Mohon tunggu...
Ein A. Gilingan
Ein A. Gilingan Mohon Tunggu... -

170 cm, sawo matang, rambut oval

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Manado Tua : Jejak Kerajaan Bawontehu

28 September 2015   16:12 Diperbarui: 28 September 2015   23:06 2517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada pula kisah lisan lain yang menyatakan bahwa Mokodokedug (tidak disebut-sebut tempat lahirnya) eksisi memimpin Bawontehu setelah diabadikan sebagai sebuah kerajaan dari tahun 1246-1287. Ia memiliki empat (4) orang putra-putri, yaitu Lokongbanua, Sangiang, Ulungbanua, dan Yayuwanggai. Setelah ia wafat, kemudian Mokodompis yang merupakan saudaranya kemudian diangkat menjadi raja. Ia memerintah tahun 1287-1319. Setelah turun tahta, ia diganti oleh Raja Wulrangkalrangi yang memerintah tahun 1319-1335. Oleh karena selalu bijaksana dan arif berperilaku, anaknya bernama Lokongbanua (yang disebut dengan Lokongbanua I) dinobatkan menjadi raja tahun 1335 untuk menggantikan Wulrangkalrangi. Beberapa raja kemudian bergantian memimpin, termasuk Manirika Lumentut1. Kerajaan Bawontehu mengalami masa surut pada jaman Raja Posibori, seperti disitir J. G. F. Riedel yang dikutip Palar (2009). Manirika dan beberapa pengikutnya, adalah keturunan penduduk Bawontehu yang berpindah ke Tanjung Pisok (di Tongkaina) dan Sindulang membangun pemukiman baru di tempat itu. Ada pula cerita versi lain yang dikisahkan secara gamblang, termasuk kisah lisan masyarakat suku Bantik yang dapat diubung-ubungkan jika dilakukan penggalian terhadap situs-situs purba secara serius dan objektif.

Bukti awal bahwa Kerajaan Bawontehu pernah ada dengan kejayaan yang luar biasa adalah tiga tugu yang dapat dianggap sebagai kuburan tua raja-raja di atas puncak gunung Manado Tua; sebuah tempat yang oleh penduduk setempat disebut Walrang-kakolrang. Lalu ada juga kuburan lain di lokasi sekitarnya, seperti pernah diceritakan tokoh masyarakat Manado Tua, bapak (alm) Felix Tober kepada penulis tahun 2010. Kuburan tua itu masih ada sampai sekarang, yaitu diduga sebagai kuburan Mokodokedug, Mokodompis, dan Wulrangkalrangi. Dari posisi kuburan tiga raja itu, di bagian tengah Mokodokeduk, Mokodompis di sisi timur dan Wulrangkalrangi di sisi barat. Sedangkan kuburan Lokongbanu I dan raja lainnya hingga paling akhir belum dapat dinarasikan dengan jelas hingga sekarang, tetapi sangat mungkin berada di sekitar lokasi yang sama.

Ada sejumlah kemungkinan yang terjadi pada akhir kisah hidup Raja Lokongbanua I. Pada masa tua dan sebelum menghembuskan nafas terakhir, diambil oleh Lokongbanua II, cucunya yang telah mendirikan Kerajaan Siau. Sehingga kemungkinan besar bahwa Lokongbanua I sebagai senior dimakamkan di suatu tempat di Kerajaan Siau. Sangat mungkin juga kuburan Lokongbanua I berada di satu lokasi dimana terdapat kuburan Raja Lokongbanua II dan keluarga raja lainnya.

Menurut bapak Felix Tober, membuka tabir kisah kerajaan Babontehu di pulau Manado Tua, tidak lepas dari aspek ritual (yang beraroma mistik).; bahwa untuk masuk ke kerajaan tersebut seperti memasuki dunia maya. Jalan menuju ke gerbang ada dua, yang satu dari kampung sekitar Pangalingan dan satunya lagi di kampung Negeri, Manado Tua Dua. Untuk masuk kesana harus melalui panduan arwah leluhur. Tidak dikisahkan dengan jelas, apakah setelah masuk dan mencapai istana, seseorang itu akan mendapat jalan (yang sama seperti jalan masuk) untuk dikembali ke dunia nyata atau tidak. Sampai sekarang belum ada satu pun warga Manado Tua yang masuk lewat jalur mistik yang dumaksud, kecuali ada sejumlah peristiwa pada tahun 70-an bahwa ada warga yang dianggap hilang dalam waktu cukup lama dan kemudian rata-rata kembali lagi (ke dunia nyata, ke alam sadar) dalam keadaan lemah-lunglai.

Bukti lain bahwa di Manado Tua merupakan pusat kedudukan Kerajaan Bawontehu, dapat didisimak dari beberapa nama lokasi2 (tempat/kampung), baik di Manado Tua I maupun di Manado Tua II. Lokasi-lokasi itu merupakan tempat kesukaan raja dan panglima kerajaan (hulubalang). Ada sebuah lokasi pantai di sebelah barat pulau dan oleh penduduk setempat dinamakan Apeng Datu (Pantai Raja), ada Apeng Gugu (Pantai Jogugu, sebutan ini diperkirakan setelah kosa kata jogugu dari bahasa Melayu sudah kental digunakan waktu itu) dan Apeng Salrah (Pantai Salah). Selanjutnya ada lokasi yang disebut Batu Kadera (Batu Kursi), Patuku (sejenis pohon palem), Batu Senggo (Batu Layar), Los, Tontong Apeng, Bitunglohang, Apeng Kadio (Pantai Kecil), Pengalringang (sekarang Pangalingan), Papindang, Soa (Negeri), Bualro (Bualo), dan lain-lainnya.

Kalau Kerajaan Majapahit memiliki mahapatih Gajahmada, maka Kerajaan Bowontehu memiliki hulubalang raja atau panglima kerajaan yang bernama Manananggohe. Sewaktu penulis masih sekolah di Manado Tua, Manananggohe dikisahkan oleh orang tua sebagai lelaki perkasa bertubuh kekar dan tinggi besar. Bahkan hingga tahun 1980-an penduduk masih dipercaya bahwa Manananggohe sebagai Hulubalang Raja masih tetap ada walau Kerajaan Bawongtehu sudah lama runtuh. Ia dikenal memiliki ilmu kesaktian yang tinggi dan karena itu bisa terbang. Jika berbicara, suara bas berat Manananggohe terasa kuat, menggelegar laksana suara halilintar yang terdengar di balik gunung. Jika anak-anak menangis, kerap orang tua membujuknya sembari menakut-nakuti bahwa Manananggohe akan datang secara tiba-tiba dan akan marah kepada anak yang cengeng.

Ikhwal muasal dotu Manado Tua yang disebut Mokodokedug beserta keturunannya belum diketahui secara pasti sampai saat ini. Tetapi sebelum menetap di pulau Masigalrotang, dikatakan bahwa Mokodokedug beserta keturunannya telah melakukan perjalanan yang sangat panjang dalam sejumlah periode dari pulau-pulau di utara ke wilayah Molibagu, dekat Bolaang Mongondow, kemudian melanjutkan kelana mereka ke dataran tinggi di wilayah Malesung di sekitar gunung Wulur Mahatus. Tepatnya di sekitar kaki Gunung Lokon, dan para dotu Manado Tua itu sempat membangun perkampungan kecil untuk hidup sementara. Sangat mungkin nama Raja Lokongbanua diambil dari nama gunung Lokon. Setelah menganggap bahwa sebagai daerah yang jauh dari laut maka mereka akhirnya pergi, meninggalkan perkampungan itu dan mendiami Masigalotang, pulau Manado Tua yang sekarang ini.

(*Alfeyn Gilingan, Manadoners dan pegiat seni budaya pada Komunitas Adat Bawontehu-Manado Tua)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun