Mohon tunggu...
Hendri Sopian
Hendri Sopian Mohon Tunggu... Pembelajar

Minat di bidang Pajak, Hukum, Penilaian, Manajemen Keuangan, Bisnis.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Loophole PBB P5L Sektor Pertambangan: Ketika Ketentuan Formal Menyisakan Celah Ketidakadilan

11 Juni 2025   09:00 Diperbarui: 11 Juni 2025   09:00 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam praktik penyelesaian sengketa perpajakan, aspek formal kerap menjadi prioritas dalam pengujian oleh majelis hakim dibanding aspek material. Pendekatan ini bertujuan menjaga kepastian hukum, konsistensi, serta transparansi proses administrasi negara. Namun, dalam konteks pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor Pertambangan dalam ruang lingkup PBB P5L---yakni PBB untuk sektor Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan Migas, Pertambangan Minerba, dan Pertambangan Panas Bumi---dominasi ketentuan formal justru membuka ruang ketidakadilan dan potensi kerugian negara.

Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang PBB secara eksplisit menyatakan bahwa saat terutang PBB ditentukan berdasarkan keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari. Ketentuan ini berimplikasi besar terhadap sektor pertambangan yang memiliki masa berlaku izin usaha terbatas. Misalnya, dalam kasus izin usaha pertambangan (IUP) yang berakhir tepat pada 31 Desember 2024, maka pada 1 Januari 2025, objek tersebut dianggap tidak lagi memiliki izin yang berlaku. Konsekuensinya, tidak terdapat kewajiban PBB untuk tahun pajak 2025 meskipun kegiatan operasi produksi yang berdampak ekologis masih berlangsung hingga akhir tahun sebelumnya.

Fenomena ini menunjukkan adanya loophole normatif, di mana ketentuan formal dimanfaatkan secara sah oleh wajib pajak untuk menghindari kewajiban pajak. Padahal, dari sisi material, aktivitas usaha yang menghasilkan keuntungan tetap berlangsung dalam tahun pajak sebelumnya. Jika tidak segera diantisipasi, kondisi ini akan terus membuka ruang terjadinya penghindaran pajak yang berdampak sistemik terhadap penerimaan negara.

Pemerintah perlu mengambil langkah konkret untuk menutup celah ini. Jika revisi UU PBB dinilai memerlukan waktu panjang, maka regulasi turunan seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, atau Peraturan Menteri Keuangan dapat diterbitkan. Regulasi tersebut dapat memberikan tafsir otoritatif bahwa untuk sektor pertambangan, "keadaan objek pajak per 1 Januari" dimaknai sebagai hasil dari kegiatan eksplorasi/eksploitasi yang berlangsung hingga akhir tahun sebelumnya.

Dengan penyempurnaan regulasi tersebut, ketentuan formal dan material dapat diharmonisasikan, sehingga mencegah kerugian negara, memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak, dan mendukung prinsip keadilan dalam sistem perpajakan nasional.

Referensi:

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun