Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wajib Lapor

24 September 2017   14:45 Diperbarui: 24 September 2017   15:06 1077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki itu tak berkutik ketika kulit lehernya tertawan sangkur tajam, ia sadar nyawanya tergantung manja diujung pisau itu.

***

Gabon beringsut di kasurnya, mimpi itu telah membayang sekian lama di pelupuk jiwanya. Ia mengerti, hidup telah menghadiahinya trauma amat keji, tentang kekerasan dan ketidakadilan. Ia bukan lelaki perpendidikan tinggi, bahkan sekolah menengah ia tak tamat, bukan pula pengusaha kaya. 

Ia hanya pemuda kampung yang diberi pengertian oleh sekelompok pemuda yang berstatus mahasiswa, bahwa keluarganya berhak atas sebidang tanah yang memang seharusnya mereka kelola. Setidaknya, penguasa dan pengusaha itu wajib menaruh belas kasihan pada mereka, keturunan buruh perkebunan kelapa yang makmur di jaman Belanda.

Gabon dan keluarganya hidup dari hasil sawah yang tidak seberapa. Sawah itu juga bukan milik sendiri, tapi di sewa dari para aparat pemerintah yang dikuasakan untuk mengawasi perkebunan kelapa bekas kepunyaan Belanda. 

Aparat pemerintah itu suka menerapkan bagi hasil secara tidak adil. Pun, keluarga Gabon tidak mampu menyewa lebih dari sekali panen. Dan selebihnya, keseharian mereka bertiga berada di atas kasih sayang mandor perkebunan kelapa. Mandor itu membolehkan Ibu Gabon mengambil buah kelapa yang jatuh, lalu dijual untuk menyambung hidup keluarganya.

Meski begitu, perkebunan kelapa itulah yang menitipkan penderitaan sekaligus trauma di mata Gabon. Bapak yang hanya bisa membiarkan tubuhnya dilahap televisi, adalah saksi hidup, bahwa seharusnya ia dan ratusan kepala keluarga lainnya berhak atas tanah perkebunan yang sebagiannya disayat untuk diberikan kepada mereka. Tanah itu tak kunjung mereka peroleh. 

Ratusan keluarga yang dulu berkerumun di depan kantor perwakilan rakyat, berteriak dibawah terik matahari, terinjak sepatu lars, bermandi peluh, hingga kepalanya berdarah oleh pentungan, kini keturunannya hidup sebagai petani tanpa tanah. 

Gabon sendiri dituduh terlibat partai terlarang. Tuduhan itu berlatar atas aktifitas Bapaknya yang pernah memimpin Barisan Tani Indonesia di kampungnya, dengan motif perjuangan yang sama, yakni hak atas tanah. 

Kini, Gabon juga mewarisi status yang dulu dijalani sang Bapak, yakni Wajib Lapor ke kantor koramil setiap minggu. Kadang Gabon merasa, para aparat itu seolah meminta Gabon menggantikan status wajib lapor Bapaknya, karena Bapak sudah tak bisa melaksanakan kewajiban itu sejak kedua kakinya patah terinjak sepatu lars yang pernah dimuntahi Gabon.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun