Mohon tunggu...
Hennie Engglina
Hennie Engglina Mohon Tunggu... Freelancer - Pelajar Hidup

HEP

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sakit Tidak Sembuh, Apakah Anda Disantet? | RKUHP 252 (1)

23 September 2019   17:10 Diperbarui: 11 Oktober 2019   00:42 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: CLVT Nation | Klenik | RKUHP (1)

Salah satu pasal kontroversial dalam draft Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) adalah Pasal 252 Ayat 1:

"Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV." [Denda Kategori IV adalah dua ratus juta rupiah (Pasal 79)]

Pasal itu secara implisit menegaskan adanya fakta eksistensi klenik di negara ini. Rupanya, ada perilaku klenik yang menimbulkan penderitaan mental atau fisik bahkan kematian orang lain sehingga hal ini diatur sedemikian rupa agar ada pertanggungjawaban secara hukum. 

Ada subyek sebagai pelaku, yakni orang yang mengaku mempunyai kekuatan gaib, dan ada obyek selaku korban, yakni orang yang mendapatkan bantuan dari pelaku tetapi bukannya terbantukan malah menjadi sakit atau mati atau mengalami gangguan mental atau fisik.

Pertanggungjawaban atas resiko klenik itu dibebankan kepada si dukun. Timbullah pertanyaan: mengapa juga ada orang yang meminta bantuan kepada dukun klenik? 

Salah satu alasan yang kerap disebutkan adalah karena penyakit yang diderita tidak kunjung sembuh. Jadi, itu dianggap "bukan penyakit biasa".

Pandangan ini biasanya timbul setelah seseorang menjalani proses pengobatan secara medis, yakni memeriksakan diri ke dokter, menjalani tes laboratorium, dan segala deteksi alat teknologi kesehatan, tetapi semua itu memberi hasil negatif. Orang pun berpikir, bahwa hal itu aneh.

Mengapa aneh? Karena tidak ada penyakit, tapi kok tetap merasa sakit? Atau sebaliknya, memang memberi hasil positif, bahwa ada penyakit, tapi sudah diobati. Hasilnya: tidak sembuh juga.

Karena tidak kunjung menjadi sembuh, maka ada orang yang berpandangan, bahwa penyakit itu disebabkan oleh kekuatan ilmu gaib. Pandangan ini kemudian terus berkembang sehingga tanpa disadari sudah mendapat tempatnya di pikiran sekelompok manusia sebagai suatu "kebenaran" dan menjadi keyakinan atau kepercayaan yang melembaga dalam pikiran.

Padahal, bisa saja penyakit itu adalah jenis psikosomatik, yakni rasa sakit di tubuh (fisik/jasmani) dan gejala lainnya yang persis sama dengan penyakit umumnya, tetapi penyebabnya bukanlah dari fisik itu sendiri melainkan disebabkan oleh pikiran dan dipengaruhi oleh emosi. Atau, kalau bukan psikosomatik, bisa jadi itu dari Penciptanya, yakni Tuhan Yang Mahakuasa.

***

Diri manusia pada hakikatnya terdiri dari dua unsur, yakni jasmani dan rohani atau lahiriah dan batiniah (paham dikotomi). Unsur rohani atau batiniah memiliki dua karakteristik, yakni psike (jiwa) yang terkait dengan pikiran dan perasaan manusia, dan spiritual (roh) yang terkait dengan iman atau keyakinan atau kepercayaan (religiosity).

Dengan itu, manusia juga disebut terdiri dari tubuh, jiwa, dan roh (paham trikotomi) sebagai perluasan dari paham dikotomi. Dalam ilmu pengetahuan, persoalan yang timbul dari ketiga unsur itu beroleh penjelasannya dari ilmu kesehatan manusia (tubuh), ilmu jiwa; psikologi (jiwa), dan ilmu agama; teologi (roh). 

Oleh karena itu, bila ilmu kesehatan jasmani manusia tidak memberi jawaban dan solusi terhadap penyakit fisik (tubuh), maka seharusnya manusia melihat unsur lain di dalam dirinya yang juga harus diperiksa, yakni jiwa (psikis) dan roh (sipiritual religius), bukan langsung mengarah kepada hal-hal yang gaib!

1. Dari Jiwa!

Stres emosional pada manusia bisa bermanifestasi dalam tubuh sebagai rasa sakit fisik dengan gejala penyakit fisik pada umumnya.

Saya beri contoh dari apa yang dialami oleh kawan saya. Seluruh tubuhnya gatal dan kulit tubuhnya mengelupas. Saya yakin, siapa pun melihatnya akan merasa "ngeri". Sudah diperiksakan ke dokter, periksa laboratorium, dan lainnya, tapi hasilnya tidak ada alergi apa pun atau tidak ada hal pasti sebagai sebab penyakit itu.

Maka, mulailah orang-orang berkata, bahwa itu "buatan orang". Akan tetapi, kawan saya memilih ke psikiater. Pada saat ia rutin berkonsultasi ke psikiater, orang-orang mulai bergosip bahwa dia gila. 

Minimnya pengetahuan masyarakat tentang jiwa manusia membuat orang memandang sakit pada jiwa adalah orang gila, dan psikiater adalah dokter bagi orang gila. Inilah yang kurang disosialisasikan bagi masyarakat, bahwa pada diri manusia ada unsur tubuh dan jiwa, yang keduanya saling memengaruhi.

Sama seperti penyakit tubuh memiliki klasifikasi medis (minor, sedang, besar, ekstrim) yang disebut Severity of Illness (SOI) atau Tingkat Keparahan Penyakit, demikian pula penyakit jiwa manusia. Tidak serta merta bahwa sakit pada jiwa adalah orang gila.

Dan, satu hal penting digarisbawahi, bahwa tidak semua orang akan menjadi gila, tapi semua orang bisa tidak sadar bahwa ada yang sakit pada jiwanya.

Tahukah Anda iri hati itu penyakit apa? Apakah ada orang yang pernah berobat ke internis, yakni dokter ahli penyakit dalam, karena merasa iri hati? Iri hati itu bertempat pada jiwa manusia, yakni pada pikiran dan perasaan manusia. Itulah yang disebut "dari jiwa!"

Marah, sedih, kecewa, sakit hati, sombong, cemburu, benci, dendam, dan lainnya semua itu bagian dari jiwa manusia. Kalau seseorang marahnya hanya sebentar saja, ya, itu normal. Akan tetapi, kalau hari-hari kerjanya marah saja, maka ada yang perlu dibereskan pada pikiran dan perasaannya (jiwanya!)

Atau, kalau suatu kebencian sudah menjadi dendam bertahun-tahun, maka ada yang perlu diobati di situ dan itu peran ilmu jiwa, bukan dokter spesialis lever atau dokter spesialis otak, tapi orang yang memahami ilmu jiwa. Di sini peran ahli jiwa berkolaborasi dengan peran pemimpin umat (spiritual religi).

Lalu, bagaimana kabar kawan saya? Kawan saya ternyata mengalami stres yang tidak disadari oleh dirinya sendiri. Ada tekanan pekerjaan, kondisi lingkungkan kerja yang rupanya diam-diam ditanggapi oleh kawan saya sebagai lingkungan yang tidak bersahabat dengan dirinya, sifat pimpinan yang dipandangnya tidak berempati kepada para karyawannya, dan lainnya.

Semua itu telah mengendap lama di alam pikiran bawah sadarnya dan bermanifestasi pada tubuh kawan saya, yakni pada kulitnya yang menjadi rusak. Dan, setelah mengenali bahwa sebabnya ada pada dirinya sendiri, dengan bimbingan psikiater, kawan saya mendapati kulitnya perlahan membaik dan benar-benar sembuh. Ternyata itu karena pikiran dan perasaannya (jiwanya!).

Tidak hanya kawan saya, banyak orang yang saya temui dalam pelayanan orang sakit, ternyata memiliki perkara jiwa lebih besar daripada perkara penyakit pada tubuhnya tapi tidak menyadari hal ini.

Saya yakin, itu karena hal kejiwaan ini kurang didengar dan tidak dijelaskan sehingga masyarakat tidak paham bahwa diri manusia bukan hanya tubuh saja, tetapi ada jiwa yang harus sama mendapat perhatian dari pemiliknya. Lihat juga artikel Rehabilitasi Hati dan Pikiran.

Satu contoh lagi. Ada seorang yang terus merasa nyeri pada dadanya. Dia sudah berobat ke dokter, mengikuti seluruh prosedur pemeriksaan medis, dan jantungnya pun telah diperiksa sampai detail. Hasilnya tidak ada penyakit jantung atau lainnya.

Akan tetapi, dia terus merasa nyeri pada dadanya bagian kiri. Lagi-lagi, orang memberi tahu bahwa itu "dibikin orang". Semacam "Voodo", yakni di tempat lain ada orang yang sedang menusuk jarum pada bagian dada sebuah boneka dan boneka itu dimantrai sebagai dirinya. Setelah diperiksa secara kejiwaan, ternyata itu psikosomatik. Ia sembuh.

Apa yang saya mau katakan di sini? Kalau pemerintah prihatin terhadap mereka yang menjadi korban perbuatan klenik, mengapa pemerintah tidak mensosialisasikan psikosomatik ini? Mengapa hanya kesehatan jasmani yang mendominasi sehingga hal kesehatan jiwa ini tidak mendapat tempat yang selayaknya?

Maka, jangan salahkan masyarakat, yang telah ke dokter tetapi tidak sembuh, akhirnya lari ke dukun klenik, sebab hanya itu yang mereka ketahui. Ada "kebutaan" terhadap aspek lain dari dirinya sendiri, yakni jiwanya.

Bahkan ada orang yang langsung meniadakan faktor ini karena sudah begitu meyakini "kekuatan gaib" itu berkuasa atas diri manusia. Apa yang diyakini memang bisa efektif bagi orang yang meyakini.

2. Dari atau Atas Ijin Tuhan!

Ini yang kerap saya tuliskan untuk mengingatkan agar kiranya kita tidak berhenti menarik garis vertikal antara diri kita dan Tuhan. Jauhlah kiranya diri merasa seolah-olah suci tak bernoda hingga tidak mungkin mendapat hajaran dari-Nya.

Kasih Tuhan tidak menghentikan didikan-Nya! "Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu relakanlah hatimu dan bertobatlah!" (Wahyu 3:19).

Akan tetapi, kita seringkali menempatkan diri kita sama seperti Ayub dalam Kitab Suci, yang dicobai dengan berbagai musibah dan derita sakit, sementara Ayub tidak berlaku salah di hadapan Tuhan. 

Berdasarkan kisah Ayub itu, kita pun kerap lebih suka menyebut segala sesuatu yang buruk terjadi adalah UJIAN iman. Lebih nyaman menyebut "ujian" daripada "TEGURAN". Pertanyaannya, apakah kita sama sucinya persis seperti Ayub?

Adalah lebih baik kita melihat diri kita sebagai orang berdosa daripada memandang diri sebagai orang benar, sebab itu hanya akan menjatuhkan kita ke jurang kebinasaan karena kesombongan rohani kita sendiri! Bahkan bisa jadi, kesombongan itulah yang hendak dihancurkan oleh Tuhan dengan penyakit yang dijinkan-Nya ada pada tubuh kita. 

Kitab Suci adalah cermin Ilahi untuk melihat diri kita sendiri. Mungkin ada hal yang hendak dikoreksi dari tabiat atau sifat kita, perbuatan kita, cara kita memperlakukan orang lain, pikiran kita, dan terutama hati kita yang tidak dilihat orang tapi dilihat oleh-Nya.

Mengapa tidak dapat merendahkan hati melihat pada diri sendiri? Kalau toh itu bukan teguran, tapi ujian, maka mungkin saja penyakit itu adalah ujian bagi kesabaran, ketabahan, dan keikhlasan hati kita. Luluslah dari ujian itu! Jalani dan lalui derita sakit itu bersama Dia.

Dan haruslah diingat, bahwa tidak ada sesuatu yang terjadi di luar kehendak-Nya. Kalau toh ada orang yang berlaku jahat kepada kita dengan menggunakan ilmu gaib, maka pertanyaannya adalah bukan siapa dan mengapa dia melakukan itu, tetapi mengapa ilmu gaib itu bisa tembus ke diri kita?

Karena bila kegelapan sanggup menyakiti kita, maka itu berarti benteng pertahanana iman kita lemah! Adalah memang kerja Iblis atau Setan untuk merusak, menyakiti, dan menghancurkan manusia. Itu profesi Iblis. Ia bisa memakai manusia dan apa saja untuk maksud yang jahat.

Akan tetapi, Iblis tidak berkuasa atas orang-orang yang menaruh Allah-nya di atas kekuasaan yang ada di bawah kolong langit ini! Jangan biarkan diri Anda meyakini bahwa yang jahat lebih berkuasa dari pada Allah Anda!!

Bersepakat dengan Iblis memang dapat memberi kesenangan bahkan kesembuhan yang diharapkan. Akan tetapi, perkara lain akan menunggu di depan sana. Sebab, persahabatan dengan kegelapan adalah musuh Allah. Hari ini kita tersenyum, hari esok akan ada air mata. Ada harga yang harus dibayar dari persepakatan dengan kekuatan gelap.

Pandangan "dikerjai orang" begitu kuatnya, hingga suatu ketika ada seorang pemuda mengalami kecelakaan motor di jalan raya dan ayahnya mengatakan bahwa dia "dikerjai temannya" dengan ilmu hitam sehingga anaknya celaka.

Betapa sulitnya untuk melihat diri sendiri dalam segala yang terjadi di hidup kita. Tuhan mau meluruskan kita, tapi tidak semua orang mau diluruskan oleh Dia.

Roh jahat itu ada. Orang jahat ada. Mengapa? Karena Setan atau Iblis ada. Iblis di dalam diri manusia mengotaki manusia untuk menjahati manusia lainnya. Seharusnya Anda membuktikan dengan iman Anda, bahwa Allah Anda berkuasa atas segala-galanya!!

Namun sayang sekali, fenomena yang terjadi, orang beragama malah mengecilkan Allahnya sendiri dan menganggap manusia dan kegaiban lebih hebat dari Allahnya sendiri.

Salam. HEP.-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun