Mohon tunggu...
Hasyim MAH
Hasyim MAH Mohon Tunggu...

Berusaha mengusung wacana nasionalisme, pluralisme dan kepedulian pada alam ini dengan disertai pemikiran yang bijak dan arif... Begitu maunya...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Film Green Zone: Melihat Lebih Dalam Konflik Irak

6 Mei 2010   00:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:23 4821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

[caption id="attachment_134282" align="alignleft" width="150" caption="Yahoo-Movies"][/caption]

Perang Irak yang disponosri oleh Amerika kembali diangkat dalam film. Kali ini berdasar karya Rajiv Chandrasekran yang berjudul 'Imperial Life in the Emerald City: Inside Iraq's Green Zone'. Dalam film ini, diperlihatkan dengan lebih detail dan obyektif mengenai latar belakang serangan Amerika ke Irak pada tahun 2003 lalu.

Selama ini, invasi Amerika ke Irak selalu dipandang dari sudut hitam putih. Tergantung kita ada di pihak mana. Kalau kita berpikir ala Amerika, kita pasti membela Amerika, tapi sebaliknya, jika kita berpikir dari sisi pendukung Saddam, kita pasti menyalahkan Amerika.

Di film ini kita tidak diajak untuk menilai secara hitam putih kasus ini. Kita lebih ditunjukkan fakta betapa rumitnya keadaan di Irak saat itu. Kepentingan banyak pihak yang sekaligus menjalankan intrik-intrik politik, membuat banyak kebingungan terutama dari sisi pelaksana perang ini yaitu tentara di tingkat bawah.

Tentara Amerika yang pastinya diberangkatkan dengan semangat nasionalisme tinggi dan juga termotivasi untuk membela kebenaran dan kemanusiaan ternyata juga harus menyadari bahwa mereka hanyalah menjadi alat untuk kepentingan yang lebih tinggi (baca: presiden AS). Mereka pun akhirnya harus sadar bahwa mereka diberangkatkan dengan skenario yang berbeda dengan yang mereka tahu.

Isu yang diangkat pertama kali dalam invasi ke Irak adalah keberadaan WMD (Weapons of Mass Destruction/senjata pemusnah massal). Namun setelah berlangsung lama, tentara Amerika sendiri akhirnya sadar bahwa WMD sebenarnya hanya kedok untuk meggulingkan pemerintahan Saddam Hussein.

Kenyataannya, posisi Saddam sendiri secara politik tidak bagus di dalam negeri. Keluarga Saddam yang otoriter dan selalu hidup dengan sangat mewah memang menghancurkan wibawanya di mata rakyat. Akhirnya semakin banyak kubu yang berusaha mengambil keuntungan dari kejatuhan Saddam termasuk para pejabat tinggi yang dipercaya Saddam.

Jika kubu Saddam sendiri sudah banyak yang rontok, apalagi kekuatan lama yang memang memusuhi Saddam seperti kaum Syiah atau suku Kurdi. Kekuatan anti-Saddam inilah yang akhirnya menguatkan posisi Amerika di Irak dalam menggulingkan pemerintahan Saddam.

Dari film ini sebenarnya kita juga jadi tahu bahwa invasi ke Irak adalah hasil skenario dari pihak anti-Saddam dengan pemerintahan Amerika. Mereka yang secara kekuatan tidak bisa menggulingkan Saddam sendiri, akhirnya harus mengajak Amerika untuk membantu mereka.

Kepentingan kedua belah pihak juga tampak jelas. Anti-Saddam ingin ambil alih kekuasaan sambil berharap Irak bisa menjadi lebih demokratis. Sedangkan bagi Amerika, selain karena alergi terhadap orang-orang seperti Saddam (yang anti-Amerika), juga karena melihat peluang besar nilai ekonomi dalam perang Irak ini.

 

Nasionalisme yang Tercecer di Irak

Film ini kembali menjadi reuni antara Matt Damon sebagai bintang utama dan sutradara Paul Greengrass. Sebelumnya, mereka bekerja bareng di film The Bourne Supremacy dan The Bourne Ultimatum.

Matt Damon berperan menjadi Roy Miller, seorang kepala perwira yang termasuk dalam jajaran tentara Amerika yang “diperalat” oleh pemerintahnya sendiri. Roy dan pasukannya selalu dibuat kecewa ketika setiap informasi yang dia dapat selalu tidak akurat. Roy yang masih saja beranggapan bahwa dia berangkat ke Irak karena ada WMD, akhirnya harus menghadapi konflik batin antara kewajibannya sebagai tentara yang harus mematuhi atasan dan kepedulian terhadap kebenaran.

Situasi yang penuh konflik batin ini mempertemukan Roy dengan Farid atau Freddy (diperankan Khalid Abdalla), seorang warga Irak yang kebetulan juga sangat dendam terhadap pemerintahan Saddam.

Pendekatan emosi yang memasukkan peran Freddy ke dalam cerita inilah yang paling menarik dalam film ini. Kita disuguhkan nasionalisme murni dari seorang warga Irak yang berharap masa depan yang lebih baik untuk negerinya.

Sekilas nasionalisme ini mungkin banyak terlewat oleh para penonton film ini yang akhirnya di banyak riview film Green Zone di beberapa blog menyatakan bahwa cerita film ini tidak istimewa. Padahal sebaliknya, cerita dalam film ini sangat menggugah kita dalam menilai sebuah konflik termasuk di konflik Irak. Bayangkan, ketika film dimulai, Roy yang menjadi tentara Amerika adalah orang yang anti-Saddam karena dianggap punya WMD. Kondisi ini berubah ketika tahu Saddam difitnah, dia menjadi condong ke pro-Saddam. Namun ketika dia menganal lebih jauh Freddy, dia kembali anti-Saddam dengan alasan yang berbeda. Alasannya kali ini adalah rasa nasionalisme, sebuah rasa yang tercecer di negara yang penuh pertumpahan darah, Irak. Mojokerto, 6 Mei 2010 Hasyim MAH hasyimmah.wordpress.com

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun