Mohon tunggu...
Hendro Sutono
Hendro Sutono Mohon Tunggu... Pegiat kendaraan listrik, Admin KOSMIK Indonesia.

Penggemar otomotif. Pegiat kendaraan listrik dan admin FB Group KOSMIK Indonesia (komunitas sepeda/motor listrik indonesia)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

BBM Swasta Ludes, Tamparan Untuk Pertamina

15 September 2025   22:04 Diperbarui: 15 September 2025   22:18 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kuota impor BBM untuk SPBU swasta habis hanya dalam hitungan minggu. Fakta ini tidak bisa dianggap kebetulan. Ia adalah indikator paling telanjang bahwa konsumen sudah jenuh dengan layanan Pertamina, dan begitu ada celah untuk memilih, mereka segera berbondong-bondong pindah.

Selama lima tahun terakhir, catatan publik tentang Pertamina penuh dengan kekecewaan. Antrean panjang dan stok BBM yang sering kosong membuat mobilitas sehari-hari terasa seperti undian nasib. Kualitas Pertamax pun diragukan; keluhan soal mesin brebet, tenaga turun, BBM tercampur, BBM oplosan, RON tidak sesuai hingga konsumsi yang boros sempat memicu ratusan aduan resmi. Di atas itu semua, digitalisasi lewat aplikasi MyPertamina malah menambah frustrasi. Bukannya memudahkan, sistem ini kerap error, gagal transaksi, dan menyulitkan konsumen yang hanya ingin isi BBM dengan cepat. Hal-hal yang mungkin tampak sepele---toilet kotor, antrean panjang, layanan yang dingin---menumpuk menjadi pengalaman buruk yang nyata.

Ketika SPBU swasta muncul dengan pelayanan lebih bersih dan stok lebih terjamin, konsumen tidak perlu diberi arahan untuk berpindah. Kuota mereka langsung diserbu sampai habis. Fenomena ini mestinya dibaca sebagai suara lantang: publik menginginkan pilihan, transparansi, dan standar layanan yang lebih tinggi.

Namun alih-alih merespons sinyal ini, Menteri ESDM justru mendorong SPBU swasta berkolaborasi dengan Pertamina. Bahkan, mekanisme impor BBM diarahkan lewat satu pintu Pertamina. Dengan alasan menjaga stok dan mencegah kelangkaan, kebijakan ini pada akhirnya mengembalikan dominasi Pertamina yang sempat digoyahkan oleh perilaku konsumen. Bukannya memperkuat persaingan sehat, negara memilih jalur pragmatis yang justru menutup peluang lahirnya alternatif.

Inilah kontradiksi yang mencolok. Konsumen sudah terang-terangan menunjukkan ketidakpuasan lewat pasar: mereka pindah, mereka menyerbu, mereka meninggalkan Pertamina begitu ada kesempatan. Tapi negara seakan berkata: "Silakan kecewa, ujungnya tetap beli dari Pertamina." Padahal inti masalah bukan sekadar soal stok, melainkan soal kepercayaan dan mutu layanan.

Pertamina memang BUMN strategis, tapi bukan berarti ia harus kebal dari kompetisi. Justru dengan membuka ruang bagi swasta, Pertamina bisa terdorong untuk berbenah. Mengembalikan seluruh kendali ke tangan Pertamina hanya akan memperpanjang siklus kekecewaan yang sama.

Konsumen Indonesia telah bersuara lewat perilaku mereka. Pertanyaan besarnya: apakah pemerintah berani mendengar, atau memilih terus memanjakan status quo?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun