"Janji suci di tanah suci berubah jadi mimpi buruk." Kalimat ini rasanya menggambarkan secara tepat tragedi yang dialami ribuan calon jemaah umrah yang tertipu oleh First Travel.Â
Perusahaan yang sempat dielu-elukan karena menawarkan paket umrah murah itu akhirnya terbukti hanyalah kedok dari praktik bisnis tak bertanggung jawab. Dalam kondisi seperti itu, langkah Kementerian Agama mencabut izin operasional First Travel memang patut diapresiasi. Namun, apakah itu cukup?
Respons Negara yang Terlambat Tidak dapat dipungkiri, pencabutan izin adalah bentuk penegakan hukum administratif yang tegas. Tapi mari kita jujur: langkah itu datang terlambat. Ribuan orang sudah menjadi korban. Tabungan bertahun-tahun lenyap, dan niat ibadah berubah menjadi luka batin. Kenapa baru bertindak setelah kerugian membesar? Apakah selama ini pengawasan administratif hanya bersifat formalitas? Di sinilah letak kritik utama. Negara, melalui kementerian dan instansiterkait, semestinya lebih aktif, lebih waspada, bukan hanya bersikap reaktif setelah bom meledak. Izin Mudah, Pengawasan Lemah First Travel jelas-jelas melakukan promosi besar-besaran dengan harga yang sangat tidak masuk akal. Bukankah ini semestinya jadi alarm dini?
Apakah Kementerian Agama menilai kelayakan finansial dan manajerial biro ini dengan serius saat memberikan izin? Ini bukan semata soal teknis administrasi. Ini soal tanggung jawab moral negara kepada rakyatnya. Ketika negara memberikan izin, artinya negara mengamini bahwa lembaga itu layak dipercaya. Maka jika izin diberikan terlalu mudah, sementara pengawasannya lemah, negara ikut andil dalam kerusakan yang terjadi. Rakyat Butuh Perlindungan, Bukan Sekadar Surat Edaran Yang paling menyedihkan dari kasus ini adalah nasib para jemaah. Mereka tidak hanya kehilanganuang, tapi juga kehilangan harapan. Pertanyaannya, apa upaya negara setelah pencabutan izin?Apakah cukup dengan proses pidana terhadap pemilik First Travel? Bagaimana nasib dana parajemaah? Adakah mekanisme pemulihan, atau minimal mediasi yang difasilitasi pemerintah?Jangan sampai negara hanya hadir sebagai regulator yang membuat izin dan mencabutnya, tanpatanggung jawab terhadap dampak sosial dari tindakan administratif itu. Masyarakat butuh keadilan,bukan hanya sanksi di atas kertas.Â
Saatnya Mengubah Cara Pandang Kasus First Travel harus menjadi alarm besar bagi seluruh sistem perizinan dan pengawasan di Indonesia, terutama di sektor yang melibatkan hajat hidup dan kepercayaan masyarakat seperti ibadah. Negara tidak boleh hanya jadi pemberi izin, tapi harus menjadi penjaga integritas publik. Pencabutan izin adalah awal, bukan akhir. Yang lebih penting adalah membangun sistem deteksi dini, pengawasan aktif, dan penanganan korban secara manusiawi. Jangan sampai, di kemudianhari, negara kembali kecolongandan rakyat kembali jadi korban.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI