Mohon tunggu...
Hendro Sutono
Hendro Sutono Mohon Tunggu... Pegiat kendaraan listrik, Admin KOSMIK Indonesia.

Penggemar otomotif. Pegiat kendaraan listrik dan admin FB Group KOSMIK Indonesia (komunitas sepeda/motor listrik indonesia)

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Ethanol atau tidak, biarkan masyarakat memilih di SPBU

11 Oktober 2025   23:40 Diperbarui: 13 Oktober 2025   04:04 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Daripada memaksa semua orang memakai bahan bakar bercampur ethanol, lebih baik pamong negara menyesuaikan harga energi dengan jejak karbonnya. BBM beremisi tinggi dikenakan pajak lebih besar, sementara bahan bakar rendah emisi---bioetanol, biodiesel, atau listrik---mendapat potongan atau insentif.
Masyarakat tetap bebas memilih, tapi pilihannya menjadi rasional karena mencerminkan biaya lingkungan yang sebenarnya.

Pendapatan dari pajak karbon pun bisa diarahkan untuk hal-hal yang konkret: pembangunan stasiun pengisian kendaraan listrik, subsidi riset biofuel, atau program penghijauan. Dengan begitu, transisi energi berjalan bukan karena paksaan, tapi karena logika ekonomi yang sehat.

Transisi Bukan Pemaksaan

Kebijakan pajak karbon juga lebih transparan dan adil. Ia tidak menuduh, tidak memerintah, hanya menempatkan harga yang jujur pada setiap liter bahan bakar.
Masyarakat yang memilih BBM konvensional tahu bahwa mereka membayar lebih karena efek karbonnya tinggi. Yang beralih ke bahan bakar hijau membayar lebih murah karena dampaknya lebih kecil. Tidak ada pemaksaan, hanya keadilan proporsional.

Dan jika pamong negara memang ingin "memaksa demi bumi," bukankah lebih logis sekalian mempercepat penggunaan kendaraan listrik? Sudah jelas bahwa listrik sangat mungkin dihasilkan dari sumber-sumber energi yang dimiliki oleh kita sendiri (termasuk ethanol 100%, biomasssa, bahkan sampah), sehingga akan sangat mengurangi ketergantungan energi import.
Itu langkah besar yang benar-benar menurunkan emisi, bukan sekadar mengganti 5 persen isi tangki. Setengah hati dalam transisi energi justru memperpanjang ketergantungan pada bahan bakar lama tanpa hasil nyata.

Energi Bersih dengan Logika Sehat

Transisi energi yang berhasil di negara mana pun dibangun lewat tiga pilar: regulasi yang adil, insentif yang cerdas, dan kebebasan memilih. Ethanol bisa menjadi bagian dari solusi, tapi bukan satu-satunya jawaban. Apalagi jika disodorkan dengan cara yang meniadakan opsi lain.
Masyarakat Indonesia cukup rasional untuk memahami manfaat bahan bakar hijau, asalkan diberi informasi yang jujur dan kesempatan yang setara.

Pada akhirnya, jalan menuju energi bersih bukan ditentukan oleh seberapa keras pamong negara memerintah, tapi seberapa cerdas mereka meyakinkan. Biarkan pilihan itu terjadi di SPBU, bukan di balik meja kebijakan.
Yang dibutuhkan publik bukan paksaan baru, melainkan kepercayaan bahwa transisi energi dijalankan dengan logika, bukan sekedar kampanye simbolis.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun