Mohon tunggu...
Didi Jagadita
Didi Jagadita Mohon Tunggu... Administrasi - pegawai swasta

pegawai swasta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indahnya Persaudaraan dan Kedamaian sebagai Satu Bangsa

22 Juli 2020   03:56 Diperbarui: 22 Juli 2020   03:57 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita semua sadar bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang multikultur sebuah negara yang merupakan perlintasan dagang di masa lalu dan membentang dari Sabang sampai Merauke. Perbedaan itu terbentuk karena perbedaan wilayah, terpisah dengan banyak selat dan laut dari barat ke timur dimana bangsa Melayu sampai cluster Polinesia di timur yang melahirkan budaya dan masyarakat Papua. Juga wilayah dari Utara yang banyak dipengaruhi oleh Filipina dan Islam juga selatan yang sebagian merupakan pengaruh dari Pasific.

Tidak saja perbedaan soal budaya (yang sangat kaya dan kompleks itu) tapi juga soal bahasa, warna kulit dan keyakinan. Kita melihat budaya yang kita punya Aceh, Batak, Padang, lampung, Dayak, Sunda, Jawa, Betawi, Makassar, Toraja, Manado, Maluku, Bali sampai Papua. Belum lagi soal tipikal masyarakat pesisir dan pegunungan yang meski satu Budaya namun berbeda. Budaya lokal yang saling menghargailah yang membuat persatuan seperti sekarang ini terjadi. Justru dengan saling mengakui keragaman itulah Indonesia terbentuk.

Bangsa kita dibangun dengan ribuan perbedaan itu. Memang tidak mudah karena banyak tantangan yang harus dihadapi dan banyak hal (kesulitan karena perbedaan itu) sudah kita lampaui. Negara dengan ribuan perbedaan  ini berhasil membuat bangsa lain kagum.

Hanya saja selama hampir satu dekade ini ada kesan kuat bahwa seringkali agama menjadi alat provokasi dan menimbulkan ketegangan dan kekerasan (konflik) secara internal dalam satu agama maupun antar umat beragama. Situasi ini sangat buruk karena merembet ke hal-hal yang tidak semestinya seperti pelibatan politik dan media dalam provokasi itu sehingga menjadi konflik yang panjang dan dalam memasuki ruang-ruang privat warga negara yang punya keyakinan (agama).

Saat dua pilpres dan satu pilgub Jakarta misalnya, pelibatan agama dan akhirnya menimbulkan konflik konflik itu sangat terbuka dan menimbulkan dampak yang sangat besar. Dengan khotbah-khotbah agama yang membawa soal politik menimbulkan narasi-narasi kebencian yang tak terbendung tidak saja dalam rentang usia pemilih (dewasa) tetapi juga anak-anak yang sering mendengarkan narasi kebencian itu di ruang public  masjid, di percakapan warung kopi sampai media. Banyak pihak dan termasuk kita melihatnya sebagai sesuatu yang sangat buruk.

Pelibatan agama dalam politik dan menimbulkan rasa benci ini berbahaya karena pada hakekatnya agama bersifat dogmatic (benar secara logika agama) dan konservatif. Karena itu tidak ada ruang untuk melakukan dialog kritis dan toleran kepada agama lain. Akibatnya, umat beragama melakukan ritual keagamaan nya tanpa memperdulikan agama orang lain yang berbeda.

Inilah yang menjadi tantangan kita semua karena sebenarnya sejak Majapahitpun kita terbiasa dengan hal yang majemuk, tapi mampu menciptakan kedamaian. Itu pentingnya masing-masing kita berupaya untuk menciptakan kedamaian itu karena persaudaraan (ukhuwah) baik mencakup agama , suku bangsa, bahasa dan warna kulit (ukhuwah islamiyah dan ukhuwah wathaniyah)  perlu terus terjalin demi kelangsungan hidup dalam keberbedaan dengan penuh kedamaian dan keindahan  sebagai satu bangsa.  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun