Indonesia berada di tengah arus besar transisi energi global. Dalam upaya mengurangi emisi karbon, pemerintah mendorong penggunaan kendaraan listrik berbasis baterai (Electric Vehicle/EV) dan menempatkan hilirisasi nikel sebagai tulang punggung strateginya. Dengan cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia ingin menjadi pemain utama dalam rantai pasok baterai global. Namun, di balik narasi “ramah lingkungan” dan “masa depan hijau”, terdapat sisi gelap yang justru memperlihatkan bagaimana transisi ini dijalankan dengan pendekatan eksploitatif dan eksklusif.
Video dokumenter yang menjadi fokus pembahasan ini menyingkap realitas pahit masyarakat lokal di wilayah penghasil nikel, seperti Wawonii, Halmahera, dan Morowali. Dampak ekologis dari aktivitas pertambangan nikel, seperti polusi udara, pencemaran air, hingga perampasan tanah adat, menjadi luka kolektif yang tersembunyi di balik kemajuan teknologi transportasi urban. Bersamaan dengan itu, dalam pembelajaran mengenai Ekonomi Indonesia dan Industrialisasi turut membahas bahaya dominasi oligarki ekonomi dan keterasingan rakyat dari pengelolaan sumber daya alamnya sendiri.
Tulisan dan argumen ini berusaha mengelaborasi ironi tersebut melalui pendekatan ekonomi politik dan Ekonomi Pancasila, serta menawarkan kerangka alternatif berupa ekonomi kerakyatan dan kooperativisme sebagai dasar transisi energi yang lebih adil.
Transisi Energi yang Menyisakan Eksploitasi
Transisi energi sering diklaim sebagai solusi masa depan untuk mengatasi krisis iklim. Indonesia, sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, memposisikan dirinya sebagai pemain kunci dalam rantai pasok global kendaraan listrik. Pemerintah menggandeng hilirisasi nikel sebagai bentuk “kedaulatan energi”, menghapus ekspor bijih mentah dan mendorong pembangunan smelter domestik. Kawasan industri seperti Morowali dan Halmahera menjadi contoh utama keberhasilan proyek ini dalam kerangka pertumbuhan ekonomi nasional.
Namun dibalik narasi hijau dan energi bersih, terdapat praktik eksploitasi sumber daya dan manusia yang tidak kalah intensifnya dengan era ekstraktivisme sebelumnya. Hilirisasi nikel sangat bergantung pada investasi asing, khususnya dari Tiongkok. Konsorsium seperti Tsingshan dan Huayou tidak hanya menguasai teknologi, tetapi juga kepemilikan pabrik dan pangsa pasar global. Negara justru bertindak sebagai fasilitator modal asing daripada pelindung kepentingan rakyat.
Pembangunan kawasan industri seringkali dilakukan secara cepat dan tanpa konsultasi memadai dengan masyarakat lokal. Dalam banyak kasus, lahan pertanian produktif, hutan adat, dan wilayah kelola masyarakat dikonversi menjadi area industri tanpa prosedur Free, Prior and Informed Consent (FPIC). Akibatnya, komunitas lokal kehilangan ruang hidupnya, dan kerusakan lingkungan dibiarkan berlangsung tanpa pemulihan.
Apa yang disebut sebagai “transisi energi” dalam konteks ini tidak mencerminkan perubahan mendasar dalam pola pembangunan. Sebaliknya, ia hanya memindahkan jenis ketergantungan dari bahan bakar fosil ke logam kritis, dan dari pasar Eropa-Amerika ke dominasi Asia Timur. Transisi ini bukanlah transisi sejati, tetapi hanya rebranding dari model pembangunan lama dengan wajah baru.
Ketimpangan Manfaat dan Beban: Siapa yang Untung, Siapa yang Tersingkir
Salah satu aspek yang paling nyata dari industrialisasi nikel di Indonesia adalah ketimpangan distribusi manfaat dan beban. Di kota-kota besar, masyarakat kelas menengah memperoleh subsidi untuk kendaraan listrik, dibebaskan dari pajak, bahkan diberi insentif khusus dalam aturan lalu lintas. Namun, masyarakat di kawasan tambang justru menanggung beban dari proses produksi: polusi udara, air yang tercemar, lahan yang dirampas, dan turunnya hasil panen.
Kisah seperti yang dialami Anwar di Wawonii atau Mahmud Ali di Halmahera menunjukkan bahwa masyarakat adat dan petani lokal berada di ujung tanduk. Tanaman produktif seperti cengkeh dan pala tidak lagi tumbuh karena debu tambang dan limbah smelter. Sungai-sungai yang dulu menjadi sumber air bersih kini berubah keruh, bahkan tidak layak konsumsi. Ini bukan hanya krisis lingkungan, tetapi juga krisis ekonomi dan sosial bagi komunitas yang bergantung pada alam.
Data dari BPS menunjukkan bahwa daerah-daerah penghasil nikel justru mencatat angka kemiskinan yang stagnan atau bahkan meningkat. Sementara nilai ekspor produk olahan nikel melonjak, tidak ada redistribusi ekonomi yang berarti bagi masyarakat di sekitarnya. Ini memperkuat teori tentang resource curse, di mana kekayaan sumber daya alam malah menjadi kutukan bagi wilayah penghasilnya.