Simulasi menunjukkan bahwa realisasi aset di atas nilai buku menimbulkan PPh Badan, sedangkan sisa harta yang dibagikan ke pemegang saham dikenai PPh Final 10% jika perorangan. Misalnya, PT Maju Terus memiliki aset Rp1 miliar dengan nilai buku Rp600 juta. Laba Rp400 juta dikenai PPh Badan 22%, yaitu Rp88 juta. Sisa harta Rp800 juta dikenai PPh Final Rp80 juta. Total pajak terutang saat likuidasi adalah Rp168 juta.
Dalam merger tanpa permohonan pengecualian, pajak atas pengalihan gedung (nilai pasar vs nilai buku) sebesar Rp440 juta, PPN atas persediaan Rp110 juta, dan PPh atas tanah Rp100 juta---total Rp650 juta. Jika disetujui DJP, seluruh pajak ini dikecualikan sebagai tangguhan pajak ke entitas penerus, sesuai Pasal 10 ayat (3). Ini menunjukkan pentingnya justifikasi bisnis dalam merger agar tidak menimbulkan beban pajak besar.
Kritik terhadap sistem perpajakan merger dan likuidasi meliputi kurangnya perhitungan kompensasi rugi fiskal, pengenaan pajak atas dividen sisa harta yang terlalu luas, dan persyaratan substantif dari DJP yang terlalu umum. Tanah dan bangunan sering dianggap objek PPh Final meskipun dalam konteks merger seharusnya tidak dikenai. Aspek PPN dan pengkreditan pajak juga sering terabaikan dalam simulasi, padahal penting sebagai hak wajib pajak.
Dalam likuidasi, PPh dikenakan atas laba dan penghapusan utang, PPN atas penjualan aset, dan proses administratif berupa pencabutan NPWP. Dalam merger, PPh bisa dikecualikan jika memenuhi syarat, PPN sering dikecualikan, dan administrasi membutuhkan dokumentasi restrukturisasi. Kritik umum menyebut proses ini lambat dan rigid, serta syarat tax-neutral yang terlalu kaku menghambat efisiensi bisnis.
Penerapan konsep kebebasan positif terhadap kebijakan pajak merger dan likuidasi ditunjukkan dalam aspek what--why--how. Pajak dipandang sebagai alat negara untuk mewujudkan kebebasan substantif seluruh warga, bukan sekadar instrumen fiskal. Negara berhak mengatur dan mengarahkan kebijakan merger dan likuidasi agar selaras dengan etika sosial dan pembangunan inklusif.
Berikutnya dijelaskan kebebasan negatif, yaitu kebebasan dari campur tangan pihak luar, khususnya negara. Tokoh seperti Berlin, Nozick, Locke, dan Machan melihat pajak sebagai pembatas kebebasan individu, dan negara seharusnya berperan minimal. Dalam konteks merger dan likuidasi, tindakan perusahaan adalah hak kontraktual yang tidak boleh diintervensi negara kecuali melanggar hukum. Konsep ini diterapkan dalam bisnis dengan penolakan terhadap pajak yang bersifat redistributif dan pembatasan merger/likuidasi. Tax planning dianggap sah, dan keputusan bisnis seperti menutup usaha tidak boleh dikenai beban moral atau sosial oleh negara.
Kasus merger dan likuidasi dianalisis dari perspektif kedua teori. Dalam kebebasan negatif, negara cukup sebagai pengawas agar tidak ada pelanggaran hukum. Dalam kebebasan positif, negara memiliki peran aktif dalam memastikan keberlanjutan sosial pasca merger/likuidasi. Misalnya, merger harus mendukung UMKM dan transformasi digital. Likuidasi harus disertai program reskilling bagi karyawan agar tidak menciptakan kerusakan sosial.