Mohon tunggu...
Helen Adelina
Helen Adelina Mohon Tunggu... Insinyur - Passionate Learner

Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value - Einstein

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Jangan Ada Gawai di Antara Kita

1 Mei 2021   09:52 Diperbarui: 14 Mei 2021   23:44 1778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (sumber: bowie15 via kompas.com)

Rasanya sudah banyak orang menulis tentang bagaimana gawai telah menjadi tembok pemisah antara orang-orang yang berkumpul bersama. 

Sampai-sampai muncul istilah “menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh”. Sibuk berkomunikasi dengan orang-orang yang iustru gak ada di tempat, eh orang yang di depan mata malah diantepin

Kalau orang yang di depan mata ini tidak ada hubungan apa-apa dengan kita, mungkin masih bisa dimaklumi. Lha ini, pasangan sendiri, anak sendiri, orang tua sendiri, adik kakak sendiri, atau teman-teman sendiri. 

Seolah-olah kehadiran orang di depan mata ini tidak diharapkan. Dan cilakanya, orang yang di depan mata tadi juga melakukan hal yang sama. Acara berkumpul bersama, tapi tak ada koneksi. Masing-masing sibuk dengan gawainya, sibuk dengan pikirannya sendiri. Lalu apa gunanya berkumpul?

Sayangnya dalam acara buka bersama pun, tak lepas dari “wabah” yang disebut Sherryl Turkle – seorang psikoanalisis dan professor di MIT – “alone together”. 

Banyak orang-orang yang sebelum acara buka bersama begitu senang saat di WAG, ide buka bersama digaungkan. Bahkan dresscode juga sudah ditentukan. Beberapa anggota pun rela menjadi panitia agar acara bukber terwujud. 

Dari reservasi tempat acara bukber sampai koordinasi dana dilakukan oleh panitia, termasuk konfirmasi apakah datang bersama pasangan dan anak-anak. 

Akhirnya acara yang ditunggu-tunggu pun tiba. Begitu pulang kantor sengaja teng go, ngibrit langsung ke tempat acara bukber supaya tak terjebak macet. Yang bekerja sebagai ibu rumah tangga pun tidak mau ketinggalan, bersiap-siap pergi lebih awal dari rumah untuk menghindari macet.

Tadinya dibayangkan betapa bahagianya berkumpul bersama, saling bercerita bagaimana kabar masing-masing. Saling melepas rindu, mengingat-ingat nostalgia tempo doeloe

Makan bersama, tertawa bersama. Saling ledek ukuran perut menunjukkan tingkat kemakmuran. Bukber jadi semacam reuni kecil-kecilan. Kalau pada hari-hari biasa, kesempatan berkumpul seperti ini susah untuk diwujudkan.

Ternyata yang dibayangkan hanyalah angan-angan semata-mata. Saat salah satu teman tiba di acara bukber, kita saling bersalaman. Basa basi sebentar, lalu mengambil tempat duduk. 

Ngobrol ngalor-ngidul tentang kabar masing-masing. Lalu meminta pelayan mengambilkan foto bersama. Setelah itu, masing-masing orang sibuk dengan gawainya sambil menunggu waktu berbuka.

Panitia pun berusaha keras membuat suasana tetap hidup, walaupun kadang banyolannya terasa garing. Tapi memang sulit membuat orang mengalihkan matanya dari gawai dan berinteraksi dengan teman-teman di sekitarnya. 

Entah memang ada sesuatu yang penting yang ditunggu sehingga mata harus tetap awas terhadap gawai. Atau memang apa yang ada di gawai lebih menarik daripada apa yang di depan mata.

Setelah makanan dihidangkan oleh pelayanan, gawai pun beralih fungsi menjadi kamera untuk mengambil foto. Ada yang fokus mengambil foto hidangan yang disajikan, ada yang selfie, ada yang wefie. Lalu ada foto beramai-ramai lengkap dengan hidangan yang disajikan. Ada yang demi foto yang sempurna untuk diunggah ke Instagram, pengambilan foto pun berulang kali dilakukan. Setelah selesai, baru makanan boleh dimakan. Kemudian foto-foto tadi pun langsung diunggah ke Instagram dengan tagar #bukber#.

Selesai makan, beberapa orang mencoba mencairkan suasana lagi dengan membuka pembicaraan. Sedang yang lain, mendengarkan dengan mata tetap tertuju pada gawai. 

Entah benar-benar mendengarkan atau tidak, tak ada yang tahu pasti. Hilang sudah kehangatan, hilang sudah kebersamaan. Kita hanyalah individu-individu yang kebetulan berkumpul pada ruang yang sama di waktu yang sama.

Alone together tidak hanya terjadi saat kita berkumpul saat acara-acara bersama seperti buka bersama ataupun reuni. 

Kemarin selepas pulang kantor, saya mampir ke salah satu mal untuk membeli buku yang saya perlukan. Kalau memesan secara online, butuh waktu beberapa hari baru sampai. Karena butuh cepat, saya terpaksa datang langsung ke toko. 

Setelah selesai membeli buku, saya mampir memesan pizza untuk dibawa pulang di sebuah tempat makan, yang kebetulan berada tepat di seberang toko buku. Lalu saya melihat ada sebuah keluarga yang sedang berbuka puasa. Suami istri, satu anak perempuan berumur sekitar 5-6 tahun dan anak balita yang masih duduk di high chair

Kondisinya persis gambar iklan salah satu biskuit versi zaman kiwari. Semua angggota keluarga sibuk dengan gawainya masing-masing, termasuk balita yang duduk high chair. Tidak ada percakapan yang terjadi. 

Dan itu berlangsung selama saya menunggu pesanan. Sebuah ironi yang terpampang di depan mata: bekumpul bersama dalam dunianya masing-masing. Saya tidak bermaksud menghakimi karena tiap keluarga punya aturannya masing-masing.

Ternyata dalam kehidupan sehari-hari, gawai telah menjadi dinding pemisah tak kasat mata bagi anggota keluarga. 

Kalau dulu sebelum gawai muncul, anggota keluarga berkumpul di meja makan atau di depan televisi. Kini masing-masing anggota keluarga sibuk dengan gawai masing-masing. Dari orang tua sampai anak-anak, semuanya sibuk dengan dunianya sendiri.

Gawai seolah-olah menjadi pusat kehidupan yang kalau kita tidak terkoneksi dengannya, kita menjadi sekarat. Gawai telah menjadi pusat dunia kita. Gawai menjadi semacam media untuk membuka diri kepada orang lain. 

Ironisnya, gawai justru menutup diri kita dari orang-orang terkasih yang berada di depan mata kita. Sangat disayangkan, interaksi dengan orang-orang terkasih digantikan dengan foto bersama yang diunggah di media sosial layaknya diari keluarga. 

Seolah-olah foto-foto itu menjadi bukti bahwa kita adalah keluarga bahagia. Seolah-olah apa yang kita bagikan di media sosial membuktikan bahwa kita ada, kita exist.

Benarkah kita bahagia seperti yang kita tampilkan dalam media sosial kita? Benarkah sebagai sesama anggota keluarga yang tinggal dalam satu atap, kita mengenal satu sama lain secara individual? 

Bukan hanya sebagai peran yang dimiliki sebagai anggota keluarga, entah itu suami, istri, ayah, ibu, anak, kakak ataupun adik. Apakah kita berusaha mendengarkan untuk memahami? Hanya kita sendiri yang bisa menjawab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun