"Ada sebuah anggapan, siapa yang ingin beruntung maka harus tidur di bawah patung Toapekong..."
Anggapan tersebut merupakan kepercayaan yang beredar di daerah Belitong dan sudah mengakar kuat sejak dahulu kala, pertanyaannya kenapa harus Dewa Toapekong? Toapekong merupakan sosok dewa dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa, terutama di Indonesia. Beliau dianggap sebagai pelindung, pembawa rezeki, dan keberuntungan.
Dalam eksistensinya, Toapekong dipuja dalam upacara atau perayaan tertentu kerap kali digambarkan dengan simbol -- simbol kekayaan serta kemakmuran. Dalam konteks budaya Belitong, Toapokong juga sering dikaitkan dengan aktivitas nelayan serta pertambangan.
Masih di daerah Sijuk tim Litbang menyambangi sebuah Kelenteng yang berusia 2 abad lebih, masih dengan gaya arsitektur sama namun terdapat beberapa penambahan sesuai fungsinya sebagai tempat peribadatan. Menjelang sore cuaca cukup bersahabat dengan angin sepoy-sepoy menerbangkan anak rambut, seiring dengan langkah yang mengekor dibelakang jemaat. Riuh rendah aktivitas yang ditimbulkan dari para pekerja yang membangun gerbang. Juga obrolan para jemaat sebelum melakukan sembahyang pada sore hari.
Sekedar duduk-duduk ataupun bercengkrama membahas isu sosial masyarakat yang tengah hangat diperbincangkan juga saling sapa menyapa setelah lama tak bersua menjadi pemandangan meneduhkan, menunggu penjaga Kelenteng yang sedang mengganti sesaji juga refil hio-hio yang akan digunakan para jemaat dalam berhubungan dengan para Dewa-Dewi. Keleteng yang masih ramai digunakan orang untuk sembahyang, selain terlihat dari banyaknya jemaat yang datang juga dari papan informasi disamping yang menunjukan kegiatan aktivitas serta ara donatur yang menyalurkan rezekinya untuk pembangunan serta keberlangsungan umur Kelenteng pertama di Pulau Belitong ini.
Di sebuah daratan Sijuk tidak jauh dari sungai yang terhubung langsung dengan lautan, berdiri sebuah kelenteng yang konon merupakan kelenteng tertua di Belitong. Dibangun pada tahun 1815 M sudah menjadi rekam jejak bagaimana kedatangan bangsa Tionghoa, serta perubahan-perubahan yang terjadi di Sijuk sebagai kota pelabuhan pada masa itu.Â
Ketika pertama kali kapal-kapal dari Tionghoa tersebut bersandar, turun dua orang dengan kepercayaan berbeda yang kemudian mendirikan rumah peribadatan yang dewasa ini diketahui sebagai kelenteng tertua di Belitong dan 100 meter dari kelenteng berdiri sebuah Masjid tertua di Belitong dibangun pada tahun 1817 M.
Kedatangan kapal-kapal Tionghoa tersebut selain mendirikan bangunan peribadatan dua agama juga membawa kedelai yang akan dipakai dalam bercocok tanam untuk mengembangan tauco, tahu, tauge, dan banyak olahan lainya dari bahas dasar kedelai tersebut. Pendiri dari kelenteng Toapekong tersebut berasal dari Marga Liu. Di bawah patung Toapekong tersebut terdapat sebuah kain merah yang berisi cerita mengenai sejarah serta awal mula pembangunan kelenteng Toapekong tersebut.Â
Dikenal sebagai kelenteng Toapekong karena merunjuk pada gambar atau patung dewa yang dipuja dalam kelenteng tersebut. Karena Toapekong terkenal bagus dan jitu dalam mengarahkan sesuatu, masyarakat pada masa itu percaya bahwa jika ingin menang dalam sebuah permainan judi, totalisator, dan peruntungan lainnya. Maka orang tersebut harus bermalam di kelenteng Toapekong, biasanya mereka akan bermimpi seperti diberikan petunjuk dan rata-rata berhasil. Akhirnya kehebatan serta keajaiban patung Toapekong tersebut terdengar oleh sekelompok totalisator sehingga mereka berhasil mengambil patung Toapekong tersebut beserta kain merah dibawahnya mengingat saat itu belum ada penjaga kelenteng.
Setelah perpindahan tangan akhirnya nasib patung Toapokong tersebut sudah dikembalikan oleh seseorang yang peduli dengan keberlangsungan kebudayaan, namun tidak dengan kitab kain merahnya. Kain merah yang berada dibawah patung Toapekong tersebut ditulis tangan, masih menggunakan aksara Tionghoa yang menceritakan bagaimana proses pembangunan dari kelenteng Toapekong ini dan belum sempat disalin.
Sehingga sejarah dan cerita mengenai kelenteng Toapekong menjadi buta, bangunan awal kelenteng tersebut hanya bangunan utama yang berisi patung Toapekong. Untuk bangunan disekitarnya merupakan bangunan tambahan baru, termasuk patung Dewi Kwam Im di samping Kelenteng.
Dalam perkembangnnya kemudian ditunjuk beberapa orang untuk mengurus Kelenteng, mulai dari Koh Kim Hyung turun temurun sampai Koh Ayie yang kemudian membentuk Yayasan Kelenteng Sijuk Peduli Bersama, menurut penuturan Koh Ayie "pengurusan Kelenteng tersebut awalnya dilakukan secara turun temurun oleh mertua beliau, namun karena keterbatasan lokasi jangkauan sehingga kepengurusan dari Kelenteng tersebut diserahkan kepada Masyarakat Sijuk."
Sijuk dikenal sebagai kota pertama di Belitong sebelum Tanjung Pandan, di sekitar kelenteng tua Sjuk tersebut pernah berdiri kampung-kampung orang Tionghoa bermarga Liu.Â
Menurut penuturan Koh Ayie "Terdapat tabu pada masa sebelum agama Konghucu diakui oleh negara, karena pada masa itu diskriminasi terhadap orang-orang Tionghoa sangat besar. Kebebasan ruang gerak mereka dibatasi, sehingga untuk melakukan penelitian, penerjemahan hingga menulis ulang isi dari naskah kuno yang terbalut kain merah dibawah patung Toapekong pun sulit. Cerita mengenai kisah kain merah tersebut beredar dan diabadikan dari mulut ke mulut saja, karena semua aksara mandarin atau hal-hal berbau Cina lainnya dilarang jika ada yang melanggar akan ditangkap dan dipenjara."
Peristiwa itu semua terjadi di bawah tahun 1980 baru menginjak tahun 1990 di bawah kepemimpinan Gus Dur kebebasan serta toleransi mulai digaungkan, dalam sistem pengorganisasian kepengurusan kelenteng tua Sijuk dari awal pendirian masih dilakukan secara turun temurun. Belum ada sistem pencatatan resmi dan rapi karena sistemnya hanya asal tunjuk saja, namun seiring dengan perkembangan jaman dan toleransi antar beragama. Sehingga sistem organisasi dari kelenteng tua ini baru tercatat secara resmi ketika masa peralihan tahun 1980 pasca kerusuhan.
Hampir rata-rata kelenteng di Belitong diperuntukan kepada Toapekong sebagai dewa pelindung, pembawa rezeki, dan keberuntungan. Itu berpengaruh juga dengan masuknya orang-orang Tionghoa Khek atau Hakka ke Belitung, mereka yang berasal dari Provinsi Guangzho datang ke Belitong untuk bekerja sebagai penambang timah pada abad ke-17 sampai 18. Mereka sebagai penambang memuja Toapekong untuk mendapatkan keberlimpahan hasil tambang, serta kekayaan bumi yang tiada habisnya dalam penepatannya dalam kelenteng biasanya patung Toapekong akan berdampingan dengan Dewa Tanah Tu Ti Pak Kung. Status kelenteng tersebut sudah masuk menjadi bangunan cagar budaya, dengan nama kelenteng Hok Tek Ceng Sin atau lebih umum dikenal sebagai Kelenteng Tua Sijuk.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI