Mohon tunggu...
Hend.Setya
Hend.Setya Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Newbie

Novel AL terbit setiap hari Jumat || Contact Penulis : hsetiawan.id@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bab 2 | Toples Cahaya

11 Juni 2018   11:17 Diperbarui: 11 Juni 2018   11:26 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sepi nyaris dikatakan mati kondisi  malam hari di Nagari Cheduge. Beruntung saja ada suara jangkrik penanda masih adanya makhluk hidup dan kunang-kunang yang memberi sinar minimalis siluet rumah penduduk.

Menjadi sebuah standard operating procedures lokal setempat. Selepas matahari terbenam, otomatis semua rumah penduduk tanpa penerangan. Konon katanya dengan cara seperti ini, tempat ini terhindar dari para Erior. Pembunuh pesanan pihak yang menang perang, beratribut topeng dan memiliki skill lari cepat.

Jika terpaksa menyebut 1 lokasi dengan penerangan lebih terang dibanding tempat lainnya. Maka  sebuah kamar kecil didekat jembatan mungil jawabannya. Si penghuni kamar memaksa sejumlah kunang-kunang terperangkap dalam sebuah toples ukuran sedang.

Namun kamar kecil itu tak lagi aman malam ini.

Ditengah malam yang gelap. Sosok tinggi sekitar 162 cm dan bermantel senada warna malam mengendap-endap diantara pepohonan berusaha menuju kamar tersebut. Berjalan dengan cara menjinjit kaki bagian depan, kemudian diikuti tumit. Sosok ini jelas-jelas berusaha meredam suara yang bisa dihasilkan dari setiap gerakannya.

Dimukanya terlihat seperti adanya sinar. Sinar?

Bukan. Bukan. Ternyata itu bukan sinar. Itu adalah pantulan cahaya kunang-kunang dikarenakan ia memakai kacamata. Ya, itu kacamata. Aku yakin itu.

Kini ia tepat didepan pintu kamar. Setelah sebelumnya melangkah 5-6 kali di posisi pohon terakhir. Beberapa kali mukanya ia palingkan ke belakang punggungnya. Hanya sekedar memastikan tidak adanya orang lain yang melihat.

Digenggamnya engsel pintu kamar. Ekstra hati-hati hingga menimbulkan suara derik kecil.

"Entura!" Saga melempar benda kecil berwarna kuning sebagai serangan kejutan.

"Ista!" Magic khas milik Katia. Menyerap serangan musuh kedalam celah kecil dibawah lengan baju.

"Ibu!" Terperangah Saga.

"Apa yang ibu lakukan tengah malam begini." Saga bertanya namun lebih khawatir efek serangan Entura terkena Katia.

"Enturamu tidak akan sanggup merobohkan seorang Erior, Nak."

"Ibu hanya perlu bicara denganmu sebentar saja." Senyum kemenangan muncul diwajah Katia.

"Tengah malam begini?" Lanjut Saga.

"Ya. Karena esok mungkin saja ibu lupa. Ibu hanya perlu jawaban singkat saja." Katia berjalan mendekat ke arah Saga. Kemudian duduk di kursi meja belajar.

Katia membuka mantel malamnya. Dilanjutkan secara perlahan menutup toples cahaya dengan mantel tersebut. Gelap seisi ruangan.

"Saga." Katia menginisiasi percakapan.

"Ya Ibu."

"Rheen bercerita kepada ibu. Sudah 1 pekan ini kau rutin mengunjungi pemakaman. Apa ada yang ingin kau sampaikan pada ibu, nak?"

"..."

"Tidak ibu." Saga bergumam dalam hati kenapa Rheen akhir-akhir ini ikut campur dalam banyak urusannya.

"Ayolah. Karena aku adalah ibumu." Katia memohon dengan sangat.

Lama jeda di momen ini. Saga memproses kata. Namun lidah dan otak serasa tidak akur untuk kali ini.

"Kau rindu Odric, Nak?" Tanya katia memastikan.

"..."

"Tentu saja. Begitu juga dengan ayah." Saga berusaha tidak menyebut ayah. Namun apa daya, ucapan menggambarkan hati. Ia rindu.

"Pun sama dengan perasaan ibu kepada mereka." Katia menghela napas seakan berusaha mencari sedikit cara untuk sekedar terlihat tegar.

Katia berencana keluar dari kamar Saga. Rasanya cukup bagi dirinya menemukan jawaban atas tindakan Saga di pemakaman.

Badannya mencoba berdiri, namun Saga mencegah dengan memegang tangannya.

"Bu. Apa yang ayah lakukan sebelum perang suci?" Tanya Saga berucap seperti berbisik.

"Apakah itu menjadi perhatianmu, Nak?" Katia berbalik tanya. Menjadikan dirinya excited dipercakapan dalam gelap ruangan kamar ini.

"Ayahmu lebih banyak menulis." Jujur Katia.

"Apa dengan menulis ia bisa memenangkan perang?" Terkejut Saga dengan jawaban polos Katia. Apa benar dengan hanya menulis bisa dengan mudah memenangkan perang?

Jawaban Katia membuat Saga sedikit geram. Ia butuh jawaban exact secepatnya. Kepalanyanya ng-hang, terlebih ini sudah larut malam.

Jika dibandingkan Odric, kakaknya. Odric butuh 2 tahun menggembara sebelum dimulainya perang suci.  Petualangan Odric diisi mengajak kerja sama para master AL terpilih. Tapi, hasilnya nol besar. Odric tak pernah kembali ke rumah selepas perang diumumkan usai. Kabar berita menyebutkan ia tewas di tangan Swordsman.  Info lain ia ditawan di Nagari Hbeyida sebagai tawanan perang.

"Bu. Bagaimana memenangkan perang suci?" Tanya Saga serius.

"Ini sudah larut malam nak." Katia menjawab sekenanya. Dilihatnya raut muka anaknya meski dengan penerangan kamar yang minim. Ia tak ingin mengecewakan anaknya, Saga.

"Rasanya kau sudah menemukan jawabannya." Katia menjawab dengan sangat perlahan. Matanya mengarah keluar kamar. Memastikan tidak ada diantara mereka orang ketiga.

"Jangan lupa, esok adalah hari pertamamu di kelas 12. Jangan terlambat." Tutup Katia. Berjalan keluar kamar dengan cara yang persis sama ketika ia masuk.

"Apakah benar aku sudah menemukan jawabannya?" Saga membatin.

Dibukanya mantel malam Katia yang tertinggal menutupi toples cahaya. Saga menghitung ulang jumlah kunang-kunang didalamnya. Semua berjumlah 18, tak kurang tak lebih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun