Di tepian desa, rumpun bambu berdiri seperti sahabat lama yang tak pernah pergi. Ia tidak menuntut apa-apa, hanya tumbuh dalam sunyi dengan batang hijau yang melenting dan daun yang berdesir setiap kali angin lewat. Anak-anak biasa bersembunyi di bawah rimbunnya, sementara orang tua memecah batang keringnya untuk menyalakan tungku. Begitulah, bambu hadir begitu akrab, seolah hanya bagian dari keseharian. Padahal, di balik kesederhanaannya, ia menyimpan rahasia besar tentang ekologi, ekonomi, bahkan kebudayaan Nusantara.
Kita sedang hidup di masa krisis iklim. Banjir bandang datang tanpa ampun, tanah longsor merenggut pemukiman, sementara kemarau panjang membuat desa-desa kehausan. Dunia sibuk mencari solusi mahal berbasis teknologi. Namun ada jawaban sederhana yang sering luput dari meja rapat: bambu. Menurut INBAR (2020), setiap hektar bambu bisa menyerap 12--17 ton karbon dioksida per tahun, lebih tinggi dibanding banyak jenis pohon cepat tumbuh. Bayangkan, rumpun yang selama ini dianggap biasa itu bekerja layaknya paru-paru hijau, menelan napas kotor dunia lalu mengembuskannya kembali sebagai udara segar.
Kekuatan bambu juga tertanam di tanah. Akar serabutnya yang rapat mencengkeram bumi dengan tenang, seolah tangan yang tak pernah lelah memeluk. FAO (2021) mencatat, rumpun bambu mampu mengurangi erosi hingga 90 persen di lereng curam. Contoh paling dekat ada di Kulon Progo, Yogyakarta, warga menanam sabuk bambu di bantaran sungai. Hasilnya, banjir menurun drastis, cadangan air tanah tetap terjaga. Tak perlu beton, tak ada proyek triliunan. Hanya bambu, dengan caranya yang sabar. Dari situ kita belajar, kekuatan sejati tak selalu lahir dari kebisingan.
Air pun mengenal jasa bambu. Satu rumpun bisa menyimpan ribuan liter air di musim hujan, lalu melepaskannya sedikit demi sedikit saat kemarau. Di desa-desa pegunungan, bambu berperan sebagai reservoir alami, walau namanya tak pernah tercatat dalam laporan pembangunan resmi. Padahal, di tengah krisis air bersih yang melanda kota-kota besar, bambu sesungguhnya adalah jawaban yang sudah ada sejak lama.
Sayangnya, semua data ini sering tenggelam. Dalam rapat-rapat perencanaan, bambu jarang dipandang serius. Ia masih dianggap tanaman liar, bukan infrastruktur hijau. Padahal, bila pemerintah mau memberi tempat, bambu bisa jadi benteng ekologis Nusantara: sabuk hijau di pesisir untuk menahan abrasi, pagar alami di perbukitan rawan longsor. Murah, sederhana, sekaligus berbasis alam. Pertanyaan yang terus menggantung, kenapa kita lebih percaya pada beton yang mahal dan mudah rapuh?
Potensinya tak berhenti di ekologi. Secara ekonomi, Indonesia menyimpan lebih dari 160 spesies bambu (LIPI, 2019). Namun hanya sedikit yang masuk pasar global. Pada 2022, nilai ekspor produk bambu Indonesia baru sekitar 9,8 juta dolar AS. Bandingkan dengan Tiongkok yang menembus 2,5 miliar dolar (UN Comtrade, 2022). Ironisnya, di dalam negeri, UMKM berbasis bambu sebenarnya menyerap lebih dari satu juta tenaga kerja (BPS, 2021). Dari kerajinan anyaman, rebung untuk kuliner, sampai alat musik. Tapi rantai nilai itu berhenti di titik paling bawah.
Paradoks pun lahir. Di mata kita sendiri, bambu masih dicap murah dan kampungan. Padahal di luar negeri, ia sudah menjelma menjadi papan laminasi yang lebih kuat dari kayu, bahan bangunan tahan gempa, hingga serat nano-selulosa untuk otomotif dan medis. Jika kebijakan ekonomi diarahkan ke industri hijau, stigma itu bisa runtuh. Bambu bisa melompat menjadi komoditas ekologis global, mengangkat martabat desa sekaligus menguatkan ekonomi nasional.
Lebih dalam lagi, bambu hidup di dalam ingatan kolektif Nusantara. Rumah-rumah bambu di Jawa sudah lama terbukti lentur menghadapi gempa. Di Bali, penjor bambu yang menjulang bukan sekadar hiasan, tapi simbol hubungan manusia dengan alam dan para dewa. Di desa, cara menebang bambu diatur oleh kalender bulan, agar terhindar dari hama. Semua itu adalah pengetahuan ekologis dalam bahasa budaya, warisan teknologi tradisional yang terbentuk dari pengalaman panjang.
Namun, kearifan ini perlahan surut. Baja ringan menggantikan dinding bambu, plastik menyingkirkan anyaman, dan logika pasar modern meremehkan bambu sebagai tanda keterbelakangan. Padahal, bila dihidupkan kembali, pengetahuan lokal bisa menjadi fondasi inovasi hari ini. Bambu bukan sekadar bahan, melainkan identitas, bahkan simbol keberlanjutan.
Karena itu, arah kebijakan pelestarian bambu mestinya berdiri di atas tiga kaki. Pertama, mengakuinya sebagai infrastruktur ekologis, masuk ke tata ruang, wajib dalam rehabilitasi DAS, hingga jadi buffer zone kawasan rawan bencana. Kedua, membangun rantai nilai yang adil, panen berbasis lanskap, dikelola koperasi, hasil kembali ke masyarakat. Ketiga, merevitalisasi budaya bambu, agar generasi muda melihatnya bukan sekadar kenangan masa lalu, tapi inspirasi masa depan.