuju kamarnya dan mengobrol di balkon yang terhubung langsung dengan kamarnya.

"Besok jam 2 siang Paul dan Fynn datang. Kita jalan-jalan ke kota dan ke Cafe Echo."

Emma berkata sambil mendekatkan wajahnya, menggodaku. 

Pipiku memerah ketika mendengar nama Fynn disebut. Cowok tinggi yang wajahnya mirip  Shawn Mendes ini sering membuatku tersipu-sipu. Mereka berdua adalah sahabat Emma sejak awal sekolah.

Kami berempat berada di kelas yang sama, walaupun Emma dan aku mengambil jurusan Bahasa, sedangkan Paul dan Fynn mengambil jurusan IPA dan Teknologi (NWT). Kami hanya berpisah ruang kelas jika mengikuti mata pelajaran jurusan saja. 

Aku dan Emma mengikuti pelajaran bahasa Spanyol sebagai bahasa asing ketiga, sedangkan Paul dan Fynn mengikuti pelajaran NWT. Selebihnya mata pelajaran yang kami ikuti sama semua jumlah jamnya, seperti Biologi, Kimia, Fisika, Geografi dan yang lainnya.

Bagiku cukup berat juga berada di jurusan Bahasa, karena aku harus mempelajari empat bahasa asing, karena Bahasa Ibuku adalah bahasa Arab. Tetapi aku tetap berusaha dan tekun mempelajari bahasa Jerman, Inggris, Perancis dan Spanyol.

Mama berpesan, masa depan kami ada di negeri yang baru ini, tempat kami mendapat harapan untuk hidup lebih baik. Aku juga ingin seperti ketiga kakakku yang tidak pernah menyerah untuk mengejar impian mereka.

Dua orang kakakku sedang melanjutkan pendidikan dengan kerja praktik selama 3 tahun. Sedangkan kakak tertuaku bekerja di restoran sebagai juru masak, itu memang cita-citanya dari dulu.

Aku yakin, jika serius belajar pasti berhasil. Buktinya aku bisa mengikuti pelajaran di sini, walaupun harus turun dua kelas, karena mempelajari bahasa Jerman dan penyesuaian mata pelajaran.

***

Brak!

Sepedaku menimbulkan suara keras saat menyentuh aspal jalan di dekat sekolah. Tergelincir di atas jalan yang dipenuhi daun-daun rontok dan basah karena diguyur hujan tadi malam.

"Kamu baik-baik saja?"

Laki-laki yang tiba-tiba jongkok disampingku bertanya sambil berusaha membantuku berdiri. 

Aku jawab dengan anggukan dan tangan yang masih gemetar.

"Namaku Fynn, kamu siapa?"

"Panggil aku Amira," aku berusaha tersenyum sambil menatap wajahnya.

Ya Tuhan, ganteng sekali ciptaanmu ini.

"Hey, Khuzama Amira, ngelamun sambil senyum-senyum. Mikirin siapa?"

Emma tiba-tiba berbisik di kupingku sambil meletakkan secangkir coklat susu panas di atas meja.

Aduhai, aku teringat perkenalanku dengan Fynn. Tidak sabar rasanya untuk bertemu dia besok siang.

-------

Hennie Triana Oberst - DE.13112020

"Fiksi Teenlit"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun