Biaya besar dalam proses politik menjadi salah satu pemicu seseorang melakukan korupsi untuk memperoleh penghasilan tambahan guna menutup pembiayaan tersebut. Penghasilan tambahan ini tidak jarang dilakukan dengan cara-cara yang menabrak aturan, salah satunya korupsi.
Terlihat dengan enteng saja, tanpa rasa malu para pejabat negara bersama konco-konconya melakukan penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan demi memperkaya diri dan orang lain. Apalagi tuntutan hukuman terlalu ringan.
Agar pencegahan korupsi dapat berjalan secara efektif, sangat bergantung pada komitmen seluruh jajaran aparat hukum, partai politik, dan seluruh masyarakat untuk ikut mengawasi proses politik tersebut. Kalau saja biaya politik atas pemilu dan/atau pilkada masih mahal, maka bisa dipastikan korupsi akan semakin tumbuh.
Saat ini yang perlu dilakukan KPK tak lain meningkatkan kinerja bersama dengan kepolisian dan kejaksaan. Terutama pada upaya pencegahan tindak pidana korupsi, dengan melakukan pengawalan langsung pada pekerjaan proyek, termasuk mengawal dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang diduga keras dijadikan ATM oleh oknum pejabat dan perusahaan CSR.
Kalaupun nanti KPK bisa efektif mencegah KKN kalau dipermanenkan, maka sebaiknya KPK segera permanenkan saja. Dengan catatan bahwa KPK harus ikut mengawal langsung setiap pekerjaan yang rawan KKN. Bila demikian juga terjadi KKN maka sanksinya adalah hukuman mati dan pemiskinan para koruptor.
Kenapa harus di"permanen"kan? Karena jangan sampai karena keberadaannya hanya ad-hoc, demi mempertahankan KPK, maka para pihak ahirnya acuh tak acuh untuk melakukan pencegahan menuju kondisi Indonesia kondusif, pejabat berintegritas.
Mojokerto, 17 Mei 2022