Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Presiden Jokowi Galau Menentukan Menteri?

22 Oktober 2019   12:25 Diperbarui: 22 Oktober 2019   13:57 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah Joko Widodo-Ma'ruf Amin dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Periode 2019-2024 (20/10), publik menanti dan menebak-nebak siapa seh gerangan yang akan dipercayakan Jkw-MA menjadi pembantunya.

Sejumlah tokoh, sejak kemarin sampai hari ini, selasa (22/10) mendatangi Istana Kepresidenan Jakarta demi memenuhi undangan Presiden Jokowi. Jokowi sendiri pada mulanya mengakui tidak susah memilih menteri. Tapi itu tidak semudah dalam ucapan. Karena terdapat tekanan atau harapan atas kebutuhan negara dan rakyat serta kebutuhan atau keinginan "ambisi" partai koalisi pendukung Jkw-MA itu sendiri yang saling beririsan.

Benar memang pernyataan Jokowi, karena anak bangsa sangat banyak yang mumpuni akan sumber daya manuasianya untuk menduduki posisi tersebut. Tapi yang susah adalah mengakomodasi keinginan dan kepentingan "politik ke depan" para koalisi pendukung Jokowi-MA sendiri. Dimana pada Pilpres 2024 yang akan datang, Jokowi sudah tidak bisa dipilih kembali. Nah momentum itu yang menjadi perhatian penting para politikus yang "pro dan kontra" pada Jokowi saat ini.

Para kandidat pembantu Jkw-MA yang diprediksi menduduki posisi menteri, semua pada mengenakan kemeja putih lengan panjang, persis seperti yang Presiden Jokowi gunakan sehari-hari dalam bekerja, diantaranya mereka mengaku diberi tugas untuk mengemban jabatan sebagai menteri pada pemerintahan periode 2019-2024.

Paling menghebohkan dan sekaligus memberi kode keras ada terjadi pro-kontra antara Jokowi dan partai koalisi pendukungnya setelah kedatangan Prabowo di Istana Presiden atas undangan Jokowi untuk memenuhi formasi Kabinet Kerja ke-II Jokowi-MA.

Strategi Jokowi mendekati Prabowo, bisa terbaca bahwa Jokowi bisa berkomunikasi (Baca: mendapat dukungan) dari rivalnya sendiri. Buktinya yaitu Prabowo-Sandiaga datang pada pelantikan Jokowi-MA.

Kehadiran Prabowo-Sandi ini bukan merupakan sebuah tradisi politik di Indonesia. Hal tersebut merupakan kelebihan tersendiri pula bagi Jokowi yang tidak dimiliki oleh pemimpin lainnya. Jokowi sangat mengedepankan silaturahim.

Pasca pertemuan Jokowi dan Prabowo tersebut, mantan rival Jokowi pada Pilpres 2019 itu memberi keterangan pada pers. Bahwa Prabowo diminta oleh Jokowi membantu dalam bidang pertahanan dan Prabowo mengiyakan atau bersedia menjadi menteri mendampingi Jokowi. Tentu ini merupakan informasi yang tidak kondusif atau angin jahat bagi koalisi pendukung Jokowi. Minimal mengurangi jatah menteri ????

Setelahnya muncul pula pernyataan Ketum NasDem Surya Paloh akan menjadi oposisi. Jelas pernyataan ini akibat merapatnya Prabowo pada Jokowi. Termasuk muncul larangan tinggalkan Jakarta kepada beberapa tokoh politik dan profesional. Semua pertanda terjadi "kegalauan" Jokowi dalam menentukan sikap. 

Padahal waktu yang Jkw-MA untuk mempersiapkan memilih dan memilah para calon pembantunya cukup lama untuk menyaring masukan dari sana-sini. Maka seharusnya kemarin dan hari ini, Jkw-MA sudah mengumumkan para menterinya. Mengingat kementerian harus segera terisi posisi jabatan menteri yang telah habis masa tugasnya.

Bila seluruh partai menjadi koalisi pemerintahan, dikhawatirkan sistem check and balance akan hilang. Padahal, sistem tersebut diperlukan di dalam negara demokrasi seperti yang dianut Indonesia. Bila tidak ada oposisi maka pemerintahan berpotensi otoriter dan korup. Sementara di Indonesia sudah dalam kondisi darurat korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun