Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Saat Media Kena Batunya, "Rasain Loe..."

11 Februari 2021   18:44 Diperbarui: 11 Februari 2021   18:48 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Juga pada bulan kemarin, tentang (kik) Menertawakan Berita yang Tidak Penting; Buat Apa Dulu Ikut Diklat Jurnalistik?  Saya menuliskan kalimat seperti ini dalam salah satu paragraf. "Yang lebih tambah ngenes, ngapain dulu ikutan diklat jurnalistik jika di era teknologi medsos sekarang semua dimudahkan begini. Cukup dari layar hape dan laptop, kepo pada artis-artis yang sudah bisa "jual nama", cukuplah itu. Gak perlu modal banyak, untung gede."

Tangkapan layar linimasa Twitter
Tangkapan layar linimasa Twitter
Ah, media dan etika. Mengapa jadi bisa seperti ini, ya? Apakah pembaca dianggap masih seperti 'bayi' sehingga harus dicekoki? Padahal sebenarnya media sosial yang bersifat publik itu sudah diketahui bersama-sama. Hanya saja memang yang bukan berprofesi sebagai wartawan, paling hanya berkomentar sendiri. Baik itu di kolom komentar yang tersedia, atau sekadar mempercakapkan secara lisan dengan orang lain. Persoalan selesai.

Tetapi di tangan pewarta berita, hal itu bisa diubah menjadi sebuah pemberitaan baru.  Imajinasi ini yang kemudian diwartakan dan ditawarkan ulang ke publik. Tergantung dari mana ia menuliskannya. Mau mengedepankan sisi mana yang hendak diangkat. Tentu saja kalau ada yang 'sensitif', mengundang rasa penasaran orang, justru itu yang menjadi 'good news"-nya. Maka, pada akhrnya, pembaca sebagai koonsumen yang akan menjatuhkan pilihan itu.

Teori jurnalistik mengajarkan, kalau mau membuat pemberitaan yang baik, setidaknya memenuhi dua unsur utama. Pertama, unsur kepentingan publik. Kedua, unsur kelayakan atau kepatutan. Tanpa itu, ya lebih baik tidur saja. Lebih menyehatkan raga...

Bisa juga mengutip teori sejenis. Sebuah "berita" dapat disebut berita jikalau di dalamnya mengandung unsur-unsur:

  • Baru dan penting
  • Bermakna dan berpengaruh
  • Menyangkut hidup (kepentingan) orang banyak
  • Relevan dan menarik

Dari kasus ini, no 1, unsur "baru" bisa memenuhi kriteria. Tapi unsur "penting"-nya di mana, entahlah...

Urusan rumah tangga seseorang apakah "bermakna dan berpengaruh"? Kalau ada sisi lain yang dituliskan, agar itu bisa menjadi sebuah pelajaran bagi yang lain. Maka bisa saja itu memenuhi kualifikasi. Tapi, apa sih makna dan pengaruhnya berita itu bagi khalayak?

Unsur nomor 3, "menyangkut hidup orang banyak". Sepertinya saya perlu memikirkannya lebih lanjut. Belum bisa menuliskannya... :(

Terakhir, unsur "relevan dan menarik".  Ya, ... suka-suka yang membuat berita dan yang membacanya. Maaf sudah nggak bisa mikir... :p

Baiklah, langsung ke penutup saja. Sebuah kutipan dalam dunia jurnalistik. Semoga tanpa penjelasan, bisa memahami maknanya, ya... :)

"Berita harus faktual, tetapi tidak semua fakta adalah berita"



11 Februari 2021

Hendra Setiawan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun