Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Merasakan Indonesia di Kereta

14 Desember 2016   19:37 Diperbarui: 14 Desember 2016   20:38 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari Minggu lalu (11/12/2016) saat mudik dengan KA (Kereta Api), saya membayangkan situasi kebangsaan itu sama dengan yang saya alami kala itu. Situasi dan kondisi kebhinnekaan kita, sepertinya sama persis ketika kita juga membandingkannya dengan moda angkutan darat lain: bus.

Seperti kebanyakan masyarakat Indonesia yang mayoritas kelas menengah ke bawah, maka kelasnya adalah kelas ekonomi, bukan bisnis atau eksekutif. Sebab di kelas itu masih ada kenyamananan (previlege). Interaksi sosialnya tak terlalu terasa.

***

Persoalan intoleransi di tanah air kita yang melambung beberapa pekan, bulan, atau tahun-tahun belakangan ini bisa dianalogikan pada orang atau massa yang sedang menumpang bus. Sebagaimana kita tahu, seat (tempat duduk) ada yang untuk dua atau tiga penumpang. Kita hanya bisa melihat saja (menjadi penonton, pengamat) siapa yang ada di depan atau belakang tempat duduk kita. Kita cuma bisa bercakap ataupun berbagi dengan siapa yang ada di sebelah kita. Titik. Tidak ada yang lain.

Maka begitu juga dengan orang-orang yang hidupnya sangat eksklusif. Mereka hanya berinteraksi dengan orang-orang yang segolongan, seagama, sekeyakinan. Memang, sangat aman dan nyaman. Tetapi pergaulan sosial menjadi terbatas. Pun demikian dengan pengetahuan yang dimiliki. Hanya bersumber dari lingkungan yang sama, dan itu-itu saja informasi yang diterima.

Kita baru bisa mendapatkan hal-hal yang baru, apabila kita mau keluar dari zona kenyamanan tempat duduk semula. Berdiri dan melangkah keluar dari kursi semula. Rasanya memang tidak mengenakkan, berdiri, jadi capek. Tapi pergerakan kita agak longgar. Mata kita bisa melihat pada sudut pandang yang lebih beragam.

Pertemanan dengan orang yang berlainan keyakinan, sedikit banyak akan memberikan paradigma yang lebih positif. Dengan semakin mengenalnya, sekat-sekat praduga buruk, prasangka negatif sedikit demi sedikit bisa sirna. “Untuk apa mempertentangkan perbedaan kalau bisa berjalan bersama?”

Keramahan Alami

Kembali pada kisah di KA tadi. Soal atribut keagamaan, rasanya kini semakin mudah untuk ditemukan. Kalau teman-teman muslim, yang khas dari laki-laki adalah dengan bersarung dan menggunakan peci. Anak-anak pondokan (ponpes) yang gampang dijumpai. Sementara yang perempuan dengan memakai jilbab (muda-dewasa) atau kerudung (dewasa-tua).

Kalau teman-teman Katolik biasanya lebih terbuka dengan pengenaan kalung salib. Kebanyakan pada yang perempuan. Sementara pada teman-teman Kristen (Protestan) yang mungkin agak kesulitan untuk mendeteksi. Paling gampangnya dengan melihat pakaian yang sedang dikenakan. Kaos-kaos berlogo organisasi atau bertuliskan ayat Alkitab atau gambar beserta tulisannya, barangkali cuma bisa dideteksi oleh komunitas yang sama.

Di KA itulah, semuanya bisa terjadi. Saya bertemu dengan mereka semua. Ada yang sendiri, ada yang berkelompok. Dan, barangkali ini juga menjadi rencana-Nya agar kisah ini bisa tertuliskan. Setidaknya menjadi inspirasi bagi kehidupan bersama di negeri yang penuh warna kemajemukan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun