Sebuah tulisan opini harus obyektif, jangan berpihak pada waktu menulis, sekali berpihak 'habis'. Soal keberpihakan menarik perhatian peserta blogshop, banyak yang berpendapat media di Indonesia jelas sekali memperlihatkan keberpihakannya pada pilpres 2014. Menurut Budi Shambazy, media diperbolehkan memihak pada penulisan editorial. Satu pernyataan Budi Shambazy yang masih meninggalkan pertanyaan bagi saya adalah "Media seperti Radio, Televisi yang menguasai public space seperti frekuensi, tidak boleh berpihak". Beda dengan koran misalnya yang jika dianggap berpihak, publik punya pilihan membeli koran tersebut atau tidak. Sayang waktu terlalu singkat tak sempat mengklarifikasi pernyataan keberpihakan ini.
Sebuah tulisan yang kuat harus "showing" bukan "telling". Misalnya sebuah pernyataan showing "Presiden dan Istri pergi ke Singapura naik pesawat komersial Garuda kelas ekonomi". Sebuah pernyataan telling misalnya "Presiden adalah seorang yang sangat sederhana". Lebih lanjut ditambahkan sebuah tulisan harus disajikan open ended, memberi ruang bagi pembaca untuk berpendapat.
Peserta blogshop juga menduga harian Kompas kolom opininya sulit ditembus penulis yang bukan profesor doktor dari perguruan tinggi terkenal. Budi tidak menolak, hanya memberi gambaran bahwa Kompas memang mengundang penulis tamu, yang pasti akan mengurangi peluang penulis lain untuk menerobos persaingan yang sudah sangat ketat agar tulisannya dimuat Kompas. Bayangkan sehari masuk 200-an naskah tulisan opini, sedangkan yang dimuat hanya tiga atau empat tulisan saja.
Hal penting lainnya yang harus diperhatikan penulis opini -yang naskahnya ditolak redaksi-, biasanya tulisan tidak menawarkan hal baru dan tulisan bertele-tele.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI