Mohon tunggu...
Hendra
Hendra Mohon Tunggu... -

Biasa saja...cuma mau berbagi opini aja

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Lingkaran “Lupa” (Ber-) Bahasa Indonesia Kita

25 September 2012   11:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:43 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Salam Bahasa!

Dalam rangka Bulan Bahasa (Oktober) tahun ini, Kompas mengadakan Lomba Penulisan di Kompasiana dengan tema “Bahasa Indonesia dan Kita”. Pertanyaan penulis yang spontan muncul ketika membaca tema ini adalah, “Mengapa terdapat kata hubung dan di dalamnya? Mengapa temanya tidak “Bahasa Indonesia Kita” saja atau Bahasa Indonesia Bersama Kita? Dalam mengakhiri pertanyaan yang dilematis ini, akhirnya penulis menafsirkannya jika kemunculan kata “dan” mengimpilisitkan adanya jarak atau penghambat antara “bahasa Indonesia” dan diri “kita” sebagai penuturnya. Argumen penulis ini mungkin salah jika para pembaca menafsirkannya dalam sudut pandang semantik. Akan tetapi, penulis di sini tidak sedang mengartikan tema penulisan Kompas ini secara semantik, melainkan hanya mencoba mengimajinasikan kata “dan” sebagai satu unsur atau suatu jarak yang memisahkan “bahasa Indonesia” dengan “kita” sebagai penuturnya.

Forum Kompasiana yang memfokuskan objeknya pada bahasa Indonesia sesungguhnya memberikan deskripsi jika masyarakat Indonesia sadar dan peduli dengan kehidupan berbahasa Indonesianya. Opini-opini yang terangkum di Kompasiana membawa pembaca kepada satu suara, yaitu “Bahasa Indonesia” harus diselamatkan. Para penulis di forum ini sendiri telah mendeskripsikan bagaimana gerak hidup bahasa Indonesia di lingkungan kita, mulai dari membahas relasi kekuasaan dalam bahasa Indonesia, sejarah bahasa Indonesia, kesalahan berbahasa Indonesia, dampak bahasa Indonesia terhadap (karakter) bangsa, dan ragam persoalan lainnya.

Persoalan bahasa Indonesia sebenarnya cukup kompleks dan butuh media yang lebih luas dari sekedar blog saja untuk menyelesaikannya. Kompleksitas ini tentu saja tidak dapat diselesaikan dalam waktu dekat. Hal ini setidaknya menegaskan jika problematika bahasa Indonesia jangan membawa kita pada rasa nasionalisme semu yang cenderung membawa masyarakat bahasa kita sebagai masyarakat yang konservatif dan fundamentalis. Hal ini dapat dilihat dari opini-opini yang mencoba mendiskreditkan bahasa asing, bahasa “alay”, dan bahasa daerahnya. Sikap seperti ini, menurut penulis tidak dapat berfungsi secara optimal dalam pembenahan kesadaran berbahasa Indonesia di masyakarat kita.

Dalam hal ini, penulis tidak mencoba menjadi “guru” yang seolah-olah telah memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang berkompeten. Penulis mencoba mengajak pembaca melihat akar persoalan bahasa Indonesia yang kita anggap sedang kritis ini di tengah badai globalisasi. Kita tidak dapat menyalahkan remaja yang lebih memilih hidup dengan bahasa Alay-nya, kita juga tidak dapat mendiskreditkan remaja atau masyarakat yang mengutamakan bahasa asing dibanding bahasa Indonesia, serta kita tidak dapat memusuhi globalisasi yang mulai mendominasi kehidupan berbahasa kita. Sikap-sikap di atas akan membawa kita kepada pemahaman jika kehidupan berbahasa kita akan selalu kontekstual dan akan selalu mengikuti alur zamannya masing-masing. Kedua hal inilah yang mempertegas opini penulis jika kehidupan berbahasa itu memiliki kompleksitasnya sendiri dan tidak dapat disederhanakan dengan dalil nasionalisme.

Penulis merasa jika persolaan bahasa Indonesia yang didiskusikan selalu menempatkan bahasa Indonesia dan bahasa asing (termasuk bahasa daerah) di dalamnya tidak memberikan arena yang adil bagi bahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan bahasa Indonesia bukanlah bahasa pertama di Nusantara ini sehingga tidak dapat menjadi akar kesadaran berbangsa secara utuh. Bahasa Indonesia juga belum semapan bahasa asing yang kebetulan lahir lebih dahulu. Jadi, menurut penulis, persoalan bahasa Indonesia yang dilihat dari sudut pandang ini hanya akan mengulang wacana-wacana persoalan bahasa Indonesia saja. Sekali lagi, ini hanya pengulangan wacana!

Jika ditelisik, sesungguhnya salah satu akar persoalan bahasa Indonesia saat ini adalah munculnya sebuah fenomena yang penulis sebut sebagai “Lingkaran Lupa”. Istilah ini tentu saja hanyaistilah yang membantu penulis untuk menjelaskan salah satu akar persoalan bahasa Indonesia, yaitu “Lupa”. Penulis menggunakan istilah lingkaran, karena fenomena ini terus berulang tanpa henti hingga membentuk lingkaran yang menurut penulis menjadi salah satu dasar hilangnya kesadaran berbahasa Indonesia yang berorientasi pada gagalnya pembentukan karakter Nusantara dalam diri anak bangsa.

“Lupa” yang pertama adalah kita lupa jika kesadaran berbangsa yang terangkum dalam rasa nasionalisme merupakan hasil dari proses pendidikan yang dimulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Kata “Proses” telah mendeskripsikan pembentukan kesadaran berbahasa yang harusnya berkontiunitas. Sekolah dasar merupakan jenjang pertama yang harus dibenahi karena di sinilah awal pembentukan rasa bangga berbahasa Indonesia yang juga berorientasi pada semangat kebangsaan yang berpancasila. Dalam hal ini, kita “lupa” jika masih banyak guru di tingkat sekolah dasar yang belum memiliki kesadaran bangga berbahasa Indonesia dan memiliki kompetensi bahasa Indonesia yang baik dan benar. Suka atau tidak suka, tetapi inilah realitasnya. Para guru di sekolah dasar (penulis dalam hal ini tidak bermaksud mengeneralkan seluruh guru di Indonesia) lupa jika sikap mereka yang mendiskreditkan bahasa Indonesia dalam proses belajar-mengajar maupun menganggap mata pelajaran bahasa Indonesia itu tidak penting, telah membentuk dasar anak-anak bangsa yang menyepelekan bahasa Indonesia. Inilah proses awal pembentukan kesadaran berbahasa yang terjadi di banyak tempat di Indonesia, yaitu rasa “menyepelekan bahasa Indonesia”.

“Lupa” yang kedua adalah kita “lupa” jika pemerintah saat ini lebih mengutamakan kemajuan pendidikan pada level sekolah menengah dan sekolah tinggi saja. Dengan kata lain, pembenahan di tingkat sekolah dasar tidak menjadi prioritas di sini. Jadi, tidak heran jika pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar menjadi dasar terdegradasinya semangat berbahasa Indonesia.

“Lupa” yang ketiga adalah kita lupa jika guru-guru bahasa Indonesia di level SMP dan SMA merupakan mahasiwa yang dulunya kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia (dengan segala varian jurusannya). Sikap dan kebiasaan berbahasa Indonesia yang terjadi di jenjang ini sedikit banyak memberikan gambaran yang signifikan terhadap melemahnya semangat bahasa Indonesia. Kita “lupa” jika kita “sebagai calon guru maupun guru bahasa Indonesia” akan menciptakan beribu-ribu anak bangsa yang akan meniru sikap gurunya terhadap bahasa Indonesia. Realitasnya, masih banyak guru bahasa Indonesia yang tidak mengenali Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia sewaktu mendapatkan gelar Sarjana Pendidikannya. Sikap inilah yang mempertebal degradasi kualitas mata pelajaran bahasa Indonesia yang identik dengan sebutan “menjenuhkan”. Imbasnya adalah menurunnya nilai bahasa Indonesia di Ujian Nasional, baik tingkat SMP maupun SMA di Indonesia.

“Lupa” yang keempat adalah kita lupa jika pihak yang menghasilkan calon guru ataupun guru bahasa Indonesia ini adalah para dosen bahasa Indonesia yang tidak seluruhnya menyimpan gairah berbahasa Indonesia di dalamnya. Bukan rahasia umum lagi jika model pendidikan kita adalah model “proyektor”. Mahasiswa hanya diminta menjadi proyektor dari seluruh tugas kuliah yang dilabeli dengan nilai akademis. Tidak ada yang salah dengan sistem ini sebenarnya. Hal yang salah adalah banyaknya para mahasiswa atau calon guru bahasa Indonesia yang tidak sadar jika mereka telah melakukan kesalahan dalam berbahasa (baik lisan maupun tulisan). Evaluasi yang terjadi di sini hanyalah input nilai kelulusan pada matakuliah tersebut. Inilah yang menjadi lingkungan pertama pembentukan iklim berbahasa Indonesia para calon guru di kampus. Jika iklimnya tidak membentuk calon guru yang kompeten dan cinta dengan bahasa Indonesianya sendiri, niscaya pembenahan bahasa Indonesia hanya menjadi angan belaka.

“Lupa” yang kelima adalah kita lupa jika figur-figur pemerintah yang hadir melalui media tidak menggambarkan sosok yang kompeten dalam berbahasa Indonesia dan bangga berbahasa Indonesia. Kita cepat lupa jika banyak dari pejabat negeri ini yang masih belum bisa menyampaikan gagasannya dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tentu saja, hal ini merupakan dampak langsung dari fase “lupa” yang sebelumnya terjadi di tingkat sekolah dasar hingga sekolah tinggi.

“Lupa” yang keenam dan yang terakhir adalah kita lupa jika media-media informasi, baik media cetak maupun media elektronik yang hadir di masyarakat bukanlah media-media yang berasaskan pada “cinta berbahasa Indonesia”. Dalil media-media ini biasanya adalah pasar atau hasrat konsumen (pembaca atau penonton). Konsumen media di Indonesia cenderung gemar dengan istilah-istilah yang asing, misalnya Headline News, Breaking News, dan banyak lainnnya lagi sehingga media-media harus menjawab keinginan ini. Kita “lupa” jika selera konsumen ini merupakan hasil dari sikap “lupa” yang sebelumnya telah terjadi. Kita juga “lupa” jika dalam seleksi penerimaan reporter atau wartawan, pihak media tidak akan meminta sertifikat atau lisensi yang meyakinkan media tersebut jika calon reporter tersebut adalah orang yang memiliki kompetensi bahasa Indonesia yang baik. Hasilnya adalah publik disuguhkan dengan berita-berita yang kerap melakukan kesalahan berbahasa. Ironisnya, media-media di Indonesia “lupa” jika kesalahan-kesalahan berbahasa yang dilakukannya merupakan pembentukan kesalahan berbahasa pada “alam tak sadar” konsumen. Inilah yang membentuk “rasa ganjil” anak-anak bangsa saat ini ketika mencoba mempraktikkan bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik dalam tuturan lisan maupun tulisan.

Keenam “lupa” di atas setidaknya memberikan gambaran jika seluruh elemen bangsa ini turut andil dalam proses degradasi kualitas kehidupan berbahasa Indonesia. Jadi, butuh kerja sama dari seluruh elemen bangsa untuk mengangkat bahasa Indonesia dalam derajat yang sepantasnya dengan cara melawan “lupa” yang telah disebutkan sebelumnya. Seluruh elemen bangsa harus mengkritisi fenomena-fenoma kesalahan berbahasa yang dilakukannya ataupun yang ditemukannya. Jika hal ini tidak dilakukan, bukan tidak mungkin, “lingkaran lupa” ini akan menyeret anak bangsa pada kelupaan yang maha dahsyat, yaitu lupa jika bahasa Indonesia adalah simbol identitas bangsa!

Salam Bahasa

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun