Ternyata dalam kehidupan sehari-hari, gawai telah menjadi dinding pemisah tak kasat mata bagi anggota keluarga.Â
Kalau dulu sebelum gawai muncul, anggota keluarga berkumpul di meja makan atau di depan televisi. Kini masing-masing anggota keluarga sibuk dengan gawai masing-masing. Dari orang tua sampai anak-anak, semuanya sibuk dengan dunianya sendiri.
Gawai seolah-olah menjadi pusat kehidupan yang kalau kita tidak terkoneksi dengannya, kita menjadi sekarat. Gawai telah menjadi pusat dunia kita. Gawai menjadi semacam media untuk membuka diri kepada orang lain.Â
Ironisnya, gawai justru menutup diri kita dari orang-orang terkasih yang berada di depan mata kita. Sangat disayangkan, interaksi dengan orang-orang terkasih digantikan dengan foto bersama yang diunggah di media sosial layaknya diari keluarga.Â
Seolah-olah foto-foto itu menjadi bukti bahwa kita adalah keluarga bahagia. Seolah-olah apa yang kita bagikan di media sosial membuktikan bahwa kita ada, kita exist.
Benarkah kita bahagia seperti yang kita tampilkan dalam media sosial kita? Benarkah sebagai sesama anggota keluarga yang tinggal dalam satu atap, kita mengenal satu sama lain secara individual?Â
Bukan hanya sebagai peran yang dimiliki sebagai anggota keluarga, entah itu suami, istri, ayah, ibu, anak, kakak ataupun adik. Apakah kita berusaha mendengarkan untuk memahami? Hanya kita sendiri yang bisa menjawab.