Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Perlukah Menggunakan "Pemilu Lokal" ke Depan?

4 Mei 2019   18:37 Diperbarui: 5 Mei 2019   06:59 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi contoh surat suara yang digunakan dalam Pemilu 2019. (Foto: ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)

Tiba-tiba menyeruak wacana Pemilu daerah. Saya lebih memilih menggunakan istilah Pemilu lokal. Sebagai gagasan alternatif atas Pemilu (nasional) secara serentak yang baru saja digelar. 

Pemilu 2019 yang menimbulkan tragedi kemanusiaan dengan gugurnya para penyelenggara Pemilu dan aparat keamanan. Pemilu dengan durasi waktu yang panjang yang melebihi kemampuan ketahanan tubuh manusia normal. 

Saya tidak akan mengulas masalah ini. Lebih penting daripada itu, apa solusi alternatif kedepan? Apakah manajemen Pemilu serentak dengan lima kotak suara pada lima tahun mendatang akan dipertahankan? Belajar dari pengalaman saat ini, menurut saya manajemen seperti itu harus dikaji ulang. Dan salah satu solusinya adalah Pemilu lokal.

Istilah Pemilu lokal bahkan Pemilu nasional tidak ada dalam UUD RI 1945 (selanjutnya disebut konstitusi). Pasal 22E sebatas menyebut frasa "pemilihan umum". Jadi bila saya menggunakan istilah "pemilu lokal" tidaklah bertentangan dengan konstitusi. Karena tafsir atas frasa "pemilihan umum" tidak menjadi ekstensif menjadi "pemilu nasional".  

Dalam perjalanan sejarah kepemiluan di Indonesia, pemilihan anggota DPRD pernah dilaksanakan tidak serentak dengan DPR atau dilaksanakan terpisah waktunya setelah diberlakukan UU Nomor 27 Tahun 1948.

Bahwa Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD dipilih melalui pemilihan umum, tidaklah perlu diperdebatkan lagi. Pasal 22E ayat (2) secara terang benderang menyatakan hal tersebut. Kecuali Kepala Daerah yang dinyatakan dipilih secara demokratis (vide Pasal 18 ayat 4). Kata "demokratis" bermakna ganda dan menjadi kebijakan terbuka bagi perumus undang-undang.

Hanya yang menjadi perdebatan selanjutnya, apakah Pemilu harus dilakukan serentak? Serentak memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD. Serentak dalam pengertian umum dalam waktu yang sama. Meskipun Prof. Mahfud menafsirkan kata "serentak" tidak harus dalam hari dan jam yang sama. Saya tidak setuju dengan pendapat ini. Putusan Mahkamah Konstitusi perihal Pemilu serentak tidak bisa diberi tafsir lagi.

Tidak ada dalam norma konstitusi yang menyatakan bahwa Pemilu dilaksanakan serentak. Bila hakim konstitusi melalui putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, menyatakan "serentak", semata berdasarkan tafsir sistemik. 

Dengan mengutip pendapat anggota Panitia Ad Hoc I BP MPR Slamet Effendy Yusuf pada saat amandemen UUD 1945 berlangsung. Menurut saya, Pendapat Slamet Effendy Yusuf itu tidak bisa dijadikan sandaran utama tafsir. Karena begitu banyak pendapat-pendapat lain yang berbeda pada saat sidang MPR tersebut. 

Bahkan tidak bisa menjadi original intent makna asli atas rumusan pasal tentang Pemilu. Justru secara mayoritas anggota Panitia Ad Hoc I BP MPR menolak pemilu dilaksanakan serentak.

Beberapa fraksi awalnya mengajukan draft rumusan Pasal 22E ayat (1) justru dengan menambahkan kata "serentak". Ada yang mengajukan draft yang berbunyi, "Pemilihan umum dilakukan secara bersamaan di seluruh Indonesia, serentak".  

Fraksi PDIP mengajukan draft rumusan, " Untuk pelaksanaan kedaulatan rakyat dilakukan pemilihan umum yang jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia, serentak diseluruh wilayah Republik Indonesia...". 

Saat itu Slament Effendy Yusuf sebagai pimpinan sidang, sempat bertanya, "Kata "secara serentak" ini akan dimaknai seperti apa?". Hamdan Zoelva dari F-PBB pertama yang menyatakan bahwa kalimat "serentak" dihapus saja. 

Usulan Hamdan Zoelva disetujui secara aklamasi oleh semua anggota. Kata "serentak" dihapus dan tidak menjadi norma. Bahwa Pemilu akan dilaksanakan serentak atau terpisah, diserahkan kepada perumus undang-undang. Dengan demikian tidak benar pendapat hakim Konstitusi bahwa norma "serentak" atau "bersamaan" sudah menjadi original intent. Justru yang terjadi sebaliknya.

Hal ini perlu saya tekankan, agar kata "serentak" seolah menjadi norma asli dari konstitusi dan disejajarkan dengan prinsip ataub azas pemilu secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Serentak atau tidak semata masalah kebijakan (teknis) belaka bukan prinsip atau norma konstitusi. Boleh serentak, boleh juga terpisah.

Pada bagian ini, pemilu lokal mendapat pijakannya. Pemilu lokal dapat dilaksanakan terpisah dengan Pemilu nasional. Karena sekali lagi, konstitusi tidak membuat norma "serentak". 

Pemilu nasional cukup memilih Presiden dan wakil Presiden, anggota DPR RI dan anggota DPD RI (tiga kotak). Pemilu lokal akan memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota (dan Kepala Daerah). Terjadi pemisahan waktu pemilihan antara Pemilu nasional dan Pemilu lokal. Pemilu lokal tergantung dari berakhirnya masa jabatan terutama Kepala Daerah.

Istilah Pemilu lokal bahkan Pemilu nasional tidak ada dalam UUD RI 1945 (selanjutnya disebut konstitusi). Pasal 22E sebatas menyebut frasa "pemilihan umum". Jadi bila saya menggunakan istilah "pemilu lokal" tidaklah bertentangan dengan konstitusi. Karena tafsir atas frasa "pemilihan umum" tidak menjadi ekstensif menjadi "pemilu nasional".  

Pemisahan ini juga untuk mempertegas semangat otonomi daerah yang tertuang dalam Pasal 18. Patut diketahui bahwa DPRD bukanlah sebagai badan legislatif sebagaimana DPR. Ketentuan tentang DPRD justru berada dalam satu naungan dalam Pasal 18. 

DPRD tidak lain bagian dari Pemerintahan Daerah. Pemerintahan Daerah terdiri dari Kepala Pemerintah Daerah dan DPRD. Dan ketentuan tentang Pemilu lokal secara khusus tersirat dalam Pasal 18 ayat (3) "Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum".

Bahwa ada hal yang fundamental perbedaan antara DPR dan DPRD. Diantaranya, DPR dalam membuat peraturan mengakomodasi kepentingan politik anggotanya dan kepentingan sosilogis (masyarakat secara nasional). Sedangkan DPRD dalam membuat peraturan baik peraturan yang berlaku internal DPRD maupun untuk kepentingan masyarakat daerah berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, namun tidak mengabaikan kekhasan dan kepentingan umum masyarakat daerah.

Jika pemilu lokal dilaksanakan terpisah dengan pemilu nasional, Daerah-daerah Istimewa dan Khusus  seperti DKI Jakarta, Yogyakarta, Aceh dan Papua akan mendapat tempat sesuai dengan kekhasan masing-masing. 

Partai lokal sebagaimana di Aceh dan Papua [catatan: Papua dapat mendirikan partai lokal sesuai UU Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001], dapat lebih berperan. Tidak ada pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD Jakarta Utara atau Jakarta Selatan misalnya (meskipun secara umum setara pemerintahan tingkat dua), dan Yogyakarta tidak ada Pemilu (Pilkada) Gubernur/ Wakil Gubernur.

Tulisan ini adalah pendapat saya yang masih sangat sederhana. Semata untuk melemparkan gagasan untuk lebih diperdalam lagi.

Salam Kompasiana.

Refrensi:

Sekretariat Jenderal MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun 1945 (1999-2002) Tahun Sidang 2000 Buku Lima (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2008).

Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses, Dan Hasil Pembahasan, 1999-2002, Buku II, Buku III Dan Buku V.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun