Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Memahami "Larangan" Plastik Sekali Pakai

7 Juni 2019   23:40 Diperbarui: 8 Juni 2019   08:31 2523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Produk berkemasan PSP yang tidak disoroti. Sumber: Pribadi

Pembicaraan atau pembahasan tanpa ahir solusi atas issu plastik khususnya sorotan dan larangan penggunaan plastik kemasan atau pembungkus plastik sekali pakai (PSP). Sejak 3 tahun terakhir, sangat murah-meriah alias edukasi murahan dalam menghiasi pemberitaan dan termasuk terjadi debat kusir di group-group whatsapp, facebook atau medsos lainnya.

Termasuk dan diduga menjadi peluang bagi oknum pemerintah dan pemda dalam mendesign seminar, fgd, workshop, gerakan-gerakan instan pungut sampah di laut, sungai dll. Dilaksanakan oleh berbagai pihak, termasuk lintas kementerian dan lembaga (K/L). 

Hanya sebagai pencitraan dalam menemukan solusi sampah. Padahal semua imposible, karena sesungguhnya nampak dipermukaan tidak punya niat menyelesaikan masalah sampah dan sampah plastik.

Kenapa saya katakan "murah-meriah" karena penyorot - tukang kampanye - larangan plastik ini sesungguhnya ambigu atau ambivalensi. Karena sasaran kebijakannya tidak sesuai undang-undang pengelolaan sampah alias mis regulasi.

Begitupun sorotan terhadap produknya juga keliru. Karena PSP yang dilarang cuma Kantong Plastik, PS-Foam atau styrofoam dan sedotan plastik. Sementara jenis kemasan PSP sangat banyak dipasaran dan kantong plastik bukan termasuk kategori PSP karena masih digunakan minimal dua kali untuk tempat sampah di rumah masing-masing.

Misalnya Peraturan Gubernur (Pergub) Bali No.97/2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Kebijakan ini lebih ambisius melarang PSP dengan alasan penyelamatan lingkungan. Seharusnya pergub kebijakan yang lebih makro sifatnya dan bukan dalam substansi eksekusi, sebagaimana Pergub. Bali tersebut.


Seharusnya Gubernur Bali dan gubernur lainnya di Indonesia mendorong bupati dan walikota untuk mengaplikasi Pasal 13 dan 45 hal pengelolaan sampah kawasan dengan kombain Pasal 44 hal keharusan pemda membuat perencanaan penutupan TPA pada UU. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah. Bukan gubernur sebagai eksekutor tapi bupati dan walikota yang harus menjadi eksekutornya.

Gubernur Bali dan beberapa walikota dan bupati hanya menyorot tiga jenis PSP yang dilarang dalam Pergub dan/atau Perwali/Perbup tersebut yakni kantong plastik, polysterina (styrofoam), dan sedotan plastik. 

Walau diduga masalah larangan penggunaan kantong plastik ini direspon dan didorong oleh pemerintah pusat, tapi janganlah pemda mau ikuti kebijakan yang tidak sesuai regulasi. Itulah eksistensi otonomi daerah (otoda). Tidak serta merta memakan mentah kebijakan yang bisa dianggap keliru, apalagi yang berpotensi merugikan rakyat (baca: konsumen).

Khususnya aturannya di Bali lebih keras, akan menjadi bumerang "menusuk pemerintah dan pemda sendiri" karena mewajibkan setiap orang dan lembaga baik pemasok, distributor, produsen, penjual menyediakan pengganti atau substitusi PSP.

Juga melarang peredaran, distribusi, dan penyediaan PSP baik oleh masyarakat, pelaku usaha, desa adat, dan lainnya. Sementara pengganti PSP yang dilarang itu, juga belum ada sampai sekarang. Pemerintah dan Pemda tidak sadari kekeliruannya tersebut.

Ilustrasi: PSP kantong plastik dan kemasan PSP jenis lainnya sangat banyak. Sumber: SyawalNTB
Ilustrasi: PSP kantong plastik dan kemasan PSP jenis lainnya sangat banyak. Sumber: SyawalNTB
PSP adalah segala bentuk alat atau bahan yang terbuat dari atau mengandung bahan dasar plastik, lateks sintetis atau polyethylene, thermoplastic synthetic polymeric dan diperuntukkan untuk penggunaan sekali pakai. 

Banyak sekali jenis PSP yang benar-benar sekali pakai. Harusnya sekalian dilarang saja. Jangan hanya tiga jenis tersebut. Jangan tanggung-tanggung, bila perlu sekalian tutup saja pabriknya.

Jumlah PSP kantong plastik sangat sedikit dibanding PSP kemasan lain seperti, kemasan mie instan, kemasan minuman atau makanan ringan, kemasan minyak curah, kemasan beras dll.

Perlu diketahui pula bahwa PSP kantong plastik, styrofoam dan sedotan plastik yang dilarang tersebut masih layak daur ulang (LDU) artinya mempunyai nilai ekonomi. Sementara kemasan-kemasan yang dibebaskan atau tidak dilarang, itu tidak ada pembeli atau peminat yang disebut plastik kemasan jenis bisa di daur ulang (BDU).

Sampai saat ini plastik jenis BDU belum ada pemulung atau pelapak pedagang sampah yang mau memungut atau membeli. Justru jenis PSP BDU ini yang menjadi sampah dan menumpuk di Tempat Pembuangan Sampah (TPA). Kenapa bukan jenis plastik BDU ini yang dilarang ?

(Foto) Ilustrasi: Solusi dari penulis dalam sebuah Buku. Sumber: Pribadi
(Foto) Ilustrasi: Solusi dari penulis dalam sebuah Buku. Sumber: Pribadi
Bank Sampah dan EPR

Mengantisipasi PSP BDU hanya perlu dan seharusnya pemerintah dan pemda menggandeng asosiasi dan LSM untuk menggalakkan program pembentukan bank sampah secara massif di seluruh Indonesia. Tapi bank sampah versi regulasi, bukan bank sampah yang berparadigma lama. 

Penyiapan Infrastruktur Bank Sampah inilah yang harus dibentuk pada setiap desa, untuk antisipasi PSP BDU saat ini dan lebih khusus dalam menyambut pemberlakuan kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR) pada tahun 2022. Bila bank sampah tidak siap pada masa berlaku efektifnya EPR, maka dana-dana EPR berpotensi akan menjadi bancakan korupsi.

Pengertian EPR adalah konsep yang di desain untuk mengintegrasikan biaya-biaya lingkungan kedalam proses produksi suatu barang sampai produk ini tidak dapat dipakai lagi, sehingga biaya lingkungan menjadi komponen harga pasar produk tersebut.

Tujuan dari EPR adalah untuk mendorong produsen meminimalisir pencemaran dan mereduksi penggunaan sumber daya alam dan energi dari setiap tahap siklus hidup produk melalui rekayasa desain produk dan teknologi proses daur ulang melalui atau melibatkan bank sampah sebagai agen perubahan.

Produsen harus bertanggung jawab terhadap semua hal tersebut, termasuk akibat dari pemilihan material, proses manufaktur, pemakaian produk, dan pembuangannya. EPR dimaksudkan sebagai corporate sosial responsibility (CSR) yang diperluas.

Sehingga sangat memungkinkan bagi industri untuk menerapkan kebijakan penampungan kembali barang yang rusak atau kemasan (limbah) melalui distributor dan memberdayakan keberadaan bank sampah di setiap desa.

Selain sebagai bentuk tanggung jawab sosial, mekanisme EPR itu harus diintegrasikan dengan sistem pelayanannya. Timbal baliknya, apresiasi konsumen terhadap industri bersangkutan pun dapat meningkat. Yang terakhir ini lebih terkait ke usaha mengedukasi konsumen agar memilih produk ramah lingkungan. Lagi-lagi disana fungsi strategisnya bank sampah.

Peran utama bank sampah sebagai wakil pemerintah dalam merubah paradigma masyarakat dalam kelola sampah yang bekerja sama dengan perusahaan EPR sangat dibutuhkan, saat sekarang dan yang akan datang.

Ilustrasi: Bukti ritel menjual kantong plastik di Jawa Tengah (6/07/19). Sumber: Pribadi
Ilustrasi: Bukti ritel menjual kantong plastik di Jawa Tengah (6/07/19). Sumber: Pribadi
KPB vs Larangan Produk PSP

Lalu lebih anehnya, dalam regulasi persampahan tidak ada satupun frasa yang melarang penggunaan produk. Hanya yang ada adalah mengelola sisa produk yang tidak dimanfaatkan lagi alias sampah. Jadi sampah yang harus di kelola. Sampah yang harus dikurangi di sumber timbulannya. 

Sederhana masalah sampah Indonesia, cuma seakan diciptakan masalah supaya menjadi ribet. Sementara regulasi sampah sangat bagus dan #AntiRibet. Jadi harusnya semua pihak menyadari semua masalah ini agar solusi sampah #DibikinSimpel saja. Karena memang simpel bila mengikuti arah regulasi (pinjam istilah Saber Kompasiana).

Paling serunya lagi tanpa perhitungan yang matang dalam menciptakan solusi sampah plastik. Satu sisi pemerintah pemda melarang kantong plastik, dilain sisi pemerintah mengeluarkan kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) pada tahun 2016, tapi konon "katanya" Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Dr. Siti Nurbaya Bakar tidak menyetujui KPB. Tapi faktanya SE KPB belum dicabut oleh Menteri LHK. Ada apa ?

Sukses Story KPB; Kementrian LHK melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun (PSLB3) melakukan pertemuan dengan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan Assosiasi Pengusaha Ritel Seluruh Indonesia (APRINDO).

Pertemuan tersebut menghasilkan regulasi berupa Surat Edaran Dirjen PSLB3 No : S.1230/PSLB3-PS/2016 tertanggal 17 Februari 2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar, yang diberlakukan sejak tanggal 21 Februari 2016.

Ahir tahun 2016 atau sekitar bulan oktober 2016 APRINDO menyetop KPB-Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG) karena banyak resistensi terhadap KPB-KPTG. 

Namun APRINDO pada bulan Maret 2019 sampai sekarang kembali menjual kantong plastik atau melanjutkan KPTG (KPB). Penjualan kantong plastik ini sejak tahun 2016. Sampai sekarang masih diberlakukan oleh ritel modern dan/atau pasar modern lainnya dengan tetap menjual kantong plastik dengan entengnya memungut dana dari masyarakat.

Juga beberapa ritel dan toko modern tidak berhenti menjual kantong plastik sejak tahun 2016 sampai sekarang tahun 2019. Pertanyaannya kemana uang KPB atau KPTG dan siapa yang mengelola dana tersebut ? Padahal alasan diberlakukan KPB untuk penyelamatan lingkungan dari sampah plastik.

Ilustrasi: Bukti ritel menjual kantong plastik di Jawa Tengah (6/07/19). Sumber: Pribadi
Ilustrasi: Bukti ritel menjual kantong plastik di Jawa Tengah (6/07/19). Sumber: Pribadi
Pemerintah dan pemda sangat tidak adil memberlakukan KPB-KPTG. Sejak awal saya mengoreksi keras kebijakan tersebut. Tapi rupanya pengelola KPB atau oknum KLHK kebal terhadap koreksi dan solusi yang telah saya berikan secara resmi pada PSLB3-KLHK pada awal tahun 2017. Sepertinya dilacikan oleh oknum tertentu atas solusi KPB-KPTG dan Solusi sampah secara umum berbasis regulasi.

Penegak hukum, khususnya KPK sudah perlu turun lapangan untuk melakukan audit investigasi dan/atau penyelidikan dan penyidikan atas kebijakan KPB-KPTG oleh PSLB3-KLHK. Dana-dana yang dipetik dari masyarakat melalui kebijakan KPB-KPTG ini sudah tidak benar alias diduga terjadi gratifikasi (korupsi). Kuat dugaan terjadi penyalahgunaan wewenang oleh KLHK sejak tahun 2016.

Larangan Kantong Plastik vs KUH Perdata ?

Perlu diketahui bahwa, larangan penggunaan kantong plastik di toko ritel di Provinsi Bali dan daerah-daerah lainnya di Indonesia itu juga diduga melanggar hak keperdataan masyarakat dalam pelayanan konsumen atau pembeli.

Simak dan baca KUH Perdata bahwa pedagang termasuk toko ritel, wajib menyerahkan barang jualannya kepada pembeli dengan lengkap. Sebab kantong plastik diketahui sebagai alat dari pihak penjual yang disediakan secara gratis yang muncul dari pola hubungan hukum jual-beli, bukan bersumber dari pihak pembeli.

Sehingga penjualan dan larangan kantong plastik tersebut bertentangan dengan Pasal 612 KUH Perdata yang menjamin adanya kewajiban penyerahan kebendaan oleh si penjual dengan penyerahan yang nyata dan lengkap beserta kantong plastik kepada si pembeli. Berarti kantong belanja merupakan bagian tidak terpisahkan dengan barang belanjaan atau kantong belanja menjadi hak konsumen.

Sangat bertentangan dengan Pasal 1320 KUH Perdata yang mensyaratkan objek perikatan jual-beli haruslah berupa kausa (sebab, isi) yang halal. Kantong plastik tidak dapat dipungkiri merupakan suatu benda yang muncul dalam setiap transaksi jual-beli ritel dari pihak pengusaha ritel atau pedagang konvensional lainnya selaku si penjual.

Selama ini begitulah praktek jual-beli barang ritel, guna menyempurnakan serah terima barang yang dibeli darinya maka seluruh barang belanjaan dibungkus dengan kantong. Setelah dibungkus, sempurnalah jual-beli secara ritel tersebut sebagaimana diamanatkan oleh KUH Perdata agar selanjutnya dapat dinikmati oleh si pembeli.

Maka dapat diduga bahwa gubernur atau walikota/bupati yang melarang penggunaan kantong plastik. Keliru besar karena pengganti kantong plastik yang disebut ramah lingkungan versi pemerintah belum ada sampai sekarang. 

Serta lebih keras akan menusuk dirinya sendiri. Karena kebijakannya sama saja menyuruh pedagang ritel melanggar KUH Perdata dan bila memetik uang dari masyarakat melalui KPB atau KPTG sama saja atau diduga keras sebagai pungutan liar.

Penulis sebagai pemerhati regulasi persampahan di Indonesia, sangat mengharap kepada oknum-oknum KLHK dan lintas kementerian, asosiasi, LSM-NGO dalam dan luar negeri, pemerhati sampah, penggiat lingkungan serta pengelola bank sampah agar benar-benar hayati dan cerna regulasi sampah dengan benar. 

Inti dari masalah issu plastik tersebut adalah pemerintah harus hadir, janganlah biarkan masalah ini berlarut-larut. Karena berpotensi menciptakan konflik horizontal antar pemangku kepentingan. Jangan biarkan masalah kecil ini menjadi besar. Karena korban akan lebih banyak tentunya, bila terjadi pembiaran. 

Masalah sampah Indonesia sangatlah mudah diselesaikan sepanjang duduk bersama berkolaborasi dan menyadari akan kelebihan dan kekurangan masing-masing pihak. Yakin dan percaya masalah sampah ini akan tuntas setuntasnya menuju Indonesia bersih, hijau dan sehat.

Kebumen, 7 Juni 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun