Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Kritik Dianggap Tak Asik

24 Februari 2025   11:36 Diperbarui: 25 Februari 2025   11:30 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dapat bersikap kritis terhadap apa yang terjadi disekitarnya, kiranya memang menjadi tujuan pembelajaran saat ini. Hal ini merupakan bagian dari berpikir mendalam, dalam upaya pemecahan masalah sehari-hari sesuai teori dengan praktiknya (deep learning).

Kritik realitas menjadi faktor penting dalam memahami lingkungan dengan baik. Termasuk dalam mengekspresikan sesuai perspektif individu (ideologi). Ini adalah hak, yang dilindungi Undang-Undang, tanpa pengecualian dalam sudut pandang positif.

Namun, jika sikap ekspresif diartikulasikan negatif, pendekatannya tentu menjadi subjektifitas. Sebuah pendekatan yang cenderung negatif jika berkenaan dengan realitas. Seperti apa yang dialami musisi beraliran punk Sukatani band belakangan ini.

Lirik kritiknya dianggap sebagai hal negatif dan tidak perlu disampaikan ke publik. Walau realitas yang disajikan justru dianggap sesuai dengan pandangan masyarakat. Namun, kiranya tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, dalam diksi kritik bagi para "oknum".

Kritik Dianggap Tak Asik

Kritik, kerap menampilkan persinggungan antar berbagai pihak jika dipersepsikan secara subjektif. Immanuel Kant dalam "Perpetual Peace: A Philoshophical Sketch"; budaya dan seni adalah buah mencintai diri dengan kebebasan yang berangkat dari realitas.

Kuncinya adalah persepsi, suka atau tidak suka, ataupun ketertarikan massa. Warga-net memang menjadi ruang sosial yang reaktif dengan beragam paradigmanya. Persepsi publik saat ini dianggap sebagai "hakim" yang dapat memberi putusan konkret.

Itulah yang menarik dari berbagai kasus "pembredelan" karya seni yang terjadi belakangan ini. Kritik terhadap penguasa atau ruang kemapanan memang menjadi daya tarik yang ikonik dengan simbol perlawanan. Baik di dunia seni ataupun musik.

Soal "asik dan tak asik", bukan lagi menjadi soal yang patut diklarifikasi. Karena kritik melalui seni merupakan hak yang tidak dapat dibatasi. Mereka berdiaspora seiring tersampaikannya suara-suara perlawanan atas ketidakadilan. Apalagi dalam ruang demokrasi.

Demikianlah karya seni kritis, yang semakin dilarang maka akan semakin lantang menggema. Hingga kemunculan dukungan bagi pembredelan karya seni yang justru bergerak menjadi gelombang di Samudera, seperti ungkap Rendra (1977).

Tagline Kami bersama Sukatani, kiranya menjadi bukti bahwa seni perlawanan memiliki ciri khalayak di setiap zaman. Ia mengikuti apa yang terjadi sesuai dengan realitas pada masanya. Semoga bermanfaat, dan terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun