Foto ini sebenarnya lebih cocok untuk ilustrasi konteks penulisan Independence Day atau sekadar peringatan mengenang kejadian 911 di USA. Tema tentang kebebasan, kemerdekaan, dan sejenis itu.
Omong-omong soal "kebebasan", siang tadi, iseng-iseng buka berita terpopuler yang ada di Twitter. Berhubung masih belum terlalu lama peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tanggal 9 Februari lalu, ada kata kunci yang menarik perhatian, yakni "Jurnalis".
Wah, ada apa ini? Maka berselancarlah mencari tahu. Ternyata ada media mainstream online yang mengangkat berita yang asal-mulanya bersumberkan dari percakapan di Instagram stories. Singkatnya, ada orang, sebut saja fans atau penggemar bertanya mengenai hubungan pribadi wanita tersebut ketika suaminya tidak sedang bersama dia dalam waktu yang lumayan lama.
Kemudian si penulis beriita tadi mengkonformasi ulang, bahwa "naiknya" berita itu juga sudah melalui kebijakan redaksi. Mengenai keberatan atas judul berita, sudah dilakukan perubahan.
Dalam tangkapan layar percakapan yang diunggah lewat media sosial pribadinya, wanita yang namanya dijadikan pemberitaan tadi kemudian hanya berharap. Agar ke depan, supaya kalau membuat berita, carilah yang lebih penting. Jangan kehidupan privasi (seks). Kisah aksi sosial seperti saling membantu sesama yang membutuhkan, bukankah seperti itu akan lebih baik. Apalagi si penulis berita ditengarai membuat tulisan tersebut karena dari  'nyomot' komentar netizen.  Ia tidak meminta izin kepada yang bersangkutan, yatu dirinya.
Kebebasan Pers dan Etika Sosial
Setelah dihujani kritik sana-sini, akhirnya berita yang di-"UP" tadi akhirnya turun layar jua. Sementara, dari redaksi, atas nama pemimpin redaksi (pimred) membuat permintaan maafnya.
"Hmm, kena batunya. Rasain loe...!"
Mungkin kalimat itu yang lebih cocok menggambarkan keresahan sebagian pembaca atau orang yang masih punya pengharapan baik kepada media tanah air.
Rasanya belum lama berselang, saya menuliskan cerita flashback  (klik)  Jurnalistik, Ilmu Meramu Segala Ilmu  agar media perlu membekali diri untuk lebih punya 'rasa peduli dan empati'. Jangan semata untuk mengejar komoditas berita dan bisnis, lalu mengesampingkan sisi humanisme sebagai sesama manusia.
Juga pada bulan kemarin, tentang (kik) Menertawakan Berita yang Tidak Penting; Buat Apa Dulu Ikut Diklat Jurnalistik? Saya menuliskan kalimat seperti ini dalam salah satu paragraf. "Yang lebih tambah ngenes, ngapain dulu ikutan diklat jurnalistik jika di era teknologi medsos sekarang semua dimudahkan begini. Cukup dari layar hape dan laptop, kepo pada artis-artis yang sudah bisa "jual nama", cukuplah itu. Gak perlu modal banyak, untung gede."
Tetapi di tangan pewarta berita, hal itu bisa diubah menjadi sebuah pemberitaan baru. Â Imajinasi ini yang kemudian diwartakan dan ditawarkan ulang ke publik. Tergantung dari mana ia menuliskannya. Mau mengedepankan sisi mana yang hendak diangkat. Tentu saja kalau ada yang 'sensitif', mengundang rasa penasaran orang, justru itu yang menjadi 'good news"-nya. Maka, pada akhrnya, pembaca sebagai koonsumen yang akan menjatuhkan pilihan itu.
Teori jurnalistik mengajarkan, kalau mau membuat pemberitaan yang baik, setidaknya memenuhi dua unsur utama. Pertama, unsur kepentingan publik. Kedua, unsur kelayakan atau kepatutan. Tanpa itu, ya lebih baik tidur saja. Lebih menyehatkan raga...
Bisa juga mengutip teori sejenis. Sebuah "berita" dapat disebut berita jikalau di dalamnya mengandung unsur-unsur:
- Baru dan penting
- Bermakna dan berpengaruh
- Menyangkut hidup (kepentingan) orang banyak
- Relevan dan menarik
Dari kasus ini, no 1, unsur "baru" bisa memenuhi kriteria. Tapi unsur "penting"-nya di mana, entahlah...
Urusan rumah tangga seseorang apakah "bermakna dan berpengaruh"? Kalau ada sisi lain yang dituliskan, agar itu bisa menjadi sebuah pelajaran bagi yang lain. Maka bisa saja itu memenuhi kualifikasi. Tapi, apa sih makna dan pengaruhnya berita itu bagi khalayak?
Unsur nomor 3, "menyangkut hidup orang banyak". Sepertinya saya perlu memikirkannya lebih lanjut. Belum bisa menuliskannya... :(
Terakhir, unsur "relevan dan menarik".  Ya, ... suka-suka yang membuat berita dan yang membacanya. Maaf sudah nggak bisa mikir... :p
Baiklah, langsung ke penutup saja. Sebuah kutipan dalam dunia jurnalistik. Semoga tanpa penjelasan, bisa memahami maknanya, ya... :)
"Berita harus faktual, tetapi tidak semua fakta adalah berita"
11 Februari 2021
Hendra Setiawan