Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Penahanan Ahok Cacat Hukum

14 Mei 2017   05:06 Diperbarui: 14 Mei 2017   17:58 3607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini ingin mengkoreksi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor  1537/Pid.B/2016/PN.Jkt Utr tanggal 9 Mei 2017. Putusan dengan terdakwa Ir. Basuki Tjahaja Purnama, yang selanjutnya disebut “Putusan Ahok”. Koreksi atas amar putusan “Memerintahkan agar Terdakwa ditahan” (Lihat: Putusan Ahok halaman 616).

Menurut pendapat saya, terjadi dua kesalahan: pertama, kesalahan yang dilakukan oleh majelis hakim dengan memasukan putusan “Memerintahkan agar Terdakwa ditahan” (selanjutnya saya sebut “ahok ditahan”); dan kedua kesalahan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum yang seketika menahan Ahok. Saya akan memulainya dengan kesalahan kesalahan yang dilakukan oleh majelis hakim terlebih dahulu.

Pertimbangan majelis hakim memasukan amar putusan agar “ahok ditahan” berdasarkan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP yang menyebutkan bahwa surat putusan pemidanaan menyebutkan perintah supaya terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan (Putusan Ahok halaman 615). Benar. Pertimbangan majelis hakim mengunakan dalil hukum ini sudah benar.  Tetapi pertimbangan menjadi salah ketika majelis hakim memasukan pertimbangan hukum kedua dengan mengutip Pasal 197 ayat (2) KUHAP, “Menimbang bahwa Pasal 197 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa tidak dipenuhinya ketentuan  dalam ayat (1) huruf …k… mengakibatkan putusan batal demi hukum” (Putusan Ahok halaman 616). Dengan pertimbangan menggunakan pasal tersebut disebut “Pengadilan menetapkan agar Terdakwa ditahan”.

Kesalahan fatal majelis hakim adalah Pasal 197 ayat (2) huruf “k” KUHAP telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Melalui putusan MK Nomor 69/PUU-X/2012 tanggal 22 November 2012. Singkatnya, menggunakan Pasal 197 ayat (2) huruf “k” KUHAP dalam pertimbangan majelis hakim untuk mengambil putusan dapat dikatakan cacat hukum. Menggunakan dalil hukum yang sudah dinyatakan tidak berlaku lagi. Sungguh aneh majelis hakim tidak mengetahui bahwa pasal tersebut sudah tidak berlaku lagi sejak tahun 2012.

Kesalahan kedua, majelis hakim melanggar ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 8 tahun 1985. Pada pokoknya kewenangan hakim tingkat pengadilan negeri (PN Jakarta Utara) untuk menahan terdakwa berdasar Pasal 26 KUHAP sudah habis. SEMA tersebut menyatakan “apabila wewenang penahanan yang dimiliki Pengadilan Negeri sudah habis dipergunakan, maka Hakim Pengadilan Negeri tidak dapat memerintahkan "agar terdakwa ditahan" di dalam putusannya”.

Kapan kewenangan hakim Pengadilan Negeri untuk menahan terdakwa habis? Sebelumnya kita lihat dulu tujuan penahanan menurut Pasal 26 ayat (1) KUHAP. Tujuannya adalah “guna kepentingan pemeriksaan”. Pemeriksaan didepan pengadilan dianggap selesai, setelah putusan pengadilan dibacakan. Lalu apa tujuannya Ahok ditahan, ketika pemeriksaan ditingkat pengadilan negeri telah selesai?. Dalam hal ini hakim Pengadilan Negeri  telah mengambilalih wewenang hakim Pengadilan Tinggi yang berwenang melakukan penahanan terdakwa. Seharusnya, apakah Ahok ditahan atau tidak – setelah dia menyatakan Banding – telah menjadi wewenang hakim Pengadilan Tinggi guna kepentingan pemeriksaan di tingkat Pengadilan Tinggi (Pasal 27 KUHAP). Bukan lagi menjadi wewenang hakim Pengadilan Negeri.

Pihak yang juga melakukan kesalahan adalah Jaksa Penuntut Umum (selanjutnya disebut Jaksa). Jaksa langsung menahan Ahok dan membawa ke LP Cipinang. Apa dasar Jaksa mengeksekusi putusan hakim itu? Mari kita lihat wewenang Jaksa.

Dalam Pasal 270 KUHAP disebut Jaksa hanya berwenang menjalankan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.  Diperkuat dengan Pasal 30 ayat (1) huruf b UU Kejaksaan yakni “ melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Pertanyaan selanjutnya: apakah putusan ahok telah berkekuatan hukum tetap ? Jawabnya : Tidak !. Sesaat setelah terdakwa Ahok, mengajukan Banding atau upaya hukum lanjutan, saat itu juga putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap.  Lalu mengapa Jaksa dapat mengeksekusi putusan pengadilan yang belum berkekuatan hukum tetap?

Jaksa kemudian menggunakan Surat Jaksa Agung Nomor : R-89/EP/Ejp/05/2002 perihal Eksekusi Perintah Penahanan Terhadap putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Tapi isi dalam Surat tersebut bermasalah. Disebutkan  bahwa Jaksa melaksanakan Penetapan Hakim yang terkandung dalam amar putusan. Kalimat ini bermasalah secara hukum “penetapan dalam putusan”. Padahal jelas-jelas tidak ada istilah itu dalam KUHAP. Penetapan Hakim dan Putusan Hakim sesuatu yang berbeda. Dan anehnya Surat Jaksa Agung inipun tidak konsisten yang kemudian menggunakan istilah “Perintah Hakim”. Apa itu perintah hakim? Dalam UU Kejaksaan telah jelas pemisahannya “penetapan hakim dan putusan pengadilan”.Tidak ada penetapan yang terkandung dalam putusan. Apalagi perintah hakim.

Penetapan majelis hakim adalah istilah umum diperadilan untuk mengganti istilah “surat perintah penahanan” kepada terdakwa (Pasal 26, 27 dan 28 KUHAP). Norma yang mengatur kewenangan hakim pada setiap tingkatan peradilan untuk menahan terdakwa guna pemeriksaan. Penetapan hakim ini jelas berbeda dengan “putusan pengadilan” yang bersifat pemidanaan sebagaimana Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Bila dipilah seseuai kewenangan Jaksa untuk mengeksekusi (1) penetapan hakim pengadilan negeri dalam hal ini surat perintah penahanan (Pasal 26 KUHAP) dan (2) putusan pengadilan (Pasal 197 ayat (1) KUHAP).

Lalu menggunakan dalil hukum apa, Jaksa menahan Ahok? Bila merujuk pada putusan pengadilan (Pasal 197 ayat (1) KUHAP), putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap sehingga tidak bisa dieksekusi. Bila beralasan menjalankan Penetapan hakim, inipun  terganjal pada dua masalah: (a) Pengadilan Negeri Jakarta Utara tidak pernah mengeluarkan “Penetapan Perintah Penahanan dari Hakim”.; (b) Sesaat setelah Ahok menyatakan Banding; hakim pengadilan negeri tidak lagi punya wewenang lagi untuk menahan Ahok. Kewenangan beralih pada hakim Pengadilan Tinggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun