Meskipun demikian, banyak juga orang yang tidak ingin menikah. Perempuan masa kini yang berpendidikan tinggi cenderung khawatir bahwa apabila mereka menikah maka mereka akan menjadi penanggungjawab utama atas pekerjaan rumah (house-keeping) dan mengurus anak yang tentunya akan menyita waktu mereka dalam bekerja maupun melakukan hobinya (Atoh, 1998). Di masa lalu, pernikahan tampak seperti hubungan bisnis dimana wanita seringkali menerima bantuan finansial dari suaminya, sementara wanita mengurus rumah tangga dan anak. Hal ini semakin bergeser dan saat ini banyak yang memandang pernikahan sebagai pemenuhan akan rasa cinta.
Bagi yang sudah menikah pun banyak yang merasa tidak mudah dan tidak menyukai pernikahan mereka. Di Indonesia, jumlah perceraian cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan persentase pasangan yang cerai dibandingkan pasangan yang menikah setiap tahunnya cukup mengkhawatirkan yakni 20,2% pada tahun 2018, 25,7% pada tahun 2021, hingga ke angka tertinggi yakni 30,3% pada tahun 2022. Menurut situs databoks, 75% perceraian pada tahun 2022 tersebut diajukan oleh pihak istri, dimana dari 93% perempuan yang mengajukan gugat cerai itu, 73% adalah perempuan-perempuan yang mapan secara ekonomi. Angka 30,3% ini menjadi masalah serius, dimana dapat dikatakan hampir 1 dari 3 pasangan menikah akan berpotensi untuk cerai. Tingginya angka perceraian ini dapat mempengaruhi kepercayaan anak muda tentang stabilitas dari suatu pernikahan.
Menurut profesor Robert Emery, perceraian membuat anak muda kurang menerima konsep dari suatu komitmen dan pernikahan yang langgeng. Mereka akan mengarah pada kohabitasi karena menganggap jika tidak pernah membuat komitmen (menikah), maka tidak akan pernah bercerai. Menurut Wilcox, akibat rendahnya loyalitas pada tempat bekerja, mereka yang tidak memiliki kestabilan finansial akan cenderung bercerai dan tidak menikah.
Untuk Apa Menikah
Dalam penelitian Profesor Emery dengan membandingkan pengalaman pernikahan dua orang kembar, dia menemukan bahwa pernikahan seringkali membuat orang bahagia, dan orang yang bahagia akan cenderung untuk menikah. Dia mengatakan bahwa pernikahan adalah penyebab dan dampak dari kebahagiaan. Namun, seringkali orang keliru bahwa mereka ingin menikah karena ingin menjadi bahagia, dan melupakan inti dari pernikahan itu sendiri. Menikah berarti dua menjadi satu, dan karena bentuknya adalah suatu keputusan bersama maka harus bersama-sama mengupayakan hal tersebut untuk terwujud. Kebahagiaan adalah hasil turunan dari pernikahan, bukanlah tujuan dari pernikahan itu sendiri.
Banyak yang enggan menikah karena khawatir akan menjadi semakin tidak bebas. Menurut penulis, sebagai seseorang yang saat ini menikah selama lebih dari 15 tahun, pernikahan membuat hidup penulis semakin bebas, dalam arti bebas yang bermanfaat. Konsep fidelity, atau kesetiaan menjadi dasar utama dalam pernikahan. Tentu saja, dengan semangat kesetaraan, perencanaan, kerja keras, harapan, doa, dan rekonsiliasi yang tak hentinya mengingat pernikahan adalah proses yang dinamis dan selalu membutuhkan upaya dan perhatian, agar menjadi pernikahan yang sehat.
Demikian sekilas analisa dan respon penulis akan isu penurunan angka pernikahan serta dampaknya, semoga bermanfaat.....
Salam.