Mohon tunggu...
Ein A. Gilingan
Ein A. Gilingan Mohon Tunggu... -

170 cm, sawo matang, rambut oval

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Manado Tua : Jejak Kerajaan Bawontehu

28 September 2015   16:12 Diperbarui: 28 September 2015   23:06 2517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Sebelum lebih jauh menarasikan sejumlah peristiwa peradaban yang terkait dengan kisah kehadiran Kota Manado, kita harus mulai dari titik pertama mengenai selayang pandang pulau Manado Tua, pemukiman kaum yang dulunya dikenal dengan nama Kerajaan Bawontehu —penduduk setempat menyebut Wawontehu atau Bawontehu alias Babontehu. Meski para penulis asing agak kurang menyebut dalam berbagai karya mereka serta tidak terllau sedikit tercantum dalam dokumen-dokumen Portugis/Spanyol dan Belanda, namun pulau yang menjulang berpayung langit itu menyimpan kisah klasik yang tidak bisa lepas dari jalinan kisah kehadiran Kota Manado. Pulau Manado Tua awalnya dijadikan sentra, semacam base camp Portugis dan Spanyol sebelum masuk ke wilayah daratan Wenang. Bahkan kemudian oleh Belanda pada mula-mula, menggantikan posisi Portugis dan Spanyol walaupun Belanda langsung menetakan kakinya di wilayah daratan Manado (sekarang).

Sebelum jauh melangkah dengan narasi lain, harus ditegaskan bahwa sangat tidak mungkin terlahir konsensus lisan dari segenap masyarakat yang mendiami pulau Manado Tua dan daratan Manado pada waktu itu untuk menyebut di sana : Manado Tua dan di sini : Manado, jika tidak ada dinamika peradaban yang tercipta dan memungkinkan bagi kedua lokasi ini dinamakan demikian. Artinya, dinamika yang tercipta itu adalah peradaban dalam konteks eksistensi dan merupakan titik berangkat waktu itu bagi masyarakat Manado Tua dan daratan Manado untuk mengatakan bahwa sesuatu yang lebih dulu ada adalah fakta masa kini dalam jalinan-jalinan kisah yang menyejarah dan dapat diterima oleh generasi selanjutnya sebagai sebuah keluhuran peradaban.

Bila sejarah yang dinarasikan secara logis oleh leluhur dan kemudian mendarah-daging dalam dinamika kehidupan masyarakat Manado Tua dan Manado dari waktu ke waktu sehingga menjelma menjadi sebuah fakta yang hidup seperti Manado Tua dan Manado saat ini, upaya kita adalah terus menghidupkan jelmaan fakta itu secara objektif. Dengan demikian istilah nama Manado Tua dan Manado secara tersurat harus dipahami dan dimaknai untuk menyambung kelestarian peradaban yang logis itu. Jika kemudian hadir berbagai dinamika dari gerai dialogis generasi masa kini, itu sangat wajar karena juga merupakan bagian dari peradaban. Tetapi hal itu jangan dijadikan sebagai ruang untuk membuat formulasi baru guna melahirkan deskripsi yang tidak logis dan mengabaikan fakta di depan mata, sebab logis dan objektif : sesungguhnya (disana) ada pulau Manado Tua, baru kemudian (disini) ada Manado. Inilah semangat peradaban dan jalan pembuka bagi Manado sebagai rumah nyaman yang didiami oleh masyarakat heterogen dari awal kehadiran hingga saat ini.

Paul Richard Renwarin (2007), Bert Supit (2002) dan Jessy Wenas (2007) bertolak belakang membuat deskripsi mengenai muasal orang Manado Tua yang pada zaman purba dikenal sebagai pusat Kerajaan Bawontehu itu. Renwarin mengatakan Manado Tua dan juga pulau-pulau sekitarnya bukan bagian (budaya) Minahasa karena penduduk di sana umumnya bekerja menangkap ikan, sebagai nelayan. Supit dan Wenas sebaliknya, memasukan Manado (Tua) dan pulau-pulau sekitarnya sebagai bagian tanah Minahasa. Mungkin yang dimaksud Supit dan Wenas adalah dalam perspektif sebagai wilayah atau teritori administrasi pemerintahan. Sementara A. L. Waworuntu (1891; dan juga kemudian Palar, 2009) yang rupanya mengutip beberapa pendapat penulis-penulis terdahulu menga-takan soal asal-usul orang Babontehu, bahwa penduduk Kerajaan Bawontehu adalah para pelarian dari wilayah tertentu yang datang bersembunyi. Entah wilayah tertentu yang mana hendak dimaksud, Waworuntu tidak menyebut dengan terang dan jelas sehingga layak dijadikan rujukan yang dapat dipercaya sepenuhnya.

Siapa orang Manado Tua, kaum Bawontehu itu? Sejauh ini belum ada penelitian khusus mengenai asal-mula orang-orang yang mendiami pulau tersebut. Wenas maupun Palar pada posisi tepat jika mengatakan bahwa soal istilah nama Bawontehu diberikan oleh orang Tombulu, wawo un tewuh, arti harafiahnya terapung di atas air. Kecuali maksud bagian dari Minahasa secara adminsitrasi dapat diterima, tetapi orang Manado Tua bukanlah pecahan dari etnis-etnis yang di Minahasa, sebab jauh dari entitas kemargaan. Saya yang lahir di Manado Tua dan dibesarkan oleh orang tua dalam lingkup perpaduan budaya nusa utara, khususnya Siau yang bersemai menyatu menjadi budaya khas etnis Bawontehu. Bahasa misalnya, rata-rata penduduk yang mendiami pulau Manado Tua sejak dulu hingga sekarang dalam laku kehidupan sehari-hari tetap menggunakan dialek Sangihe-Siau dan bahasa Melayu Manado yang sangat kental.

Sebetulnya Kerajaan Bawontehu (disebut Babontehu oleh para penulis sejarah Minahasa) dapat dikategorikan sebagai salah satu kerajaan tua di Nusantara. Tetapi sejauh ini memang tidak ada dokumen khusus perihal kerajaan yang katanya sebagai pusat Kerajaan Manado dan pernah diambil alih oleh Raja Bolaang Mongondow, Laloda Mokoagow itu. Beberapa kisah umum lisan, kerap disebut-sbut bahwa kerajaan ini turut memainkan peran perniagaan dengan Ternate, kemudian Portugis dan Spanyol meskipun hal itu hanya berupa serpihan kisah kecil yang harus dieksplorasi lebih mendalam mengenai masa kejayaannya. Bahwa Portugis, Spanyol dan Belanda di zaman itu menjadikan pulau Manado Tua sebagai lokasi utama gudang penyimpan sementara barang-barang yang mereka bawa maupun hasil bumi yang dibeli dari penduduk pribumi –terutama dari Ternate oleh kolonial/VOC.

Ahmad Saramat (alm), dosen sejarak di Universitas Manado (dulunya IKIP Manado) yang berasal dari Pulau Hitu - Tidore, pernah bercakap-cakap lepas dengan penulis di pusat Kota Manado awal tahun 2010 beberapa tahun sebelum berpulang ke dunia fana, mengatakan bahwa sebetulnya Raja Laloda tidak pernah menguasai Kerajaan Bawontehu dalam arti menaklukannya dalam sebuah ajang peperangan. Riwayat ini mengandung kebenaran yang sebetulnya tidak dapat dibantah, sebab Kerajaan Bawontehu walau akhirnya dikuasai, tetapi sempat punya jasa besar membantu Raja Laloda yang punya enam puluh sembilan isteri itu. Raja Laloda sangat berikatan dengan Bawontehu dalam lintas garis keturunan. Raja Laloda hanya menduduki Kerajaan Bawontehu sebagai bagian dari strategi mengusai tanah Minahasa dalam perang yang cukup panjang dengan para ukung dan tonaas, dan bukan menaklukan dalam arti menjajah Kerajaan Bawontehu. Oleh sebab itulah antara Kerajaan Bolaang Mongondow dan Kerajaan Bawontehu memiliki hubungan kekerabatan dan kekeluargaan yang sangat erat dan harmonis dalam sebuah perikatan genitas leluhur.

Hubungan kekerabatan dan kekeluargaan dalam perikatan genitas antara dua kerajaan itu secara implisit dapat disimak pada referensi lisan yang dikisahkan beberapa orang tua di Manado Tua kepada penulis sejak tahun 1980-an dan riwayat yang sama kepada beberapa pemuda dari Manado tahun 2007 saat melakukan hunting foto di beberapa lokasi terkait dengan sisa kejayaan Kerajaan Bawontehu untuk diangkat menjadi obyek wisata sejarah. Beberapa nama tempat tarkait dengan ikhwal kerajaan tua ini hingga sekarang masih dapat dijumpai; nama-nama yang disemat berdasarkan eksistensinya. Sehingga serpihan kisah lisan yang pernah saya dengar itu harus diangkat secara objektif ke permukaan dan dijamin memiliki nilai kebenaran dalam konteks peradaban.

Sebagai salah satu kerajaan tua di Nusantara, sebutlah bahwa Kerajaan Bawontehu dapat dianggap sebagai kerajaan awal yang digdaya di kepulauan Nusantara waktu itu. Tetapi selama ini luput perhatian dan tidak pernah diangkat ke permukaan. Usia Kerajaan Bawontehu hampir sama tua dengan beberapa kerajaan melayu Nusantara, seperti Kerajaan Kediri, Kerajaan Singosari dan kemudian juga Kerajaan Majapahit. Bahkan Kerajaan Bawontehu memiliki wilayah yang begitu luas, dari bagian utara hingga beberapa tempat di Filipina Selatan dan bagian barat hingga Bolaang Mongondow dan mencapai Buol Toli-Toli. Masigalotang adalah nama awal pulau yang menjadi pusat kerajaan tua tersebut dan di kemudian hari nama itu masih sempat disebut-sebut oleh orang-orang tua; Pulau Manado Tua merupakan pusat Kerajaan Bawotenhu yang berdiri pada sekitar abad ke-12 dan menuai masa kejayaan hingga beberapa abad kemudian.

Kisah lisan beberapa orang tua di pulau Manado Tua, menyebut seirama bahwa kerajaan ini berdiri pada kitaran tahun 1246. Dotu Mokodokedug adalah kolrano pendirinya dan merupakan pemimpin pertama Kerajaan Bawontehu. Ia merupakan raja yang arif dan bijaksana, sehingga berhasil memimpin selama empat puluh satu (41) tahun lamanya. Meski belum dilakukan riset khusus, namun sangat mungkin Mokodokedug memiliki hubungan sedarah dengan dotu Bolaang Mongondow, Mokodoludug (Mokoduludut). Tetapi silsilah keduanya belum begitu terang, tetapi sangat mungkin keduanya memiliki perikatan genitas atau sangat mungkin dua nama ini hanya mengalami perubahan sebutan, padahal oknumnya satu : Mokodekedug adalah Mokodoludug, sebaliknya Mokodolodug adalah Mokodekedug.

Ada pula kisah lisan lain yang menyatakan bahwa Mokodokedug (tidak disebut-sebut tempat lahirnya) eksisi memimpin Bawontehu setelah diabadikan sebagai sebuah kerajaan dari tahun 1246-1287. Ia memiliki empat (4) orang putra-putri, yaitu Lokongbanua, Sangiang, Ulungbanua, dan Yayuwanggai. Setelah ia wafat, kemudian Mokodompis yang merupakan saudaranya kemudian diangkat menjadi raja. Ia memerintah tahun 1287-1319. Setelah turun tahta, ia diganti oleh Raja Wulrangkalrangi yang memerintah tahun 1319-1335. Oleh karena selalu bijaksana dan arif berperilaku, anaknya bernama Lokongbanua (yang disebut dengan Lokongbanua I) dinobatkan menjadi raja tahun 1335 untuk menggantikan Wulrangkalrangi. Beberapa raja kemudian bergantian memimpin, termasuk Manirika Lumentut1. Kerajaan Bawontehu mengalami masa surut pada jaman Raja Posibori, seperti disitir J. G. F. Riedel yang dikutip Palar (2009). Manirika dan beberapa pengikutnya, adalah keturunan penduduk Bawontehu yang berpindah ke Tanjung Pisok (di Tongkaina) dan Sindulang membangun pemukiman baru di tempat itu. Ada pula cerita versi lain yang dikisahkan secara gamblang, termasuk kisah lisan masyarakat suku Bantik yang dapat diubung-ubungkan jika dilakukan penggalian terhadap situs-situs purba secara serius dan objektif.

Bukti awal bahwa Kerajaan Bawontehu pernah ada dengan kejayaan yang luar biasa adalah tiga tugu yang dapat dianggap sebagai kuburan tua raja-raja di atas puncak gunung Manado Tua; sebuah tempat yang oleh penduduk setempat disebut Walrang-kakolrang. Lalu ada juga kuburan lain di lokasi sekitarnya, seperti pernah diceritakan tokoh masyarakat Manado Tua, bapak (alm) Felix Tober kepada penulis tahun 2010. Kuburan tua itu masih ada sampai sekarang, yaitu diduga sebagai kuburan Mokodokedug, Mokodompis, dan Wulrangkalrangi. Dari posisi kuburan tiga raja itu, di bagian tengah Mokodokeduk, Mokodompis di sisi timur dan Wulrangkalrangi di sisi barat. Sedangkan kuburan Lokongbanu I dan raja lainnya hingga paling akhir belum dapat dinarasikan dengan jelas hingga sekarang, tetapi sangat mungkin berada di sekitar lokasi yang sama.

Ada sejumlah kemungkinan yang terjadi pada akhir kisah hidup Raja Lokongbanua I. Pada masa tua dan sebelum menghembuskan nafas terakhir, diambil oleh Lokongbanua II, cucunya yang telah mendirikan Kerajaan Siau. Sehingga kemungkinan besar bahwa Lokongbanua I sebagai senior dimakamkan di suatu tempat di Kerajaan Siau. Sangat mungkin juga kuburan Lokongbanua I berada di satu lokasi dimana terdapat kuburan Raja Lokongbanua II dan keluarga raja lainnya.

Menurut bapak Felix Tober, membuka tabir kisah kerajaan Babontehu di pulau Manado Tua, tidak lepas dari aspek ritual (yang beraroma mistik).; bahwa untuk masuk ke kerajaan tersebut seperti memasuki dunia maya. Jalan menuju ke gerbang ada dua, yang satu dari kampung sekitar Pangalingan dan satunya lagi di kampung Negeri, Manado Tua Dua. Untuk masuk kesana harus melalui panduan arwah leluhur. Tidak dikisahkan dengan jelas, apakah setelah masuk dan mencapai istana, seseorang itu akan mendapat jalan (yang sama seperti jalan masuk) untuk dikembali ke dunia nyata atau tidak. Sampai sekarang belum ada satu pun warga Manado Tua yang masuk lewat jalur mistik yang dumaksud, kecuali ada sejumlah peristiwa pada tahun 70-an bahwa ada warga yang dianggap hilang dalam waktu cukup lama dan kemudian rata-rata kembali lagi (ke dunia nyata, ke alam sadar) dalam keadaan lemah-lunglai.

Bukti lain bahwa di Manado Tua merupakan pusat kedudukan Kerajaan Bawontehu, dapat didisimak dari beberapa nama lokasi2 (tempat/kampung), baik di Manado Tua I maupun di Manado Tua II. Lokasi-lokasi itu merupakan tempat kesukaan raja dan panglima kerajaan (hulubalang). Ada sebuah lokasi pantai di sebelah barat pulau dan oleh penduduk setempat dinamakan Apeng Datu (Pantai Raja), ada Apeng Gugu (Pantai Jogugu, sebutan ini diperkirakan setelah kosa kata jogugu dari bahasa Melayu sudah kental digunakan waktu itu) dan Apeng Salrah (Pantai Salah). Selanjutnya ada lokasi yang disebut Batu Kadera (Batu Kursi), Patuku (sejenis pohon palem), Batu Senggo (Batu Layar), Los, Tontong Apeng, Bitunglohang, Apeng Kadio (Pantai Kecil), Pengalringang (sekarang Pangalingan), Papindang, Soa (Negeri), Bualro (Bualo), dan lain-lainnya.

Kalau Kerajaan Majapahit memiliki mahapatih Gajahmada, maka Kerajaan Bowontehu memiliki hulubalang raja atau panglima kerajaan yang bernama Manananggohe. Sewaktu penulis masih sekolah di Manado Tua, Manananggohe dikisahkan oleh orang tua sebagai lelaki perkasa bertubuh kekar dan tinggi besar. Bahkan hingga tahun 1980-an penduduk masih dipercaya bahwa Manananggohe sebagai Hulubalang Raja masih tetap ada walau Kerajaan Bawongtehu sudah lama runtuh. Ia dikenal memiliki ilmu kesaktian yang tinggi dan karena itu bisa terbang. Jika berbicara, suara bas berat Manananggohe terasa kuat, menggelegar laksana suara halilintar yang terdengar di balik gunung. Jika anak-anak menangis, kerap orang tua membujuknya sembari menakut-nakuti bahwa Manananggohe akan datang secara tiba-tiba dan akan marah kepada anak yang cengeng.

Ikhwal muasal dotu Manado Tua yang disebut Mokodokedug beserta keturunannya belum diketahui secara pasti sampai saat ini. Tetapi sebelum menetap di pulau Masigalrotang, dikatakan bahwa Mokodokedug beserta keturunannya telah melakukan perjalanan yang sangat panjang dalam sejumlah periode dari pulau-pulau di utara ke wilayah Molibagu, dekat Bolaang Mongondow, kemudian melanjutkan kelana mereka ke dataran tinggi di wilayah Malesung di sekitar gunung Wulur Mahatus. Tepatnya di sekitar kaki Gunung Lokon, dan para dotu Manado Tua itu sempat membangun perkampungan kecil untuk hidup sementara. Sangat mungkin nama Raja Lokongbanua diambil dari nama gunung Lokon. Setelah menganggap bahwa sebagai daerah yang jauh dari laut maka mereka akhirnya pergi, meninggalkan perkampungan itu dan mendiami Masigalotang, pulau Manado Tua yang sekarang ini.

(*Alfeyn Gilingan, Manadoners dan pegiat seni budaya pada Komunitas Adat Bawontehu-Manado Tua)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun