Mohon tunggu...
Haz Algebra
Haz Algebra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang hamba dari semua insan besar, juga hamba dari para pecundang. Menulis untuk meninggalkan JEJAK! [http://hazbook.blogspot.com/]

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kasus HKBP: Kesalahan Sistem, Takdir Tuhan, atau Rekayasa Sosial "Politik"?

13 September 2010   17:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:16 939
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perubahan tidak mungkin dapat terjadi jika manusia masih terjebak dalam pola pikir yang salah.

Ilustrasi SHUTTERSTOCK

Ketika membahas masalah sosial seperti kasus penusukan dan penganiayaan di HKBP, maka kita juga perlu untuk membahas berbagai bentuk dari kesalahan pemikiran yang digunakan kebanyakan orang dalam memperlakukan kasus tersebut. Bentuk pemikiran ini disebut intellectual cul-de-sac yang menggambarkan kebuntuan pemikiran. Dari berbagai tipe dari "jurus berpikir sesat" ini, ada satu tipe yang menarik untuk diberikan perlakuan dalam mengikuti perkembangan kasus HKBP karena kecenderungannya untuk menimbulkan stagnasi sosial. Tipe pemikiran yang dimaksud adalahFallacy of Misplaced Concretness. Tipe ini bisa dimaknai sebagai kekeliruan berpikir yang terjadi karena kita seolah-olah menganggap persoalan yang sedang dibicarakan itu konkrit padahal pada kenyataannya ia sangat abstrak. Atau dengan kata lain, kita mengonkritkan sesuatu yang sejatinya adalah abstrak.

Misalnya ada pertanyaan: mengapa umat islam secara ekonomi dan politik lemah? Jawabannya : kita lemah karena sistem. Saat ini kita kembali ke zaman jahiliyah. Lalu apa yang bisa kita lakukan? Jawabannya : kita harus mengubah sistem, tetapi sistem itu sendiri pada dasarnya abstrak. Dan kita memandang sistem itu mudah berubah karena kekonkritannya. Contoh lainnya adalah ungkapan yang mengatakan: ”ini semua sudah takdir Tuhan”. Ketika terjadi permasalahan sosial dan kita menganggapnya sebagai takdir Tuhan, maka selesailah sudah perdebatan karena orang cenderung merasa tidak ada lagi yang dapat dilakukan.

Alasan lain yang dapat menguatkan tipe pemikiran ini adalah adanya disintegrasi sosial dan disintegrasi individual dalam bentuk pengklasifikasian mayoritas dan minoritas dalam masyarakat. Klasifikasi ini akan menimbulkan pertanyaan yang mempertanyakan klasifikasi itu sendiri. Jika pada dasarnya manusia itu sama, mengapa harus diklasifikasi dengan ungkapan mayoritas dan minoritas? Adanya klasifikasi ini adalah indikator bahwa dalam tatanan sosial ada bentuk-bentuk kawalan power yang sifatnya abstrak. Jika mayoritas dan minoritas terjadi konflik dan ingin diselesaikan, maka tak ada solusi yang berarti selain minoritas harus mengalah. Apakah proses penyelasaian yang diinginkan semisal musyawarah ataupun melalui mekanisme voting (suara terbanyak), sangat jelas perbedaan opini yang akan terlahir dalam proses itu sehingga minoritas tak bisa mengalahkan mayoritas. Jika kita ingin menggeneralisasi kasus HKBP di bekasi itu dengan menyamakannya pada kasus pembakaran/perobekan Al Quran di New York yang sepintas sama-sama mengenai "larangan" pembangunan rumah ibadah. Tetap saja yang menjadi masalah utama baik secara fisik maupun psikologi adalah persoalan mayoritas dan minoritas meskipun permasalahan itu dijungkir balik.

ilustrasi : ikut mayoritas atau minoritas (http://sawtulislam.files.wordpress.com)

Logikanya seperti ini: Jika dalam sebuah komunitas terdapat 5 orang yang membutuhkan makan, sementara makanan yang tersedia hanya 4 buah kue. Dan dari 5 orang tersebut terbagi lagi menjadi 2 golongan dimana 4 orang sebagai golongan mayoritas dan 1 orang sebagai golongan minoritas. Maka bagaimana pembagiannya?

  • Jika 4 buah kue itu dibagikan kepada golongan mayoritas, maka tuntaslah pembagian kue tersebut. Akan tetapi, golongan minoritas tidak mendapatkan apa-apa.
  • Jika 4 buah kue itu dibagikan 1 buah pada golongan minoritas, sementara kua sisanya dibagikan kepada golongan mayoritas. Maka golongan mayoritas akan merasa tidak terfasilitasi. Mengapa kue yang diberikan pada golongan minoritas adalah kue utuh, sementara pada golongan mayoritas harus membagi 3 buah kue pada 4 orang? Dari sini kelompok mayoritas akan terus "meminta" kue utuh dari golongan minoritas untuk membuat utuh kue yang mereka dapatkan. Secara vulgar dapat dikatakan golongan mayoritas akan terus mengganggu/mempersulit minoritas selama mereka merasa ada "kesenjangan".
  • Dan jika solusi yang kemudian hadir adalah 4 buah kue tersebut harus dibagi rata pada 5 orang, sehingga kue tersebut akan berbentuk pecahan alias tidak utuh. Maka yang akan terjadi adalah ketidakadilan lagi bagi golongan mayoritas. Mereka akan mempertanyakan "dimana porsi kami sebagai mayoritas?" Secara kawalan power, mereka lebih besar daripada minoritas. Sehingga seharusnya mereka yang lebih berhak mendapatkaan porsi yang besar ketimbang minoritas.

Dari konflik yang tidak terselesaikan itu, satu-satunya solusi yang bisa ditawarkan sesuai dengan tipe pemikiran Fallacy of Misplaced Concretness tadiadalah golongan minoritas harus mengalah pada yang mayoritas. Bukan atas dasar ketidakadilan, melainkan sudah takdir Tuhan dikarenakan keadilan itu tidak akan kita temukan di dunia. Lagipula, jika ingin berpatokan pada "keadilan" semu yang ada di dunia, maka penyelesaian masalah baik secara musyawarah maupun voting, keuntungan akan berpihak pada yang mayoritas. Jika kita semua memiliki keyakinan, maka yakinlah bahwa keadilan itu hanya milik Tuhan dan Tuhanlah yang memiliki otoritas penuh untuk mengadili. Sehingga apapun yang terjadi di dunia ini, jika sifatnya sudah "mentok", maka itu adalah takdir Tuhan. Dan ketika kita menganggapnya sebagai takdir Tuhan, maka selesai sudah perdebatan karena tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan.

Kemudian kita kembali untuk mempertanyakan apakah kasus HKBP itu adalah sebuah kesalahan sistem ataukah sebuah takdir Tuhan? Jawabannya bukan pada kedua-duanya. Karena pada dasarnya sistem kita sudah mengatur hak-hak individu, bukan hak-hak mayoritas ataupun minoritas. Dalam sistem kita tidak ada pengklasifikasian antara mayoritas ataupun minoritas dan tidak bersifat "mentok" sehingga setiap permasalahan tidak harus diakhiri dengan determinasi "takdir Tuhan" atau secara sederhana dengan ungkapan "ya sudahlah, dimana-mana minoritas memang harus mengalah sama mayoritas".

Itulah bentuk kesalahan berpikir yang kemudian dipadukan dengan implementasi yang salah dari sebuah sistem yang ideal. Sistem pada hakekatnya mengharapkan perubahan sosial yang ideal dalam sebuah masyarakat yang carut marut. Namun dalam proses perubahan itu, masih berpegang pada mitos-mitos sosial yang menyebabkan kemandegan. Kalaupun terjadi perubahan, maka perubahan itu adalah penyimpangan dari sesuatu yang stabil.

Salah satu mitos dalam teori ilmu sosial  yang sangat kental dalam memandang kasus HKBP ini adalah Mitos Deviant. Menurut mitos ini, kalau mau melihat perubahan sosial, kita harus mau melihat struktur dan fungsi masyarakat. Jadi kalau ada dinamika sosial, maka harus ada statistika sosial. Analisis fungsional bisa dilakukan, misalnya dalam memandang persoalan kemiskinan. Kemiskinan meskipun ia tidak diinginkan, namun secara fungsional tetap diperlukan. Orang miskin diperlukan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berbahaya yang tak mungkin dilakukan orang kaya, orang miskin memberikan pekerjaan kepada LSM yang meneliti prospek kemiskinan di suatu negara. Begitupula dengan konflik yang mengatasnamakan agama. Kasus semisal penusukan di HKBP bukan hanya kali ini terjadi, bahkan sangat sering. Namun masih saja dapat terjadi karena hal seperti itu memiliki fungsi dalam perubahan sosial. Bagaimana menilai keberhasilan sebuah pemerintahan dalam hal toleransi, bagaimana kasus-kasus seperti itu difungsikan untuk menutupi kasus lainnya, bagaimana dan bagaimana yang lainnya yang pada dasarnya semua fungsional. Mitos ini kemudian menimbulkan masalah baru jika terjadi secara "tidak natural" atau termasuk dalam planned social change (perubahan sosial terencana) bukan unplanned social change (perubahan sosial yang tidak terencana). Apalagi dalam perencanaan itu sudah dimuati dengan berbagai kepentingan [!].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun