Tulisan saya sebelum ini dalam bentuk puisi, setelah 22 jam menayangkannya kemarin (12-2-2022 pkl. 5 sore), sementara mencapai angka 221 pembaca. Ah, yang benar saja... Tentu ini jadi rekor baru sepanjang menuliskan karya dalam kategori fiksiana.
Apa mungkin karena judulnya yang mirip sinetron itu, ya? "Cinta yang Tersakiti", jadi pada penasaran dengan isinya, hehe...
Entahlah, sebuah karya kalau sudah dilepas ke publik tidak bisa mutlak diprediksi. Artikel yang bagus kadang minim pembacanya. Sebaliknya judul yang "menggiurkan" walau isinya kalah telak dengan artikel tadi, bisa jadi menyandang status "terpopuler".
Baiklah cukup intermezzo-nya, kembali pada bahasan utama. Cinta yang tersakiti. Mengapa orang masih bisa mempertahankan hubungan walau ia tersakiti oleh pasangannya? Mengapa tidak diakhiri saja?
Berderet pertanyaan ini tentu bisa akan semakin panjang. Beragam alasan atau latar belakang, bisa juga jadi faktor penentunya.
Wanita, Korban Terbanyak (?)
Dalam banyak pemberitaan media atau sekadar curhat, wanita memang seringkali menjadi objek sekaligus subjek utamanya. Laki-laki sih kebanyakan biasa saja. Tersakiti, putus hubungan, ganti lagi dengan pasangan yang baru.
Wanita? Tidak semudah itu. Rasa cinta pada wanita tidak selaras diimbangi dengan logika yang sama. Maka, yang terjadi, wanita akan lebih mudah memaafkan pasangannya. Walaupun dalam kenyataannya si wanita tadi kerap menjadi menjadi korban atas kecintaannya pada pasangannya.
Wanita tidak siap menerima kesendirian. Dalam benaknya, yang lebih dipertimbangkan adalah mempertahankan keadaan ketimbang memulai hubungan yang baru.
Ia berharap pasangannya bisa berubah pada keadaan yang lebih baik. Ia lebih memilih untuk rela menderita walaupun kenyataannya, pasangannya tetap sama saja kelakuannya.