Mohon tunggu...
Angiola Harry
Angiola Harry Mohon Tunggu... Freelancer - Common Profile

Seorang jurnalis biasa

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Menggali Harta Karun di Muara Sahung

15 Agustus 2015   21:06 Diperbarui: 15 Agustus 2015   21:06 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Satu keindahan lagi muncul, menambah tiga keindahan Kota Bengkulu lainnya. Kota yang terkenal dengan benteng Fort Marlborough, Pantai Panjang, dan bunga Raflesia raksasa itu kini memiliki batu Agate, jenis batu akik. Ya, inilah ikon baru Bengkulu, Batu Agate. Keindahan batu Agate melahirkan sebuah produk nan cantik hingga membuat Bengkulu makin eksotik.

Tepatnya empat tahun lalu di perbukitan Muara Sahung, Kabupaten Kaur, masyarakat menemukan bongkahan batu permata yang terkubur di kedalaman 3-4 meter.

Awalnya, seperti biasa, masyarakat Muara Sahung yang bermata pencarian petani kopi itu menggali ladang untuk menanam pohon kopi. Namun saat menggali, mereka menemukan bongkahan berwarna coklat gelap terselubung oleh tanah liat. Karena bentuknya seperti gumpalan, masyarakat pun menganggap itu hanyalah sebuah gumpalan tanah liat, yang akan luluh lantak bila tersiram air terus menerus. Mereka pun membuang bongkahan tersebut bersama bebatuan dan tanah dari galian.

Namun rupanya, setelah tersiram air hujan berhari-hari, bentuk bongkahan tersebut menjadi unik. Batu yang dulu terpendam sekarang terangkat menjadi primadona baru Bengkulu. Batu unik itu tak lain adalah Batu Agate, yang akhirnya menjadi penghasilan utama sebagian besar masyarakat Muara Sahung, Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu.

Tahapan

Pada tahap ini saja, batu Agate seolah sudah memberi aroma baru perekonomian masyarakat perbukitan. Namun problema tersendiri pada tahap ini adalah, batu Agate yang baru ditambang dan belum diolah, biasanya dijual ke pihak pengumpul dengan harga rendah. “Betapa ruginya kami, carinya susah payah tapi dibeli dengan harga murah”, ungkap Mendri, salah seorang penambang.


Bermodalkan peralatan sederhana, seorang penambang lainnya di Muara Sahung bernama Miri, bersama kelompoknya membutuhkan waktu satu hari untuk menggali beberapa lubang dengan kedalaman 3-5 meter, yang diyakini menyimpan batu Agate. Mandi lumpur adalah hal yang biasa bagi Miri dan rekan-rekannya untuk mengangkat batu-batu Agate dari lubang galian.

Bahan mentah

Kini, dengan dirangkul oleh program CSR salah satu institusi negara, kegiatan baru masyarakat Muara Sahung ini terdukung oleh edukasi, yakni pengorganisasian dan manajemen. Melalui proses pembinaan, kini tampak nyata bahwa kerja keras para penambang telah disertai kebersamaan. Miri dan kawan-kawannya kini mendapatkan batu alam pilihan.

Atas dorongan kebersamaan juga, mereka pun bertekad memperkuat permodalan. Para penambang batu agate di Ulak Bandung, Muara Sahung, mendirikan koperasi Teratai Indah pada tahun 2012. Saat ini Koperasi Teratai Indah memiliki anggota 15 orang dengan total aset mencapai Rp 15 juta. Dan dengan bekal pengalaman yang didapat selama 4 tahun, Miri dan kawan-kawannya dalam sehari bisa mengumpulkan beragam jenis batu alam. “Lumayan, sehari bisa dapat sekitar 1,5 – 2 ton,”, kata Miri.

Kini, selain batu Agate, di kawasan Muara Sahung dan sekitarnya yakni mulai dari Desa Ulak Bandung , Luang Batu Api dan Pendawaian, Pantai Hili, Semidang Gumay, dan Sungai Luas, juga dapat ditemui batu permata lainnya yang bernilai jual tinggi yaitu, Chrysolite, Solomon, Seroja, dan Zambrud. “Dibentuknya koperasi ini untuk membantu pengelolaan keuangan para anggota selain juga memperkuat permodalan para penambang,”, kata Jon Sirwan, Ketua Koperasi Teratai Indah.

Tahap berikutnya adalah dari sisi fasilitas. Sekalipun masih menggunakan peralatan tradisional, batu Agate Muara Sahung banyak dicari dan digemari masyarakat tidak hanya di daerah Bengkulu saja tetapi juga sampai ke luar Provinsi Bengkulu.

Di Muara Sahung, warga mengambil batu Agate dengan menggunakan peralatan tradisional dan mengumpulkan batu Agate untuk kemudian menunggu pembeli datang yang biasanya dari luar Kabupaten Kaur bahkan dari luar Provinsi Bengkulu. Kemampuan mengolah batu Agate belum dimiliki masyarakat lokal sehingga pengolahan batu Agate dikerjakan para pengrajin dari luar Kaur.

Institusi itu kemudian memberikan bantuan berupa peralatan. Batu Agate yang belum diolah langsung dibawa ke Pusat Agro Industri Batu Agate di kawasan Pondok Pusaka, Kabupaten Kaur. Dengan bantuan peralatan tersebut, batu Agate diolah menjadi bahan jadi seperti cincin, liontin, plakat, souvenir, dan beragam hiasan atau assesoris dengan harga yang cukup tinggi.

Setelah proses

Kini setelah terorganisir, dengan manajemen yang baik, proses penambangan batu Agate di Muara Sahung sudah dilakukan secara berkelompok. Jumlah penambang dalam satu lokasi sekitar 20 - 30 orang. Alat penambangan sangat sederhana yang biasa digunakan tetap mereka ditinggalkan, yakni tojos (besi kecil berukuran panjang yang digunakan untuk mencari titik-titik lokasi batu ditempat galian), linggis, cangkul dan ember.

Keuntungan

Dengan adanya bantuan peralatan dari institusi tersebut, mulai dari proses pemotongan batu sampai proses jadi membutuhkan waktu lebih cepat daripada menggunakan peralatan tradisional. “Untuk proses pengerjaan 1 batu cincin yang belum diikat hanya perlu waktu setengah jam saja.” ungkap Rizal, salah satu pengrajin batu Agate di Pusat Agro Industri Pondok Pusaka. Melalui mesin-mesin bantuan itu, permintaan batu cincin, assesoris dan souvenir meningkat dengan bermacam-macam bentuk dari beberapa jenis batu yang menjadi kegemaran masyarakat Bengkulu.

Proses pengolahan batu agate dimulai dari pemilihan bahan batu Agate yang biasanya berbentuk bongkahan kemudian dipecahkan menggunakan mesin pemotong menjadi berbagai bentuk semi jadi. Setelah proses pembentukan selesai, batu Agate dihaluskan dengan alat gerinda untuk selanjutnya dipoles sehingga bisa mengkilat. Sesudah pemolesan selesai batu cincin Agate bisa diikat sesuai dengan bentuknya.“Untuk batu cincin yang belum diikat harganya berkisar antara Rp 50 ribu – Rp 150 ribu dan batu cincin yang sudah diikat dibanderol paling murah Rp 100 ribu – Rp 350 ribu tergantung pada jenis batunya. Sedangkan hiasan berbentuk keris berukuran kecil dijual dengan harga Rp 300 ribu,-, untuk bentuk ikan dan kura-kura dipasang harga Rp 250 ribu,” kata Rizal. Para pengrajin di Pusat Pengolahan Batu Agate Pondok Pusaka dalam sehari bisa menghasilkan 10 batu cincin yang sudah siap diikat, 10 batu jadi untuk liontin, dan dua hiasan beragam jenis.

Batu Agate yang sudah jadi cincin, liontin dan assesoris tidak hanya dipasarkan di Pusat Agro Industri Batu Agate kawasan Pondok Pusaka saja tetapi juga sering dibawa dalam berbagai pameran baik di kota Bengkulu maupun di kota-kota lain.

Bahkan pada kompetisi gemstone awal tahun 2015, Batu Agate Bengkulu yang diberi nama "Pictorial Agate Badar Pemandangan" berhasil meraih prestasi sebagai batu akik dengan harga termahal, yakni Rp 2 miliar. Tak heran jika saat ini batu Agate yang dulunya terpendam muncul menjadi permata alam primadona baru Bengkulu.

Seluruh upaya di Muara Sahung dengan produk batu permata yang dihasilkannya itu kemudian menginspirasi para juri ajang tahunan penghargaan internasional tahunan yang prestisius "The 7th Annual Global CSR Summit and Awards 2015". Dan memutuskan bahwa produk pengrajin batu terbina di Bengkulu itu layak meraih juara III penghargaan kategori Product Excellence.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun