Mohon tunggu...
Haryo WB
Haryo WB Mohon Tunggu... Penulis - Sinau Bareng
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis merangsang refleksi, jadi jika kamu tidak bisa mereflesikan sesuatu untuk ditulis, tetaplah mencoba untuk menulis

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Korps Pemberantasan Korupsi, Agar Gerakan Anti-Korupsi Tidak Mati Gaya

11 Desember 2021   08:14 Diperbarui: 11 Desember 2021   08:23 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi korupsi (KOMPAS.com/NURWAHIDAH)

Hari ini di pemberitaan media massa, sebanyak 44 Mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) di lembaga antirasuah itu resmi bergabung dengan Polri. Novel Baswedan dan 43 eks pegawai KPK itu kini resmi menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) di bawah Polri. Secara khusus kepolisian telah membentuk Korps Pemberantasan Korupsi yang semula bernama Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal menjadi Korps Pemberantasan (Kortas) Tindak Pidana Korupsi.

"Tantangan jadi lebih besar bagaimana permasalahan-permasalahan tindak pidana korupsi itu bisa semakin baik tertangani," kata Rusdi.

Korupsi bukan untuk sekadar dipahami, melainkan untuk ditanggapi. Satu pertanyaan yang memandu: Apa itu korupsi? Dari tulisan ini, pertanyaan 'apa itu korupsi?' ibarat sebuah gumpalan awan, dengan wujud dan batas yang jelas. Namun, ketika didekat lalu dimasuki, wujud dan batas yang jelas itu ambyar menjadi helai-helai kabur terpencar, mengelak untuk ditangkap. Akan tetapi, mengapa upaya bagaikan mengejar fatamorgana ini tetap dilakukan?

Korupsi bukan sekadar omongan dan wacana. Ia se-nyata hujan, se-konkret perang. Ia adalah gejala hasil perilaku manusia, korupsi itu produk kaitan dunia praktik dan gagasan. Era 1960-an terjadi perdebatan antara kubu 'korupsi sebagai minyak pelumas' dan 'korupsi sebagai pasir pengganjal'. Saya sulit memahami mengapa soal korupsi menjulang menjadi perhatian dunia dalam beberapa dasawarsa terakhir, tanpa mengerti peran garda depan World Bank dan Transparency International. Dalam studi korupsi sejarawan Ronald Kroeze mengingatkan bahaya ini: 'Korupsi seharusnya tidak diteliti dengan cara pandang abad ke-21'. 

Oleh karena ini menyangkut kekhasan manusia sebagai makhluk yang menafsirkan. Mulailah dari definisi. Kata definisi berakar dari kata latin definire, artinya membatasi, menetapkan, mengurung dalam batas-betas tertentu. Definisi terlibat dalam semua jenis tindakan dan penyelidikan. Bayangkan: anda bilang kepada pelayan saat masuk ke sebuah warung. 'Minta satu piring nasi goreng. Anda mengandaikan pelayan tahu konsep 'nasi goreng' dan 'satu piring'. Ketika ia muncul dan menyajikan satu bakul beras. Anda kaget. Mengapa? sebab apa yang disajikan tidak sesuai dengan konsep satu piring nasi goreng. Bayangkan lagi, anda seorang hakim pengadilan tindak pidana korupsi. Di hadapan anda berdiri seorang kapten klub sepak bola liga, yang diajukan atas tuduhan menerima suap yang menyebabkan kekalahan klub yang dibela. Namun, undang-undang anti-korupsi men-definisi-kan suap, misalnya, sebagai 'pemberian untuk memengaruhi kinerja pegawai pemerintah bagi keuntungan pemberi dan kerugian pemerintah'. Kapten sepak bola itu bukan pegawai pemerintah, liga sepak bola juga bukan institusi pemerintah. Walaupun, ia terbukti bahwa kapten itu menerima suap dan secara kausal menyebabkan kekalahan klubnya, sulit menetapkan kapten itu bersalah karena suap, sebab apa yang ia lakukan  berada di luar jangkauan definisi suap dalam hukum anti-korupsi. 

Definisi bukan maha segala-segalanya, tapi segalanya melibatkan definisi. Definisi  membentuk arti salah dan benar menurut hukum, definisi memilih dan memilah gejala mana yang mau dijaring dalam penelitian. 

Dalam karya-karya Machiavelli di abad ke-15 atau 16, terlihat bahwa istilah korupsi punya arti penting dalam dunia politik. Namun, hal itu lebih karena seluruh pemikirannya tertuju pada soal politik, dan ia butuh konsep untuk menyebut kebalikan dari kualitas optimal politik. Kebalikan itu adalah korupsi (corruzione): korupsi adalah privatisme politik. Namun, terlihat bahwa cara Machiavelli memakai 'korupsi' untuk menunjuk subversi pemerintahan yang baik berpengaruh mendalam pada para pemikir, pujangga dan legislator selanjutnya. Tidak pernah sepenuhnya jelas bagaimana metamorfosis semantik istilah 'korupsi' menjadi konsep khas dunia pemerintahan dan tata-kelola organisasi itu terjadi. Rupanya langkah legislasi sebagai bahan reformasi dan rivalitas politik yang mulai sejak abad ke-18 dan kencang pada abad ke-19 punya andil besar, dengan menunjuk penyalahgunaan kekuasaan/jabatan pemerintahan sebagai korupsi. Itulah pengertian korupsi yang kita warisi di abad ke-20.

Situasi yang ditemui per definisi secara situasional. Itu juga yang dapat dikenali dari kisah gerakan anti-korupsi di abad ke-18 dan ke-19. Itu pula yang menandai kisah munculnya keprihatinan global anti-korupsi sejak era 1990-an. Semakin kuatnya kritik terhadap kemandulan atau kemacetan gerakan anti-korupsi sejak awal abad ke-21 berkisah bukan tentang irelevansi gerakan anti-korupsi, melainkan tentang bagaimana turun dari tataran slogan neopolitik perubahan.

Terakhir, teman merawat kegelisahan, realisme bukanlah tenggelam dalam simpang-siur, dan idealisme bukanlah mencabut diri dari simpang siur. Inilah tegangan eksistensial antara permisalan kedegilan korupsi dan kisah keyakinan bahwa tatanan yang semakin tidak-korup bukan kemustahilan, dan 'agar gerakan anti-korupsi tidak mati gaya'.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun