Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Merasakan Indonesia di Kereta

14 Desember 2016   19:37 Diperbarui: 14 Desember 2016   20:38 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Makasih,” sambil malu-malu mereka berkata.

“Iya, sama-sama. Adik namanya siapa?”

Begitulah seterusnya dan selanjutnya, Obrolan itu mengalir. Tidak lagi sebatas say hello. Bisa berlanjut ke banyak hal. Tujuan perjalanan dalam gerbong yang sama seakan tidak lagi menjemukan. Bisa bertemu orang baru yang mengasyikkan, serasa bertemu dengan teman baru. Seakan menemukan sahabat baru dalam perjalanan. Sebuah karunia yang jarang-jarang bisa didapatkan setiap saat.

Realitas Sosial

Dalam kehidupan nyata, pertemuan seperti itu juga kerap terjadi. Jika seseorang lahir, tumbuh, dan dibesarkan dalam suasana yang plural, penghargaan kepada sesama akan terjadi dalam sudut pandang yang lebih positif.

“Memangnya kenapa kalau punya sahabat berbeda keyakinan (agama)? Di mana salahnya? Memangnya tidak boleh berteman dengan orang yang tidak seiman?”

Berbeda halnya jika seseorang sudah didoktrina untuk hidup dalam eksklusivisme dan penuh rasa curiga. Setting orang yang tak seiman, tak sealiran adalah orang yang perlu dijauhi, menjadikan kekerdilan dalam cara berpikir dan mengambil sikap.

“Jangan dimakan, itu makanannya orang orang kafir. Najis, nggak usah dekat-dekat sama mereka. Mereka itu orang-orang sesat. Tidak usah terlalu dekat-dekat, nanti ketularan.”

***

Dalam setiap agama, saya merasa akan ada kelompok-kelompok yang punya pemikiran secara radikal seperti itu. Maka, jadinya muncul sel-sel teroris. Setengah dari radikal itu, muncul kelompok intoleran. Keduanya sama bahayanya jika terus dibiarkan berada di NKRI. Radikal menyerang secara fisik. Intoleran menyerang secara mental/pikiran (tapi arahnya juga bisa cenderung radikal).

Kelompok seperti ini, saya yakin tidak banyak. Pengaruh medialah yang membuat mereka menjadi besar. Blow up atas tindakan dan perilaku mereka, justru menjadikannya semakin pongah. Keberadaan mereka ibaratnya sebatas slilit. Mengganjal di gigi. Walaupun kecil tapi pengaruhnya amat besar. Tidak enak dirasakan. Bila keberlangsungannya jangka panjang dan terus-menerus, posisi gigi bisa menjadi tidak lagi kokoh. Zat-zat yang tertinggal bisa merusak email/enamel (lapisan terluar dari gigi yang bisa terlihat; bagian terkuat dalam tubuh manusia). Lama-lama bisa membentuk karang gigi, keropos, berlubang. Paling parah harus dicabut karena sudah merusak sampai ke bagian akar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun