Mohon tunggu...
Hendra Fahrizal
Hendra Fahrizal Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Certified Filmmaker and Script Writer.

Hendra Fahrizal, berdomisli di Banda Aceh. IG : @hendra_fahrizal Email : hendrafahrizal@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sebuah Hikayat Tentang Si Bodoh

3 Februari 2023   23:46 Diperbarui: 25 Maret 2023   14:01 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Star on Earth Movie)

Pernah dulu sekali, saat mengobrol bersama seorang teman, dalam perspektif filsafat saya berandai-andai, jika saya kaya, saya ingin untuk membuat perusahaan besar yang isinya orang-orang  --yang dikatakan, maaf-- jelek dan bodoh.

Saya berargumen. Saya sedih melihat orang yang jelek sering gampang tersisih dengan orang yang berparas cantik. Kecantikan kerap jadi pertimbangan meloloskan seseorang mendapatkan pekerjaan. Kalau yang cantik minta tolong, lebih banyak orang yang akan membantu. Diskriminatif.

Saya terkesima ketika membaca berita tentang sebuah usaha salon, di luar negeri, melawan fenomena itu dengan memperkerjakan karyawan perempuan yang wajahnya rusak, terbakar, tersiram air keras. Ia merasa semua orang berhak mendapatkan hak bekerja sebagaimana orang lain.

Orang bodoh juga begitu. Tapi, saya belum sempat menjelaskan kalimat selanjutnya dan teman saya tertawa. Dia bilang, orang bodoh itu justru harusnya dihindari. Karena akan mereka akan menggerogoti stok kesabaran ita dan berpotensi menghancurkan perusahaan.  Lalu obrolan teman saya berlanjut ke soal bahwa kebodohan itu akibat kesalahan si orang itu sendiri yang malas belajar.

Sejenak, tiba-tiba saya jadi ingat kisah Amelia Dyer. Ia adalah warga negara Inggris yang dinobatkan sebagai salah satu pembunuh paling berdarah dingin di dunia. Ia dituduh membunuh --setidaknya-- 400 bayi yang merupakan bayi adopsi dari pengelolaan rumah perawatan bayi yang dimilikinya. Saya tidak akan menulis kisah lengkapnya, bila ingin mendapatkan cerita lengkapnya silakan langsung klik disini.

Hal yang menarik dari kisah Dyer adalah, ketika ia diadili dan kemudian dihukum mati, ada sebuah argumen hukum baru muncul, tentang apakah Dyer perlu dihukum. Jawaban kita tentu saja karena ia bersalah, namun waktu itu para praktisi hukum (modern) di Inggris memiliki pandangan berbeda.

Sebagaimana yang kemudian terungkap dalam persidangan, Dyer semasa hidup mengalami tekanan jiwa yang tinggi. Masa kecilnya, ia harus berhadapan dengan seorang ibu yang memiliki penyakit mental yang dibawa akibat tifus hingga ia wafat, sehingga Dyer tumbuh lingkungan yang merusak mental. Pada akhirnya, ia mengidap masalah yang sama.

Prilakunya yang kejam dengan menghabisi nyawa bayi-bayi asuhnya dianggap sebagai dampak penularan penyakit mental sang ibu. Karena memang manusia normal umumnya tidak akan melakukan hal sekeji ini. Toh, seorang pembunuh pun, biasanya melakukan tindakan kriminal itu selalu dengan motif; karena dendam, ingin merampok atau berkonflik. Sehingga kemudian muncullah sebuah pandangan hukum baru, tentang apakah Dyer pantas dihukum? Bukankah ia lahir dari gen gangguan mental seorang ibu dan menurun dari dirinya? Dia abai terlindungi dan dirawat oleh negara. Bila demikian tentu itu bukan salahnya. Lalu apakah ia pantas menerima hukuman? 

Hal itu menarik bagi saya. Kemudian muncul pertanyaan yang sama ketika mendengar kata 'orang bodoh.' Sepanjang yang saya perhatikan, kebanyakan dari kita ternyata tidak bisa membedakan antara orang malas dan orang bodoh. Ketika seseorang tidak tahu sesuatu karena dia malas membaca, maka orang itu akan disebut bodoh. 

Saya punya teman SD, namanya Mega. Ia rajin ke sekolah. Hampir tidak pernah absen. Tapi dia sepertinya tidak mampu menyerap pelajaran. Jika dia diminta ke depan kelas oleh guru untuk mempresentasikan sesuatu, dia diam seribu bahasa. Saya perhatikan, sepertinya dia bukan tidak bisa, tapi tidak mengerti dia harus ngapain. Teman-teman yang lain mengatakan Mega ini bodoh. Maka, muncul pertanyaan, mengapa ada orang yang rajin ke sekolah, tapi dia tidak bisa pintar?

Akhirnya, setelah bertahun-tahun, membaca-baca dan mendapati pengalaman empirik, saya mengetahui bahwa salah satu masalah soal bodoh ini -- lepas si anak mengidap down syndrom, autisme dan sejenisnya--, mereka mungkin mengalami delay tumbuh kembang atau delay umur.  Artinya, ada anak yang usianya 6 tahun, tapi perkembangannya ia seperti anak 4 tahun. Koleksi kosakatanya masih sedikit seperti anak 4 tahun. Selera bermainnya masih seperti anak 4 tahun. Perilakunya, kebiasaannya, masih seperti anak 4 tahun. Berbicara soal kosakata yang mundur dua tahun, tentu anak ini akan sulit berinteraksi. Jangankan memahami pelajaran, memahami apa yang gurunya sampaikan saja dia bingung, karena ada beberapa kosakata yang ia tidak mengerti. Ketika ia sedang berusaha menelaah kalimat yang guru sampaikan, si guru sudah berbicara kalimat selanjutnya. Akhirnya, ia tertinggal.

Harusnya, anak itu harus tetap diperlakukan seperti anak 4 tahun. Dia harus berada pada lingkungan dan interaksi yang tepat untuk anak 4 tahun. Pendidikan seorang anak tidak boleh diacu berdasarkan umurnya, tapi diobservasi dari perkembangan otaknya. IQ-nya. Jika perkembangan otaknya masih membutuhkan dia berada di playgroup, ya dia lebih baik berada di situ dulu, daripada dipaksakan masuk TK atau SD tapi kemudian tidak mampu mengejar standar karena keterbatasan komunikasinya. Masalahnya, dengan mengacu pada umur, maka orang tua yang memiliki anak sejenis ini--dan mereka tidak salah karena memanuti sistem pendidikan kita-- lalu menyekolahkan anaknya karena usianya dianggap sudah cukup untuk bersekolah. Namun taraf tumbuh-kembang ternyata belum memadai untuknya bersekolah. Bila dipaksakan, dengan kemampuan komunikasi yang dibawah standar, maka si anak akan kesulitan menyerap pelajaran. Artinya, jangankan berharap dirinya akan memahami pelajaran, sekedar untuk mencerna apa yang disampaikan gurunya aja dia belum mampu. Lalu, kemudian apa yang terjadi? Ya, teman-temannya akan bilang dia bodoh. Lalu di-bully.

Di sebuah ruang terapi anak di sebuah rumah sakit, saya bertemu teman sekolah saya, sebut saja namanya Una. Dia bekerja sebagai staf administrasi di ruangan tersebut. Una bercerita, anaknya mengalami speech-delay. Sehingga, di usia 7 tahun, ia masih menyekolahkan anaknya di TK. Tentu saja Una banyak mengerti soal ini, karena ruang kerjanya pun di ruang terapi anak. Bertemu pasien anak-anak dengan model demikian adalah kesehariannya, sehingga ia kemudian memilih bertindak sebagaimana dia seharusnya bertindak. 

Memang tidak semua orang tua mampu begitu. Sebagai orang tua, memang agak getir, melihat anak sudah 7 tahun masih di TK. Apalagi ketika ibu-ibu komplek "kurang baca banyak tiktokan" kerap menggeneralisasi setiap anak dengan ucapan pedis, "Ini sudah 7 tahun kok masih SD?", "Ini sudah mau 5 tahun kok masih pake popok?" Mereka tidak tahu, setiap anak berbeda. Una, teman saya itu sudah melakukan hal yang tepat. Ia tidak memaksakan anaknya karena itu akan menjerumuskannya ke sebuah ancaman lebih besar. 

Beberapa orang tua beruntung mengawasi anak-anak mereka dengan pengetahuan soal tumbuh-kembang anak yang memadai, sehingga mereka bisa segera mengantisipasi dan melakukan apa yang harus dilakukan. Salah satunya dengan mendidik anak melalui pola home-schooling. Sebagai orang tua, ia tentu memahami bagaimana cara si anak berinteraksi dan mencernanya, sehingga orang tua itu akan lebih sabar dan telaten dalam mengajari si anak.  Karena, kondisi di sekolah, setiap anak kerap disamaratakan. Guru tidak memberi perhatian lebih kepada anak yang terlambat. Maka, akhirnya dia semakin tertinggal. Ketidakpahaman orang tua bagaimana mengantisipasi hal itu memperparah kondisi si anak.

Oleh karena itulah, kemudian saya mulai menolak mengatakan bahwa setiap orang bodoh. Seperti hidup Dyer, seorang anak mungkin "menjadi bodoh" karena mungkin salah satu penyebabnya adalah kesalahan lingkungan memperlakukannya, terjadi pengabaian atas hak dan perlakuan yang harusnya ia terima. Antisipasi itulah yang pernah dilakukan oleh Pauline Koch, yang segera bertindak cepat memutuskan apa yang harus dilakukan kepada anaknya Albert Einstein yang hingga 4 tahun belum bisa berbicara dan ketika bersekolah divonis gurunya berintelijensi rendah. Syukurnya, Pauline akhirnya bertindak benar. Ia melihat bakat Einstein ketika ia menyukai fisika dan berteman dengan mahasiswa fisika. Guru-gurunya tentu tidak akan menyadari itu.

Hingga akhirnya Einstein malah jadi salah satu orang paling jenius di planet bumi ini. Mungkin bila Pauline mengabaikan dan terus membiarkannya saja, menganggap bahwa bodoh yang mendera Einstein adalah kodrat semata, bisa jadi mungkin Einstein bernasib lain.

Lagipula, setiap anak kadang menunjukkan sinyal ajaib yang harus diamati dengan cermat. Ia kadang sulit bicara, tapi ia jago main rubik dimana anak-anak lain bahkan orang dewasa pun tidak bisa menyelesaikannya. Ia sulit berhitung tapi dengan mudah menghafal setiap warna bendera negara di muka bumi ini. Itu adalah sinyal, bahwa dia harus dibawa ke arah mana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun