Mohon tunggu...
Hening Nugroho
Hening Nugroho Mohon Tunggu... Laki-laki

Menulis itu sederhana Ig @hening_nugroho Waroenkbaca.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Nature

Mawas dan Jejak Trauma Satwa Nusantara

24 September 2025   12:40 Diperbarui: 24 September 2025   12:40 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mawas, Kalimantan Tengah, berdiri di persimpangan sejarah, kegagalan proyek pangan Orde Baru dan keberlanjutan benteng terakhir Orangutan liar di pulau terbesar ketiga dunia. Dari udara, hamparan gambut Mawas seluas 309.000 hektar tampak seperti lautan hijau kehitaman. (BOS Foundation, n.d.-a). Ia menyimpan air dalam kedalaman lebih dari tiga meter, cadangan karbon penting, sekaligus rumah bagi sekitar tiga ribu Orangutan liar, jumlah yang makin jarang ditemukan di tempat lain.

Bagi masyarakat sekitar, gambut bukan sekadar "kawasan lindung" dalam bahasa hukum, melainkan "pulau kehidupan." Setiap musim hujan, ia menahan banjir agar rumah tak terendam; tiap kemarau, menyimpan air bagi sumur dan kebun. Dalam cerita warga, gambut disebut tanah yang 'bernapas,' dianggap punya jiwa yang menghubungkan hutan, ladang, dan kampung. Ia menyediakan padi, rotan, durian, dan juga menjadi ruang spiritual tempat leluhur menitipkan pesan agar manusia tidak rakus.

Kemarau 2015 menjadi ujian. Api merambat di tepian gambut, kabut asap menutup langit, dan sungai menyusut. Orangutan turun mendekati desa mencari buah dan teduh. Di banyak wilayah, kondisi ini memicu konflik. Namun di Mawas, warga menghidupkan "pagar hidup gambut", deretan pohon geronggang, belangeran, galam, dan semak tahan api di tepi ladang. Aturan tak tertulis berlaku: siapa pun dilarang menyalakan api di radius pagar hidup, pelanggaran dianggap membahayakan desa. Ini bukan regulasi pemerintah, melainkan kearifan lokal yang diwariskan lintas generasi, berlandaskan keyakinan bahwa satwa punya hak ruang.

Dengan cara itu, masyarakat Mawas melihat hutan bukan sebagai batas, melainkan tetangga. Orangutan, burung, bahkan api dipandang bagian dari siklus alam yang mesti dihormati, bukan ditaklukkan. Mereka memilih pagar hidup, bukan pagar besi, karena alam tak pernah bisa dipasung. Program Mawas mencatat sekitar 3.000 Orangutan bertahan di gambut ini, yang secara hukum semestinya kawasan lindung, namun sejak lama masyarakat hidup berdampingan dengannya. (BOS Foundation, n.d.-a).


* Melihat Jejak


Apa yang terjadi di Mawas seolah menjadi cermin. Kita sering menyebut hutan sebagai paru-paru dunia, namun lupa bahwa "paru-paru" itu juga punya denyut nadi, suara gajah, jeritan anak Orangutan yang tercerabut dari induknya, hingga langkah harimau yang makin sunyi. Ada kearifan lokal yang dilenyapkan, trauma satwa yang disembunyikan, dan kontrak sosial manusia-satwa yang hampir putus.

Di Aceh, gajah Sumatra terus kehilangan ruang karena sawit dan jalan. Populasinya hanya 500--600 ekor. Konflik terjadi setiap hari, bukan sekadar soal tanaman pangan rusak, tetapi juga nyawa. Antara 2012--2017, dari 68 kematian gajah, 55 di antaranya akibat konflik dengan manusia (WRI Indonesia, n.d.; Khairullah, 2019). Angka ini merekam kepedihan, gajah yang tak bisa pulang dan manusia yang kehilangan ruang untuk berkata "maaf, ini rumahmu juga."

Orangutan Kalimantan juga bertahan dengan luka lama. Populasinya kini sekitar 57.350 individu (KEHATI, n.d.), turun jauh dari ratusan ribu beberapa dekade lalu. Banyak hidup di luar kawasan lindung, sehingga rentan kebakaran, perambahan, dan konflik. Meski begitu, ada kabar menggembirakan dari Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah. Populasinya meningkat dari 6.080 pada 2016 menjadi sekitar 8.772--8.973 individu pada 2025 (Antara, 2025). Kenaikan ini lahir dari kerja keras pemulihan habitat, patroli, dan rehabilitasi, meski masih terbatas dalam jangkauan.

Harimau Sumatra pun semakin terdesak. Di Aceh, populasinya hanya sekitar 170 ekor (KLHK, 2019). Habitat yang terfragmentasi membuat mereka sering turun ke kebun. Sayangnya, respon yang muncul bukan dialog atau kompensasi, melainkan jerat, racun, atau peluru. Trauma satwa kian dalam, dan akar masalah, hilangnya ruang dan isolasi genetik, tak terselesaikan.


* Yang Terlupakan


Konflik satwa tidak muncul karena hewan "ganas," melainkan karena hutan yang menopang mereka hilang. Gajah masuk ke kebun sawit karena kehilangan pakan alami. Anak Orangutan dipisahkan dari induknya karena dianggap "pengganggu" kebun. Harimau terjebak di kantong kecil hingga mengalami sindrom genetik. Semua ini jarang muncul dalam berita, tetapi bergema dalam ekosistem.

Di sisi lain, peran masyarakat adat sering terpinggirkan, padahal mereka adalah penjaga warisan. Luas ICCAs (Indigenous Peoples and Local Community Conserved Areas) yang terdaftar di Indonesia mencapai 647.457 hektar, mayoritas di Kalimantan sekitar 385.744 hektar. (AMAN, 2021). Potensinya bahkan diperkirakan mencapai 23,82 juta hektar. Wilayah ini bukan hanya sumber hayati, tetapi juga simbol identitas budaya, siklus benih, obat tradisional, ritual bumi, dan cara hidup berkelanjutan.

Namun, rantai komoditas global, sawit, kayu, pulp, terus menggerogoti hutan. Perusahaan internasional, konsumen, izin konsesi, dan pembiayaan terlibat dalam siklus ini. Ada praktik legal, tetapi juga jalur gelap: korupsi izin, ekspansi tanpa kajian, hingga green grabbing dengan dalih konservasi. Jalan keluar yang ditawarkan adalah konservasi berbasis HAM dan pengakuan hak adat.

Sayangnya, penegakan hukum masih lemah. Aturan konservasi ada, tetapi praktik di lapangan sering terhambat oleh kepentingan, minim sumber daya, dan lemahnya pengawasan. Seekor gajah mati diracun di Sumut bisa ditemukan berhari-hari tanpa tindak lanjut berarti. Yang mati bukan hanya satwa, tapi juga kepercayaan pada hukum.

Meski begitu, secercah harapan tetap ada. Di Aceh, Peusangan Elephant Conservation Initiative (PECI) memberdayakan 12 desa penyangga untuk menyediakan vegetasi gajah, bukan menghukum. Di Kalimantan Timur, BKSDA dan BOS Samboja melepas liarkan 28 Orangutan pada awal 2025. Ada pula proyek koridor gajah di Aceh yang sedang digarap, serta wacana replikasi di Lampung. Semua ini menunjukkan bahwa kolaborasi antara komunitas dan institusi bisa berjalan, asal ada dukungan nyata.


* Coexistence sebagai Kontrak Ekologis


Lalu apa yang harus diingat sekarang? Bahwa "Coexistence" tidak lenyap, ia masih ada di tangan kita. Di desa yang membuka dialog, di komunitas adat yang menjaga hutan leluhur, di aktivis yang menuntut transparansi, hingga konsumen global yang peduli asal produk. Tugas kita bukan hanya menolak perambahan, tetapi membangun ruang perjumpaan, koridor satwa, pagar hidup, agroforestri ramah satwa, jalur hijau, sistem kompensasi cepat dan adil, serta norma hukum yang diakui masyarakat lokal.

Coexistence tidak boleh dimaknai pasif. Ia adalah kontrak ekologis yang sadar akan iklim, geografi, dan sejarah manusia. Ia hadir nyata dalam pagar hidup, aturan tak tertulis, dan percakapan warga di tepi hutan. Di Mawas, kebersamaan itu tampak dalam tindakan sehari-hari, air gambut, ladang padi, Orangutan, dan anak-anak desa berbagi ruang.

Mawas menunjukkan bahwa harmoni bisa ditenun dari bawah. Dari larangan menyalakan api, dari pengakuan hak ruang Orangutan, dari pagar hidup yang ditanam. Semua ini berjalan tanpa instruksi negara. Pelajarannya jelas, jika Indonesia ingin menjaga satwa dan manusia, strategi harmoni harus berangkat dari kearifan lokal, diperkuat hukum yang tegas, dan disambungkan solidaritas global yang sadar iklim.

Dengan demikian, jalan tengah ini realistis sekaligus visioner. Ia mengaitkan iklim yang makin ekstrem, geografi yang terfragmentasi, ekonomi global yang serakah, dan aspirasi manusia untuk sejahtera. Semua itu bisa dipertemukan jika kita belajar dari jejak Mawas, jejak kecil yang bisa menjadi kompas moral di tengah krisis ekologis yang kian dalam.

#WAD2025 #SpeakfortheSpecies #Lestarisiana

Daftar Pustaka

AMAN. (2021). Laporan registrasi ICCAs di Indonesia. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara.

Antara. (2025, Februari 6). Wamen LHK: Populasi orangutan di Taman Nasional Sebangau meningkat. Antara News. https://www.antaranews.com/berita/4160355/wamen-lhk-populasi-orangutan-di-taman-nasional-sebangau-meningkat
BOS Foundation. (n.d.-a). Meet Mawas. Borneo Orangutan Survival Foundation. https://www.orangutan.or.id/id/meet-mawas

KEHATI. (n.d.). Indonesia, Laboratorium Dunia Penelitian Orangutan. Yayasan KEHATI. https://kehati.or.id/indonesia-laboratorium-dunia-penelitian-orangutan

Khairullah, M. (2019). Analisis Konflik Manusia-Gajah di Kabupaten Aceh Timur. Universitas Islam Negeri Ar-Raniry. https://repository.ar-raniry.ac.id/33169

KLHK. (2019). Population and Habitat Viability Analysis (PHVA) Harimau Sumatra. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
Pantau Gambut. (n.d.). Luas dan Sebaran Lahan Gambut. https://pantaugambut.id/pelajari/luas-dan-sebaran

WRI Indonesia. (n.d.). Jumlah Kasus dan Korban Akibat Konflik Manusia-Gajah di Aceh. World Resources Institute. https://wri-indonesia.org/id/data/jumlah-kasus-dan-korban-akibat-konflik-manusia-gajah-di-aceh

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun