Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Memahami Proses Circular Ekonomi Sampah

7 Oktober 2020   20:05 Diperbarui: 6 November 2022   12:33 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemulung sampah di TPA Piyungan Bantul DI Yogyakarta. Sumber: DokPri. 

Produsen sampah jangan dipaksa dan dibiarkan berbuat sendiri pada sistem yang keliru yang tidak melembaga dalam mengelola sampah dan sisa produk berkemasan yang sifatnya konvensional (pribadi atau kelompok secara parsial), karena ahirnya akan stagnan dan tidak mampu menjalankan fungsi 3R berbasis circular ekonomi di masyarakat secara masif sesuai regulasi sampah. Karena mereka bekerja tanpa usaha berjejaring dan berjenjang yang kolaboratif dengan produk di luar produksi mereka.

Mungkin menjadi pertanyaan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bahwa kenapa ekonomi melingkar atau biasa disebut circular ekonomi dalam konteks pengelolaan sampah menjadi susah terwujud di Indonesia? 

Padahal hampir setiap forum, hal circular ekonomi tidak luput dari pembahasan dari stakeholder sampah dari berbagai komunitas serta dari unsur pemerintah. 

Tidak pernah tuntas membahas proses sesuai alur regulasi sampah. Siapa yang salah? Penguasa atau regulator, pengusaha, eksekutor pengelola sampah atau salah masyarakat sebagai kelompok yang mudah disoroti. Atau memang pemahaman sedangkal itukah, siapa yang harus bertanggung jawab?

Jangan sampai penguasa sendiri sesat jalan atau ada unsur "kesengajaan" tersesat untuk sebuah kepentingan dibalik bau menyengatnya sampah yang harum. Karena menganggap tidak ada yang berani mengoreksi, atau memang begitulah seadanya. 

Menurut pantauan penulis, baik sebagai penggiat maupun pemerhati regulasi sampah di Indonesia. Semua disebabkan tidak adanya kekuatan -kerja sama- kolektif pada pemangku kepentingan (stakeholder) di tataran lokal, regional dan nasional yang berusaha diwujudkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda). Padahal dalam regulasi persampahan sudah diatur sedemikian rupa hak dan kewajiban para pihak. Kurang apa lagi regulasi sampah kita?

Baca Juga: Strategi Menyikapi Darurat Sampah Indonesia

Ilustrasi: Penulis bersama pemulung sampah cilik di TPA Kopi Luhur Kabupaten Cirebon Jawa Barat (5/7/2020). Sumber: ASRUL HOESEIN | GiF
Ilustrasi: Penulis bersama pemulung sampah cilik di TPA Kopi Luhur Kabupaten Cirebon Jawa Barat (5/7/2020). Sumber: ASRUL HOESEIN | GiF
Sebenarnya modal dasar untuk sebuah penciptaan atau membangun kekuatan kolektif -kolaboratif ekologi dan ekonomi- itu sudah ada dan sangat elegan, yaitu telah diterbitkannya pedoman dasar melalui Memorandum of Understanding (MoU) tahun 2016 dan setahun kemudian di follow up dengan Perjanjian Kerja Sama (PKS) tahun 2017 antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop/UKM).

MoU dan PKS antara KLHK-KEMENKOP tersebut sangat tepat dan signifikan adanya, sebuah tindakan cerdas dan membumi lintas kementerian terkait dalam mempersiapkan dan sebuah bukti nyata untuk bertanggung jawab bagi perbaikan atau inovasi dalam tata kelola sampah -- waste management yang berkeadilan dan berwawasan lingkungan.

Sangat strategis kehadiran PKS KLHK-Kemenkop dalam rangka menata sistem pengelolaan sampah Indonesia. Dimana sampah memang harus dikelola dengan berpedoman pada fungsi ekologi yang diperankan oleh KLHK dan fungsi ekonomi yang diperankan oleh Kemenkop/UKM. Tinggal kementerian dan lembaga lain menyesuaikan diri dengan tupoksinya untuk sempurnanya setiap program pengelolaan sampah.

Baik Kemenkop/UKM maupun KLHK harus bersama dan bergandengan tangan yang harmonis, kedua kementerian ini harus seiring sejalan mengawal dalam keseimbangan pikir dan gerak. 

Karena itu pula yang akan menjadi panutan perahu tumpangan atau rel dari circular ekonomi berbasis pada penanganan sampah reduce-reuse-recycle atau disebut 3R, sebagaimana amanat UU. No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS).

Baca Juga: Heboh Sampah Plastik Diperebutkan Perusahaan Nasional dan Multinasional

Ilustrasi: Potensi sampah organik untuk pupuk, pakan ternak atau biogas di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta Timur (7/2/2020). Sumber: ASRUL HOESEIN | GiF
Ilustrasi: Potensi sampah organik untuk pupuk, pakan ternak atau biogas di Pasar Induk Kramat Jati Jakarta Timur (7/2/2020). Sumber: ASRUL HOESEIN | GiF
UUPS Tidak Terdampak Omnibus Law 

Begitu hebatnya regulasi sampah UUPS tersebut, sampai tidak terdampak pada undang-undang sapu jagat Omnibus Law UU Cipta Kerja (UUCK), hanya yang terdampak adalah UU. No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) serta UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

PKS KLHK-KEMENKOP tahun 2017 di Palembang lebih diuntungkan lagi oleh UUCK, karena mendirikan koperasi lebih disederhanakan yaitu syaratnya hanya minimal 9 (sembilan) orang sudah bisa mendirikan primer koperasi dimana awalnya minimal 20 (dua puluh) orang dan Rapat Ahir Tahun (RAT) koperasi bisa dengan digitalisasi. Termasuk disiapkan bantuan pada UMKM dan Koperasi melalui Dana Alokasi Khusus (DAK). 

Artinya kekuatan kolektif dalam mengelola sosial dan ekonomi sampah melalui Primer Koperasi Pengelola Sampah (PKPS) sebagai rumah bisnis bersama pengelola sampah bisa lebih cepat tumbuh dan berkembang dengan adanya perubahan regulasi dari UUCK tersebut.

Baca Juga: Setop Sesat Pikir Memahami EPR Pengelolaan Sampah

Circular ekonomi sampah merupakan aktifitas berbasis komunal yang harus punya prinsip berkelanjutan dalam segala hal, khususnya masalah ekologi dan ekonomi. 

Keduanya saling beririsan dengan membawa fungsi masing-masing yang saling dibutuhkan dalam urusan sampah pada ruang dan waktu yang sama. Tidak boleh urusan sampah itu parsial sesuai kehendak, harus komprehensif dan kolaboratif. 

Selama ini terjadi kebijakan semu alias keliru dengan "pelarangan penggunaan plastik sekali pakai" karena dalam pola pikir dan pola tindak hanya berdasar pada ekologi atau lingkungan semata tanpa memperhitungkan dari sisi ekonomi secara komprehensif dalam kaitan menyelamatkan bumi dari serangan sampah plastik. 

Keberlajutan sesuatu pekerjaan tentu harus didasari beberapa unsur terkait. Orang atau kelompok yang bekerja didalamnya perlu ada kejelasan sistem, mekanisme dan struktur untuk bekerja termasuk nilai kemanfaatan serta efek ekonomi yang ditimbulkannya. 

Artinya tidak ada kejelasan kolektif. bahwa siapa berbuat apa dan siapa dapat apa. Maka rasa keadilan dan tanggung jawabnya lepas tidak bertuan. Maka otomatis progres pengelolaan sampah akan berhenti di tengah jalan. 

Baca Juga: Koperasi Sampah "PKPS" sebagai Poros Circular Ekonomi

Prinsip keberlanjutan dalam urusan sampah berbeda dengan urusan lainnya. Sering penulis katakan dan sampaikan dalam forum resmi di tingkat nasional, regional dan bahkan lokal. 

Bahwa urusan sampah memiliki karakter khusus dan tersendiri dibanding sektor usaha lainnya. Urusan sosial dan ekonomi sampah jauh berbeda dengan urusan lainnya.

Mungkin sampah ini sengaja Tuhan Ymk bedakan cara mengurusnya, agar manusia bisa belajar banyak tentang kehidupan yang super majemuk dari sampah.

Stakeholder pengelola sampah mutlak harus bersatu secara kolektif, walau masing-masing bidang bekerja sesuai tupoksi dan kepentingannya, mereka harus berjejaring dan berjenjang secara utuh dan melembaga atau punya lembaga sosial dan bisnis yang valid dan paten berbadan hukum, agar aktivitasnya terjaga kelangsungannya. Intinya dalam tata kelola sampah -waste management- secara kolektif harus bersatu padu saling mendukung.

Sampah tidak bisa dikelola tanpa kerjasama kolektif dari semua komponen yang bekerja didalamnya. Mulai dari produsen produk sampai kepada konsumen dan pengelola sampah. Tidak boleh ada pemisah di antara mereka.

Baca Juga: PKPS, Koperasi Sampah Berbasis Multipihak

Ilustrasi: Kondisi pembuangan sampah TPS disekitar Industri Panas Bumi PT. Geo Dipa Energi Kawasan Wisata Dieng Kabupaten Wonosobo (16/8/2020). Sumber: ASRUL HOESEIN | GiF
Ilustrasi: Kondisi pembuangan sampah TPS disekitar Industri Panas Bumi PT. Geo Dipa Energi Kawasan Wisata Dieng Kabupaten Wonosobo (16/8/2020). Sumber: ASRUL HOESEIN | GiF

Harus Komprehensif dalam Proses Circular Ekonomi

Selama ini pemahaman tentang circular ekonomi hanya sebatas pada unsur teknis terkait ekologi dan hanya menyasar pada masalah teknis lingkungan semata. 

Umumnya mengatakan sudah melaksanakan circular ekonomi bila ex produknya sudah bisa di daur ulang. Pemahaman yang sangat sempit dan disempitkan. 

Ahirnya lupa mengaplikasi Pasal 14 UUPS dari sudut "pelebelan nilai ekonomi" dari sampah itu sendiri. Ujungnya membingungkan para pihak dalam menangkap sisa kemasan produk yang berahir menjadi sampah dengan nilai keekonomian yang rendah.

Seharusnya sebelum produk kemasan berahir menjadi sampah, maka nilai ekonominya sudah dipatenkan atau beri label informasi harga yang tertera pada kemasan. 

Karena belum bersistem, maka ahirnya satu sisi pihak bicara tentang kondisi bisa atau tidaknya sampah itu di daur ulang atau bernilai ekonomi, pada lain sisi terabaikan pada sampah yang tidak atau kurang bernilai ekonomi. Seperti plastik sekali pakai (PSP) atau plastik multylayer dan ps-foam. Maka sampah yang dianggap tidak atau kurang nilai ekonominya diabaikan. 

Padahal semua sampah mampu dikelola, bila dikerjakan secara komprehensif atau sinergi antar pengelola yang berbeda sasaran produk bisnisnya. Itulah fungsi PKPS sebagai rumah bisnis bersama. 

Mampu menyatukan pengelola sampah yang berbeda kepentingan bisnis namun terikat pada satu lembaga untuk pemenuhan kepentingan umum atau kepentingan lingkungan. 

Karena tidak ada sistem yang arahkan pengelola berkolaborasi, maka muncul kebijakan larangan penggunaan produk tertentu, misalnya kantong plastik, ps-foam dan sedotan plastik atau umumnya disebut plastik sekali pakai.

Semua itu terjadi karena tidak adanya sinergitas atau kerjasama kolektif antar stakeholder yang berpandangan pada dua sisi penting dalam pengelolaan sampah yaitu tentang ekologi dan ekonomi dalam urusan produk pilahan sampah yang berekonomi layak (langsung) dan produk non ekonomi layak (proses).

Baca Juga: Bank Sampah di Ujung Tanduk Bila Tidak Bertransformasi

Sementara dalam urusan pengelolaan sampah tidak bisa terjadi hanya cara parsial, harus komprehensif dalam menangani sampah. Namanya sampah pasti bercampur satu sama lainnya. 

Maka demikian pula para perusahaan industri berkemasan tidak boleh berbuat sesuai kehendak masing-masing kelompoknya. Pemerintah harus tegas mengatur semua masalah tersebut. 

Makanya pengelola sampah yang berbeda jenis atau fokus produk bisnisnya, harus bersatu menyelesaikan sampah yang karakteristiknya bercampur baur. Itulah keunikan urusan sampah, seakan memaksa manusia untuk berkolaborasi dalam ruang dan waktu yang sama.

Maka tidak ada urusan sampah tanpa penggabungan kepentingan untuk menjaga bumi -- waste management -- dengan bahan baku (scrap) yang berbeda karakteristik, merek, sifat dan lain sebagainya. Harus bersatu dalam bingkai besar pengelolaan sampah, yaitu punya wawasan lingkungan yang sama. 

Semuanya harus diurus secara kolaboratif dalam satu ruang atau rumah bisnis bersama dengan kelembagaan yang paten -- legalitas hukum -- yang berdasar pada perundang-undangan yang berlaku.

Baca Juga: Korelasi Sampah dengan CSR dan EPR

Ilustrasi: Kondisi sampah kemasan makanan dan minuman meningkat di masa Pandemi Covid-19. Sumber: ASRUL HOESEIN | GiF
Ilustrasi: Kondisi sampah kemasan makanan dan minuman meningkat di masa Pandemi Covid-19. Sumber: ASRUL HOESEIN | GiF
Pengelolaan sampah mengikuti pola circular ekonomi, masih butuh regulasi pelengkap untuk menjadi pedoman pergerakan ekonominya pada tata kelola sampah yang benar-benar berbasis pada sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga. Agar masyarakat bisa memberdayakan sampah menjadi sumber pendapatan baru.

Banyak pihak keliru memahami pola circular ekonomi, umumnya industri berpikir bahwa bila produknya sudah bisa di daur ulang maka terjadilah apa yang disebut sebagai circular ekonomi. 

Padahal baru bisa disebut circular ekonomi bila para pihak produsen sampah dan industri daur ulang sampah sudah berkolaborasi hulu hilir dan menikmati Pasal 15 dan 21 UUPS dengan mengaktualisasi proses circular ekonomi secara benar dan berkeadilan.

Dalam menggerakkan ekologi dan ekonomi sampah, jangan tunggu perilaku masyarakat untuk sadar dan berubah, itu keliru besar. Tapi pemerintah harus -- mendahului -- buat atau ciptakan sistem baku yang berbasis regulasi.

 Agar semua kepentingan stakeholder dalam urusan sampah bisa terwakili. Bukan mengelolanya secara parsial, begitu juga perusahaan multy nasional industri produk berkemasan, keliru bila bergerak parsial pada merek-merek tertentu saja. Harus bersatu pada dalam irama regulasi dan sistem yang sama secara terpadu.

Baca Juga: Pemulung Sampah Diberdayakan Melalui Primer Koperasi Bank Sampah

Siapa Produsen Sampah

Bila ditelisik secara seksama dan komprehensif dalam regulasi sampah atau UUPS dan segala turunannya, maka produsen sampah itu bukan hanya konsumen produk atau masyarakat sebagai pengguna -- pemakai -- produk dari perusahaan industri berkemasan. 

Jadi kelirulah selama ini, kita hanya selalu menyalahkan masyarakat yang dianggap tidak berubah paradigma -- karakter atau perilaku -- dalam kelola sampah, selalu menuntut masyarakat secara berlebihan. Padahal masyarakat sifatnya menunggu, mereka membayar retribusi sampah lho. 

Jadi pemerintah dan pemda serta asosiasi harus aktif, karena memang pemerintah sebagai regulator dan fasilitator dan asosiasi sebagai mitra sejajar pemerintah dan pengayom anggotanya serta pelindung konsumen. 

Sementara masyarakat merupakan bagian dari satu kesatuan kelompok atau pabrik sampah. Produsen sampah sesungguhnya mulai dari industri bahan baku original dan daur ulang, pengusaha atau perusahaan industri berkemasan, distributor, supplier, pedagang kecil-besar sampai pada konsumen (baca: masyarakat).

Semua komponen tersebut harus bersatu padu dalam rel atau sistem yang baku dan terstruktur dan massif untuk menjalankan peran dan tanggung jawab masing-masing pada kepentingan mikro (ekonomi) yang berbeda, tapi berada satu bingkai kepentingan atau tanggung jawab yang sama untuk menyelamatkan lingkungan (ekologi)

Baca Juga: Sumber Kekacauan Pengelolaan Sampah Indonesia

Ilustrasi: Aktifitas pemulung sampah di TPA Kopi Luhur Kabupaten Cirebon Jawa Barat (5/7/2020). Sumber: ASRUL HOESEIN | GiF
Ilustrasi: Aktifitas pemulung sampah di TPA Kopi Luhur Kabupaten Cirebon Jawa Barat (5/7/2020). Sumber: ASRUL HOESEIN | GiF
PKPS Rumah Bisnis Bersama

Bahwa circular ekonomi sampah harus memiliki lembaga usaha tunggal -- kekuatan kolektif kolanoratif  -- para produsen dan pengelola sampah yang berbasis sosial dengan kepemilikan bersama antar stakeholder. Hal ini pula sekaitan MoU dan PKS KLHK dan Kemenkop/UKM (2016/2017).

Siapa poros circular ekonomi? Itulah PKPS merupakan koperasi berjejaring dan berjenjang yang dimiliki secara bersama (multy stakeholder) para produsen dan pengelola sampah, dimana fungsi -- ahir atau hilir -- dari pengelolaan sampah adalah pelaksanaan pemberian insentif sesuai Pasal 21 UUPS -- kepada seluruh stakeholder sampah yang termaktub dalam UUPS. Jadi semua pengelola sampah mutlak mendapat insentif, walau berbeda jenis insentifnya. 

Baca Juga: Koperasi Sampah Penggerak Circular Ekonomi Indonesia Bersih

Pelaksanaan pemberian insentif kepada pengelola sampah akan direkomendasi oleh PKPS sebagai poros circular ekonomi. PKPS yg merekomendasi atau memberi bukti keterlibatan para pengelola sampah yang terintegrasi seluruh Indonesia. Dari sanalah circular ekonomi yang sesungguhnya akan terwujud secara utuh dan berkelanjutan.

Mari kita memahami circular ekonomi secara benar dan komprehensif berbasis regulasi agar bisa tercipta sebuah sistem baku dalam tata kelola sampah yang adil dan berwawasan lingkungan yang bisa membawa kesejahteraan bagi segenap insan pahlawan kebersihan. Sekaligus secara perlahan dapat merubah paradigma perilaku kelola sampah yang benar di masyarakat.

Brebes, 7 Oktober 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun