Dua orang office boy datang membantunya memasukkan berkas-berkas dokumen itu ke dalam kardus. Masing-masing kardus ditempelkan selembar kertas yang diberi informasi nama-nama dokumen di kardus itu. Lalu office boy membawa kardus-kardus itu ke gudang arsip.
Sekarang urusan file dan dokumen sudah selesai. Ada satu urusan lagi yang harus dia selesaikan, serah terima komputer dengan orang IT. Diisinya lembar serah terima komputer itu, lalu dia tandatangani. Setelah itu, dia menuju ke ruang IT.
Setelah menjelaskan duduk perkara serah terima, dia dan orang IT pun menuju ke meja kerjanya. Orang IT itu mengecek semua yang ada di dalam komputer. Dia juga mencocokan no ID komputer apakah sudah sesuai.
Sebelum orang IT mematikan komputernya, timbul keraguan di benaknya. Apakah dia perlu mengirimkan email perpisahan kepada orang-orang yang pernah berurusan dengannya bahwa dia sudah tidak bekerja lagi di sini?
Tapi sebenarnya dia malu kalau sampai orang-orang lain di luar divisinya tahu dia di-PHK. Dia merasa seperti orang yang kalah dalam hidup. “Biar saja, aku tak perlu mengirim email. Malah nanti jadi memalukan,” batinnya.
Setelah urusan administrasi selesai, dia membereskan barang-barang pribadi yang ada. Kaleng-kaleng biskuit yang masih ada isinya. Sabun pencuci muka serta sikat gigi dan odol yang dia letakkan di laci mejanya. Dua pasang sepatu dan sepasang sandal. Dimasukkannya sabun pencuci muka, sikat gigi dan odol ke tasnya. Lalu bagaimana dengan sepatu dan sandal?
Sepatu-sepatu ini masih bagus karena memang hanya dipakai saat berada di kantor. Kalau sandal, ditinggalkan saja di sini. Siapa tahu ada yang mau pakai kalau mau jumatan. Kembali dia mendatangi office boy menanyakan apakah ada kantong plastik untuk menyimpan sepatu-sepatunya. Sekaligus menawarkan sisa kue yang baru dimakan sedikit.
Setelah mendapat kantong plastik, dimasukkannya sepatu-sepatu itu ke dalam tas. Tak lupa dia masukkan jaket yang selama ini dia pakai untuk menghalau dinginnya AC. Awalnya dia ingin pergi begitu saja pulang ke rumah. Namun dia urungkan niatnya.
Walau bagaimanapun, perusahaan tempat dia bekerja selama 25 tahun ini sudah menjadi rumah kedua baginya. Akhirnya Pak Hendra memutuskan untuk pamit kepada rekan-rekan kerjanya, termasuk bosnya yang bersembunyi di ruang kerjanya.
Pak Hendra mendatangi satu-persatu kubikel rekan kerjanya. Masker yang menutupi wajah-wajah mereka membuat Pak Hendra tidak bisa membaca ekspresi wajah mereka.
Setelah pamit dengan rekan-rekan kerjanya, dia berjalan menuju ruangan bosnya. Dia mengetuk pintu. Si bos mendongakkan kepalanya. Dengan isyarat, dia mempersilakan Pak Hendra duduk.